TARIKH

Jejak Para Kyai Legendaris Malang Raya – Kyai Thohir

KH. Thohir (Bungkuk-Singosari, 1850-1933 M)

 

Kyai Thohir Ikut Bidani Lahirnya NU

Di Singosari pernah ada Kyai sepuh yang sangat disegani, beliau adalah KH Mohammad Thohir, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Falah di Dusun Bungkuk, Desa Pagentan, Kecamatan singosari, kabupaten Malang. Ada banyak cerita hikmah yang bisa dipetik dari Kyai yang mulai berdakwah pada tahun 1850 silam itu. Kyai Thohir mempunyai  tujuh putra dan putri yakni, Nyai Fatimah, Kyai Nawawi, Nyai Umi Kulsum, Nyai Chalimah, Kyai Cholil, Nyai Zainab, dan Kyai Nahrowi. Namun, Kyai Nahrowilah yang menjadi penerus pengasuh Ponpes dan Masjid setelah wafatnya Mbah Tohir.

Suasana di Pondok Pesantren Miftahul Falah di jalan Bungkuk No 49 RT 04 RW 04 Dusun Bungkuk, Desa Pagentan, Kecamatan singosari, kabupaten Malang ini sangat sejuk dan tenang. Maklum, pondok pesantren itu berada di Gang buntu, sehingga tidak ada kendaraan lalu-lalang yang ramai. Selain itu, lokasinya berada di pinggir sawah juga menjadikan hawa disana sangat sejuk karena dipenuhi semilir angin sejuk.

Apalagi saat memasuki masjid yang sudah direnovasi itu, suasananya semakin segar dan tenang. “ya, kadang ada orang yang datang untuk shalat, lalu tidur-tiduran, karena memang suasananya nyaman,” kata cucu Kyai Thohir, H. Moensif Nachrawi.

Menurutnya, Kyai Thohir adalah menantu Mbah Chamimuddin dari anaknya yang ke tujuh, yakni Siti Hindun Murtosiah. Mbah Chamim sendiri adalah anak buah Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Malang, menetap serta berdakwah tentang Islam di Singosari sekaligus menikah di sana. Namun ketika masa Mbah Chamim, Islam yang disebarkan masih bercorak abangan. Saat itu mbah Chamim berdakwah dengan santun, beliau juga mengajarkan shalat kepada masyarakat, yang saat itu kebanyakan masih beragama Hindu. Konon nama mbungkuk, di ambil saat masyarakat melihat ada gerakan ruku’ dan sujud itu, sehingga warga sekitar menyebutnya mbungkuk, lalu menjadi nama Kampung Bungkuk yang terkenal hingga sekarang.

Menurut Moensif, Mbah Chamimuddin menjadi kyai besar setelah mengambil menantu Kyai Thohir dari Bangil yang masih memiliki keturunan darah dari Sunan Ampel. walhasil, waliyullah yang dikenal di Bungkuk dan sekitarnya hingga sekarang adalah Mbah Thohir.

Mbah Thohir mendirikan Pondok pesantren Miftahul Falah dan masjid At-Thohiriyah yang masih bertahan hingga saat ini. Ponpes dan masjid Bungkuk sangat diperhitungkan di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU) khususnya Malang-raya.  Karena Kyai Ahmad Hilmi Nachrawi, cucu mbah Thohir yang lain mengatakan bahwa, Mbah Thohir juga turut membidani berdirinya NU bersama KH Wahab Hasbullah serta KH Hasyim asy’ari pada tahun 1926.

Sejak diasuh total oleh Kyai Thohir, banyak yang ingin mondok di Pesantren Bungkuk. Namun Kyai Thohir tidak serta merta mau menerimanya. Tetapi mereka harus melalui ujian terlebih dahulu. Ujiannya pun berbeda dengan ujian sekarang. Yaitu dengan cara Shalat Istikhoroh. Kyai Thohir melakukan Shalat Istikharah dan calon santrinya pun juga diminta untuk shalat Istikharah. “kadang ada yang sehari langsung diterima, ada yang dua hari kemudian, satu minggu, hingga tak terbatas. Bahkan, ada yang baru diterima setelah empat tahun. Dengan sistem penerimaan santri semacam ini, justru membuat banyak orang yang ingin memondokkan anaknya di Bungkuk. Namun karena bangunan pondok yang saat itu masih minim, maka para santri membangun sendiri bangunannya dari kayu dan bambu.

Menurut Kyai Hilmi Nachrowi, beliau adalah anak terakhir dari Kyai Nahrowi. Sedangkan Kyai Nahrowi adalah putra terakhir dari Kyai Thohir. Kyai Hilmi sekarang menjadi penerus pengasuh Ponpes dan Masjid Bungkuk.

Mbah Tohir berasal dari Bangil Pasuruan diperkirakan lahirnya pada tahun 1850 dan wafatnya pada hari selasa bulan dzulqodah tahun 1933. Kemudian beliau diambil menantu oleh Mbah Chamimudin. Salah seorang Laskar Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Malang utara, tepatnya di Singosari. Dikarenakan terbunuhnya Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 yang mengakibatkan tercerai-berainya Laskar Pangeran Diponegoro. Setelah Mbah Thohir dijadikan mantu olehnya, Mbah Chamimuddin semakin tersohor. Karena Kyai Thohir masih termasuk keturunan dari Sunan Ampel. Sekitar tahun 1850-an, Mbah Chamimuddin mendirikan sebuah Musholla. Yang kemudian Musholla tersebut kini menjadi masjid At-Tohiriyyah karena perjuangan mendirikan masjid tersebut diteruskan oleh Kyai Thohir. Kemudian Pondok Pesantren yang kini bernama Miftahul Falah.

Masih menurut Kyai Hilmi Nachrowi, bahwa cerita riwayat pendidikan formal dan non formalnya Kyai Tohir masih belum diketahui, namun karena ke-istiqomahan beliau, beliau memiliki tharekat qadiriyah naqsabandiyah yang banyak jama’ahnya dari kota Malang. Jumlah santrinya pun cukup banyak dan kebanyakan adalah santri Kalong (datang ke pondok untuk mengaji saja, setelah itu kembali pulang). Bahkan, pemilihan santri nya ini, beliau tidak sembarangan pilih. Beliau ber-istikharoh terlebih dahulu untuk menentukan santri tersebut berhak atau tidak untuk menjadi santrinya.

Hal yang sama juga terkait dengan peran  beliau (Kyai Thohir), dalam perjuangan kemerdekaan RI bahwa belum ada sejarah yang menyatakan bahwa Mbah Tohir ikut dalam pergerakan melawan Belanda. Karena pergerakan-pergerakan secara fisik terjadi pada tahun 1940-an keatas, sedangkan Kyai Thohir wafat sebelum Indonesia merdeka.

Kediaman Mbah Tohir. Yang kini dihuni oleh cucu beliau. Yaitu KH Hilmi Nahrowi, yang sekaligus menjadi pengasuh PonPes dan Masjid Bungkuk.

 Pondok Pesantren Miftahul Falah (Bungkuk)

Makam Mbah Thohir, berada di belakang Masjid At-Tohiriyyah. Di jalan Kramat, Singosari-Malang. Yang kini semakin banyak didatangi oleh peziarah dari berbagai daerah.

Karomah Kyai Thohir

Menurut Kyai Hilmi, bahwa salah satu karomah Kyai Thohir konon katanya, di daerah Singosari ada jalan yang bernama jalan kramat. Nah, penamaan jalan ini, karena pada zaman tersebut Mbah Tohir dikejar-kejar oleh tentara Belanda. Namun, karena kewalian dan karomah beliau, hingga di ujung jalan kramat, beliau berdoa dan akhirnya satu jalan keramat tersbut terbakar. Dan tentara-tentara Belanda yang berada di jalan tersebut pun terbakar dan mati di sana.

 

Dikutip dari : Buku Jejak Para Kyai Legendaris (Madani, 2016)