TARIKH

Jejak Para Kyai Legendaris Malang Raya – Kyai Masduqi Mahfudz

KH. Masduqi Mahfudz

(Mergosono Kota Malang, 1935-2014)

 

Semasa hidup, Kyai Achmad Masduqi Machfudz dikenal sebagai ulama’ yang sederhana, tegas, berilmu tinggi, dan dihormati banyak orang. Kebesaran namanya bahkan masih bisa dirasakan, sekalipun kyai Masduqi sudah berpulang ke Rahmatulloh pada tahun 2014 yang lalu.  Makam kyai Masduqi berada satu kompleks dengan Pondok pesantren Salafiyah Nurul Huda, di tengah-tengah permukiman padat penduduk Mergosono Gang 3B, Kecamatan Kedungkandang Kota Malang.

Makam kyai Masduqi berada di sebuah bangunan khusus berukuran sekitar 4×10 meter. Di dalam ruangan tertutup itu, kyai Masduqi beristirahat dengan tenang, berdampingan dengan makam sang istri Nyai Chasinah. Hampir setiap hari, makam itu tidak pernah sepi. Minimal selalu ada santri PonPes Nurul Huda yang datang untuk memanjatkan doa bagi kyai Masduqi beserta istrinya  maupun membaca Al-qur’an. Makamnya yang begitu bersih dan tenang, menggambarkan bagaimana sosok kyai Masduqi semasa hidupnya. Kyai yang dihormati banyak orang. Kyai yang mampu menghasilkan banyak orang sukses dan berguna bagi masyarakat.

Diceritakan oleh salah seorang pengasuh PonPes Nurul Huda, yang merupakan mantu dari Kyai Masduqi, kyai Sihabuddin, bahwa kyai Masduqi dilahirkan di Desa Saripan, Jepara, Jawa Tengah, 1 juli 1935 silam. kyai Masduqi adalah putra keempat dari 14 bersaudara, dari pasangan Kyai Mahfudz dan Nyai Chafsoh binti kyai Asmo Dul. Nyai Chafsoh, ibunda kyai Masduqi masih memiliki garis keturunan dari Syekh Abdulloh Al Asyik bin Muhammad, Jayabaya, Kerajaan Mataram.

Sejak kecil, kyai Masduqi tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu. Bahkan dengan biaya sendiri, beliau meniti ilmu di sekolah umum. Sebab sang ayah hanya menghendaki dia untuk belajar di pesantren saja, tidak di sekolah umum. Lantas dari mana kyai Masduqi mendapatkan uang? “beliau menjual sabun atau kebutuhan lainnya dengan berkeliling kampung. Ini dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya,” kata kyai Sihabuddin. Selepas menuntaskan pendidikan SMP-nya di Jepara, kyai Masduqi melanjutkan studi ke Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Jogjakarta pada tahun 1953 silam. Semasa menempuh pendidikan di Jogjakarta, beliau aktif di berbagai kegiatan organisasi. Beliau pernah menjabat sebagai ketua cabang Gerakan Pemuda (GP) Anshor antara 1954 hingga 1957. Padahal kala itu masih berumur 22 tahun. Kyai Masduqi seolah-olah memang telah digariskan menjadi seorang pemimpin besar di kemudian hari.

Setelah lulus dari SGHA pada tahun 1957, Kyai Masduqi mendapatkan tugas untuk berdakwah di Kalimantan Timur. Sempat tinggal di daerah Tanjung Selor, kemudian beliau menetap di Tarakan. Disana, Kyai Masduqi menjadi guru SD dan SMP. Hingga kemudia pada tahun 1961, takdir membawanya ke Malang. Kyai Masduqi mengikuti tes ujian masuk IAIN Sunan Ampel Malang. Setelah itu, tidak lama sekitar tahub 1963, kyai Masduqi mendirikan Pondok pesantren di Mergosono yang bernama pondok pesantren salafiah “Nurul Huda”  yang kemudian mempunyai banyak santri yang tersohor.

Pondok yang diberi nama Pondok Pesantren Salafiyah Nurul Huda itu awalnya hanya berupa bangunan berdinding gedek (anyaman bambu). Namun lambat laun, ponpes itu pun berkembang pesat. Tidak hanya bangunannya yang besar, jumlah santrinya pun juga semakin banyak. Banyak santrinya yang berasal dari kalangan mahasiswa. Sebab ketika ditunjuk menjadi staf pengajar di IAIN Sunan Ampel Malang, Kyai Masduqi mendapatkan amanah untuk memberikan bimbingan kitab kuning dan tafsir Alqur’an kepada mahasiswanya. Bahkan zaman itu mahasiswa tidak akan bisa lulus kuliah kalau tidak bisa membaca kitab kuning. Sehingga, banyak mahasiswa yang ikut  mengaji ke Kyai Masduqi.

Dalam perjalanannya, tidak sedikit dari santri-santri kyai Masduqi yang di kemudian hari menjadi orang besar. Sebagai contoh Kyai Marzuki Mustamar (mantan PC NU Kota Malang), Profesor Kaswi, hingga profesor Dr Achmad Sodiki (Wakil ketua Mahkamah Konstitusi) itu alumni adalah beberapa alumni dari pondok Nurul Huda Mergosono. Kyai Sihabuddin mengatakan, keberhasilan santri-santrinya itu bisa menjadi gambaran siapa sebenarnya sosok kyai Masduqi. Dalam mengajar, beliau itu disiplin dan tegas, dan beliau juga semangat. Bahkan beliau bisa mengajar hingga pukul 23.00 malam. Kyai sihabuddin mengingat, betapa sang kyai itu adalah sosok yang konsisten. Karena itu, tidak heran bila beliau mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Rais Syuriah Pemgurus Besar Nahdlotul Ulama’ (PBNU).

Sosok yang tegas tersebut akhirnya wafat pada tanggal 1 maret 2014 di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA). Kyai Masduqi wafat di usia 79 tahun. Ribuan orang dari kalangan kyai, habib dan juga masyarakat umum mengikuti sholat jenazah, mengantar kepergian beliau di Masjid Jami’ Kota Malang. Kyai Masduqi dimakamkan di lingkungan pondok pesantren Nurul Huda, yang juga menjadi kediaman semasa hidupnya. Tujuannya agar keluarga bisa kapanpun berziarah. Selain itu, juga agar santri-santri  bisa mengambil barokah dari beliau.

ANAK KETIGA JADI DOKTER SPESIALIS, ANAK KEENAM KETUA PCNU MALANG KOTA

Tiada habisnya membicarakan sosok Kyai Achmad Masduqi Machfudz, Ro’is Syuriah PBNU yang wafat pada tahun 2014 lalu. Kyai Masduqi tidak hanya menjadi ulama’ besar yang dihormati banyak orang. Sebagai kepala keluarga, beliau berhasil mendidik putra-putrinya menjadi anak yang sukses di bidang masing-masing.

Kyai Masduqi memiliki sembilan orang anak, buah pernikahannya bersama Nyai Chasinah. Mulai dari anak sulung hingga anak paling bungsu, semuanya sukses. Baik dalam pendidikan, maupun karir pekerjaan masing-masing. Bahkan beberapa diantaranya mereka ada yang menjadi tokoh masyarakat yang disegani di Malang Raya.

Anak pertama, Mushoddaqul Umam meneruskan kiprah Kyai Masduqi sebagai pengajar. Saat ini Mushoddaqul menjadi kepala sekolah SMAN 1 Kota Malang. Dia juga mengajar sebagai dosen di Jurusan Bahasa Inggris Universitas Islam Malang (Unisma). Anak kedua, Muhammad Luthfillah pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur. Sementara anak ketiga, dr Moch Shobachun Niam Mkes FINACS SpB-KBD adalah dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) dan beberapa rumah sakit swasta di Kota Malang. Anak keempat, Taqiyyuddin Alawi menjadi staf pengajar di fakultas Teknik Universitas Islam Malang. Anak kelima, Roudhotul Hasanah menjadi guru di MTSN Sepanjang, Gondanglegi. Sedangkan anak keenam, Dr Muhammad Isyroqun Najach. M.Ag saat ini menjabat sebagai ketua Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Kota Malang dan aktif menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang.

Sukses yang sama juga dimiliki tiga anak terakhir. Diantaranya Badiatus Shidqoh menjadi staf pengajar di STIE Malangkucecwara, Fauchatul Fithriyyah sebagai pengelola beberapa TPQ binaan ponpes Nurul Huda, dan  anak yang terakhir Achmad Shampton  menjabat sebagai Kepala KUA Klojen.

Gus Is, sapaan akrab Dr Isyroqun Najach, M.Ag mengatakan, kunci keberhasilan Kyai Masduqi dalam mendidik anak-anaknya adalah doa yang tiada henti. “hingga wafat, beliau selalu mentirakati, mendoakan kami. Sebenarnya bukan hanya untuk anak-anaknya, tapi juga cucu dan para santrinya,” ungkap dia. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, Kyai Masduqi selalu memberikan contoh dan teladan bagi anak dan juga santrinya. Seperti diberitahukan sebelumnya, Kyai Masduqi tidak hanya akan haus ilmu agama, tetapi beliau juga haus akan ilmu-ilmu yang diajarkan di Lembaga Pendidikan Umum. Kyai Masduqi bahkan menyandang gelar doktor dari IAIN Sunan Ampel (kini UIN Maliki Malang) pada tahun 1977 silam. Jejak langkah Kyai Masduqi rupanya diikuti oleh sembilan anaknya. Oleh karena itu, keluarga besar putra dan putri Kyai Masduqi semua (sembilan saudara) itu bukan hanya alumni pesantren, tetapi juga  berhasil menjadi sarjana.

Gus Is mengatakan, Kyai Masduqi seolah selalu menantang anak-anaknya. menantang ini tidak dalam bahasa atau arti verbal memang. Namun Kyai Masduqi bangga kalau ada putra-putrinya yang melebihi beliau. Pesan yang paling diingat Gus Is dari sosok Ayahandanya itu adalah segala sesuatu harus diasaskan dengan motivasi yang tinggi. Artinya apapun harus diniati dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan upaya semaksimal mungkin. Beliau selalu memberi ilustrasi bahwa setiap pekerjaan kalau tidak maksimal, kita bisa menyesal.

Sementara itu, Sihabuddin, menantu Kyai Masduqi mengenang almarhum sebagai sosok kepala keluarga yang ideal. Dia melihat, semasa hidupnya, Kyai Masduqi selalu memuliakan istrinya. kemesraan yang ditunjukkan beliau berdua (Kyai Masduqi-Nyai Chanisah) menjadi contoh bagi anak-abak dan para santrinya. Hal-hal yang sepele misalnya. Kyai Masduqi akan keluar rumah. Beliau itu tidak akan pergi, kalau tidak pamit sang istri. sebaliknya, Nyai Chanisah juga menjadi istri yang sempurna bagi Kyai Masduqi. Seperti ingatan Sihabuddin, bahwa pada waktu makan, Nyai Chanisah (Ibu Mertua), dengan telaten mengupas duri ikan yang dimakan oleh Kyai Masduqi.

Sihabuddin mengatakan, bahwa Kyai Masduqi-Nyai Chanisah menjadi pasangan sehidup semati. Keduanya wafat dalam waktu yang tidak jauh. Kyai Masduqi wafat pada tahun 2014, dan Nyai Chanisah wafat pada tahun 2015. Oleh karena itu,  tidak heran jikaa pada akhirnya, Kyai Masduqi-Nyai Chanisah dimakamkan pada posisi yang berdampingan. Hal itu membuktikan bahwa Kyai Masduqi dan Nyai Chasinah merupakan pasangan yang kuat yang harmonis sepanjang hayat.

 

 

Dikutip dari : Buku Jejak Para Kyai Legendaris (Madani, 2016)