TARIKH

Jejak Para Kyai Legendaris Malang Raya – Kyai Syadzili Muhdlor

KH. Syadzili Muhdlor

(Pakis-Malang, 1918-1991 M)

 

Kyai Syadzili Muhdlor berasal dari Lamongan, yang merupakan salah satu santri dari Hadrotus Syech KH. Hasyim Asy’ari, Jombang Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 24 Djumadil Awal 1412 H pada usia 75 tahun. Dari pernikahannya dengan putri Kyai Munawwir beliau dikaruniai empat anak yaitu, Muwaffaq Al-Hafidz, Musyafiyah, H. Mu’adz dan Qoyyima.

Namun pada tahun 1959 Istrinya wafat, selang beberapa tahun kemudian, ada seorang kaya raya dari Pakis, Kabupaten Malang, yaitu Almarhum Haji Marzuki meminta Kyai Syadzili  agar sudi menjadi guru ngaji di Pakis. Setelah istikhoroh, Kyai Syadzili mengamini permintaan tersebut. Beliau pun boyongan ke Pakis tepatnya di daerah Sumber Pasir. Kemudian beliau dinikahkan oleh putrinya Haji Marzuki yang bernama Ny Siti Rahmah. Dan beliau dikaruniai 10 anak yakni, Hj. Affifah Syadzili Alhafidz, Drs. H. Misbachu Rofiq Syadzili, H. Abdul Mujib Syadzili, Almh. H. Khalilah Syadzili, H. Abdul Qodir Syadzili, H. Abdul Mun’im Syadzili Alhafidz, yang kini menjadi pengasuh Ponpes As-Syadzili.

Pondok Pesantren Salaf Al Qur’an (PPSQ) Asy Syadzili menjadi peninggalan besar Kyai Ahmad Syadzili Muhdlar. Pondok itu dibangun, justru menjelang wafatnya Kyai Syadzili. PPSQ  Asy Syadzili berada di Desa Sumberpasir, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, yang menjadi pondok pertama yang didirikan oleh Kyai Syadzili. Setelah itu, PPSQ membuka cabang di Tumpang, Gondanglegi, bahkan di Berau Provinsi Kalimantan Timur

Abdul Mun’im Syadzili (putra kelima Kyai Syadzili), pengasuh ponpes mengatakan. “PPSQ Asy Syadzili dibangun pada November 1991. Pondok dibangun sekitar 14 hari sebelum bapak wafat”. Kyai Syadzili wafat pada tanggal 24 Jumadil Awal 1412 Hijriah atau 30 November 1991. Masih menurut Gus Mun’im bahwa sebenarnya sejak awal Kyai Syadzili tidak mau mendirikan pondok pesantren. Padahal santrinya sudah banyak, sampai akhirnya, ibu Nyai Siti Rahmah (istri Kyai Syadzili) berinisiatif untuk membangun pondok pesantren.

Bila melihat riwayatnya, memang ada alasan mengapa Kyai Syadzili enggan membangun pondok. Seperti dikisahkan dalam edisi sebelumya,Kyai Syadzili adalah sosok ulama yang hidup sangat sederhana. Kyai Syadzili bahkan tidak ingin dipanggil Kyai. Beliau adalah Kyai yang merasa bukan Kyai. Niatnya tulus untuk dakwah agama. Pengembangan Asy Syadzili terus berkembang pesat. Pengembangan pondok, lebih banyak dilakukan oleh putra-putri beliau.

Dari pernikahannya dengan Siti Rahmah, Kyai Syadzili dikaruniai sepuluh anak. Lima diantarnya punya andil besar dalam mengembangkan PPSQ  Asy Syadzili. Selain Gus Mun’im, ada Afifah Syadzili Alhafidz yang mengasuh PPSQ Asy Syadzili 2 di Tumpang. Lalu, ada Mufidah Syadzili dan Mufarrikhah yang pengasuh PPSQ  Asy Syadzili 3 di Gondanglegi. Kemudian, Adibatus Shalikhah  menjadi pengasuh di PPSQ Asy Syadzili Kejayaan Pasuruan.

Lalu, bagaimana dengan anak-anaknya yang lain? Hamper semuanya berhasil di profesinya masing-masing. Ada Mufidz Syadzili yang menjadi dokter. Kemudian, anak ketiga, Abdul Mujib Syadzili menjadi tokoh yang cukup berpengaruh di Kabupaten Malang.

Gus Mujib, sapaan akrab  Abdul Mujib saat ini diamanahi jabatan wakil ketua Pc Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang. Gus Mujib juga pernah maju dalam pemilihan Bupati (Pilbup) Malang 2010 lalu. Dia maju sebagai calon wakil bupati, berpasangan dengan dr.Agus Wahyu Arifin. Tentu, keberhasilan mereka tidak lepas dari peran Kyai Syadzili sebagai kepala keluarga. Gus Mun’im mengenang Kyai Syadzili sebagai orang tua yang tidak banyak bicara. Tetapi lisanya tidak pernah berhenti mengucap ayat-ayat Al Qur’an.

Gus Mun’im juga tidak pernah lupa bagaimana bapaknya ketika memimpin shalat witir, selama Ramadhan. Jumlah witirnya 11 rokaat. Setiap rakaat baca ayat-ayat sampai seperempat juz. Kemudian, setiap kali sujud dilakukan selama 5 menitan. Amalan-amalan itulah yang diteladani oleh putra-putri Kyai Syadzili.

Selain itu, gaya hidup sederhana Kyai Syadzili juga menjadi panutan bagi putra-putrinya. Beliau memang sangat sederhana. Bahkan, ketika wafat, beliau tidak meniggalkan warisan satu rupiah pun. Saya heran, semua anaknya berhasil. Mayoritas jadi sarjana.

Terpisah, Gus Mujib punya kenangan yang tidak terlupakan soal kesederhanaan Kyai Syadzili. Bahwa Kyai (bapak), itu tidak bekerja, hidupnya ya cukup. Tetapi, apapun yang diinginkan itu selalu  dapat terpenuhi. Pernah pada suatu pagi, Kyai Syadizili memanggil Gus Mujib. Kyai Syadzili ingin membelikan sepeda motor untuk Gus Mujib. Gus Mujib sendiri menjadi kepala SMK Nahdlatul Ulama (NU) Sunan Ampel Poncokusumo ini. Tentu saja, pada mulanya Gus Mujib tidak percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan bapaknya. Sebab, bagaimana mungkin orang yang hidupnya sangat sederhana itu bisa membeli barang mahal. Tetapi ternyata, malamnya ada tamu datang, dan tamu tersebut memberikan sebuah motor (Honda) GL.

Kemudian, saat anak-anaknya butuh uang untuk bayar SPP, Kyai Syadzili selalu bisa memenuhinya. Hal itu yang membuat Gus Mujib sampai sekarang tidak bisa menangkap dengan logika. Lebih lanjut, Gus Mujib mengatakan bahwa Kyai Syadzili sejatinya tidak dekat secara fisik dengan anak-anaknya. Intensitas pertemuan tidak seperti orang tua lainnya. “Tapi, beliau itu dekat secara batin dengan anak-anaknya” ujarnya.

Kyai Syadzili, santri KH Hasyim Asyari yang memilih hidup miskin

Kyai Ahmad Syadzili Muhdlar (1918 – 1991) adalah sosok kyai yang langka. Beliau memilih hidup dengan kondisi ekonomi serba sederhana. Padahal beliau anak orang kaya. Mertuanya juga orang kaya. Di Desa Sumber Pasir, Kecamatan Pakis, Kyai Ahmad Syadzili menghabiskan sebagian hidupnya. Sehari-hari beliau menjalankan aktivitas syiar agama Islam. Pondok Pesantren Salaf Al-Qur’an (PPSQ) As-Syadzili menjadi peninggalan besar dari sang kyai karismatik ini.

PPSQ Asy-Syadzili tidak hanya ada di Desa Sumber Pasir, tapi juga ada di Tumpang, Gondanglegi, Pasuruan, Berau (Kalimantan Timur) hingga Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Jumlah santrinya sudah ribuan. Di PPSQ Asy-Syadzili 1 Desa Sumber Pasir saja jumlah santrinya sudah 1000. Pesatnya perkembangan PPSQ Asy-Syadzili tidak bisa dilepaskan dari sosok KH Ahmad Syadzili. Beliau memberikan fondasi yang kuat untuk ponpes dan teladan bagi para santrinya.

Perjalanan hidup Kyai Syadzili berawal dari sebuah tempat yang disebut sebagai Kota Tuanya Gresik. Yakni Kecamatan SIdayu. Ayahnya, Muhdlar masih memiliki keturunan dari Sunan Giri. Muhdlar juga tergolong orang terpandang, sekaligus kaya di Gresik. Ketika masih anak-anak, Kyai Syadzili mondok ke KH Munawwar Al-Hafidz di Sidayu. “Umur 10 tahun, bapak sudah khatam al-Qur’an” ujar Abdul Mun’im Syadzili, putra ke-lima KYai Syadzili.

Setelah menyelesaikan mondoknya di Kyai Munawwar, Syadzili sempat menimba ilmu di Pondok Kranji, Lamongan. Sampai beliau diambil mantu oleh KH Munawwar. Beliau dinikahkan dengan putrinya yang bernama Muniroh. Tidak lama setelah menikah, KH Munawwar mengirim Kyai Syadzili untuk berguru kepada KH Hasyim Asyari, sosok pendiri Nahdlatul Ulama’. Kyai Syadzili mondok di Tebuireng Jombang selama beberapa tahun. Hingga kemudian istirnya, Muniroh meninggal dunia pada tahun 1959. Dari pernikahannya dengan Muniroh, Kyai Syadzili dikaruniai empat anak. Salah satunya Syekh Muwaffaq Al-Hafidz yang lama menetap di Makkah.

Tak lama setelah itu, Kyai Syadzili hijrah ke Desa Sumberpasir, Pakis. Haji Marzuki, tokoh masyarakat Pakis, sekaligus orang terkaya di Pakis pada masanya, memiliki andil dalam hijrahnya Kyai Syadzili. Haji Marzuki ingin Kyai Syadzili mengajak masyarakat Sumberpasir agar mau berbondong-bondong ke masjid. Mau mengaji Al-Qur’an. Kyai Syadzili sendiri kemudian menetap secara permanen di Desa Sumberpasir. Beliau juga menikahi Siti Rahmah, putri dari Haji Marzuki Pakis.

Menurut Gus Mun’im meskipun mempunyai mertua orang kaya, Kyai Syadzili rupanya tidak ingin bergelimang harta. Beliau tetap memilih untuk hidup sederhana dan miskin. Kyai Syadzili sejatinya adalah ulama besar, tetapi tak ingin dianggap sebagai ulama besar. Tetapi oleh teman-temanya sesama kyailah yang memanggilnya begitu.

Hal itu bisa dilihat dari cara berpakaian Kyai Syadzili. Beliau tidak pernah mengenakan sorban, jubah dan semacamnya. Hampir setiap hari beliau memakai celana panjang. Demi menafkahi istrinya, beliau rela berdagang, yakni jualan petis. Sampai-sampai Kyai Syadzili ditegur Kyai Munawwar, agar mencari pekerjaan yang pantas. Akhirnya beliau jadi pengrajin bangku (mebel). Pilihan hidup Kyai Syadzili untuk menjadi orang miskin, membuat orang-orang di sekitarnya geleng-geleng kepala. Padahal kalau mau, mudah saja bagi beliau untuk menjadi orang kaya.

Dikutip dari : Buku Jejak Para Kyai Legendaris (Madani, 2016)