TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. IMAM ZARKASYI
GONTOR PONOROGO JATIM
WAFAT: 1405 H / 1985 M

 

SELALU MELAWAN ARUS
Pada saat pondok pesantren lain hanya mengenal sorogan, bandongan, wetonan, dan halaqoh, pondok Gontor telah menggunakan sistem klasik. Dan pada saat pesantren lain hanya boleh memakai kain sarung dengan teklek dan mengharamkan pemakaian jas, dasi, dan pentolan, pondok Gontor justru mewajibkan semuanya itu. Sikap yang melawan arus inilah yang melahirkan kritik gencar, bahkan menganggap lembaga ini bukan pondok, dan bahwa label “modern” di nilai kebarat-baratan. Kritikan ini, disatu sisi  ada benarnya, karena ketika melihat aktifitas dan penampilan para santrinya berikut aksesoris busananya, ingatan kolektif masyarakat tertuju pada corak dan penampilan kaum penjajah. Artinya trauma sejarah akibat penjajahan masih mengendap dan melekat dalam ingatan kolektif mereka. Namun di pihak lain, berlebihan untuk tidak mengatakan mengada-ada.

Pada hakikatnya, pondok pesantren modern sama halnya dengan pondok pesantren yang lain. Didalamnya ada elemen kiai, santri, masjid dan pondokan. Tingkah lakunya pun menampilkan jiwa kesederhanaan, keikhlasan,  kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan. Hanya saja, perbedaannya terletak pada sistem dan pola pendidikannya. Dalam pandangan pendiri pondok modern, sistem dan metode belajar di pesantren salafi dinilai kurang efisien dalam mempersiapkan generasi muda Islam. Padahal, menurut mereka, masyarakat membutuhkan kader yang mampu tampil sebagai seorang santri sekaligus sebagai cendekiawan.

Pada tahun-tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat masih terkesan miring. Ejekan dan cercaan datang bertubi-tubi, ini dikarenakan sistem pendidikan klasik berikut kitab-kitab yang diajarkan belum begitu populer. Demikian pula pemakaian bahasa Arab dan bahasa Inggris sekaligus secara berdampingan masih merupakan hal yang tabu. Dalam pandangan masyarakat, bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa orang kafir, sementara bahasa Arab adalah bahasa orang Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika pada tahun-tahun pertama program baru ini, jumlah santri merosot drastis dari ratusan orang menjadi enam belas orang.

Akan tetapi, kesungguhan usaha yang disertai niat tulus dari para pendiri tersebut tidaklah sia-sia. Pada tahun kedua mulai berdatangan santri-santri dari Kalimantan, Sumatera, dan dari seluruh pelosok Jawa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, sekembalinya KH. Imam Zarkasyi dari Padang dan dibukanya KMI di Gontor telah membawa sejarah baru dalam bidang pengajaran.

Sejak saat itulah KH. Imam Zarkasyi mulai terlihat walaupun kapasitasnya hanya melengkapi gagasan kakaknya, KH. Ahmad Sahal. Perubahan kurikulum dan metode pengajaran yang dilakukan hampir sama dengan apa yang pernah di dapatkan di Padang Panjang.

Seperti layaknya pesantren lainnya, Pondok gontor menganut aliran ahlussunnah Wal Jama’ah .Yang menarik sistem ini, seperti diulas Cak Nur adalah pola disiplin regimenter dan kebebasan. Di antara salah satu motto Pondok Gontor adalah berpikir bebas. Bebas untuk segala perilaku dengan didasarkan pada pemikiran. Prinsip ini telah benar-benar membuat Pondok Gontor menjadi unik. Gontor mendudukkan dua sisi yang sangat kontras, antara kebebasan dan disiplin regimenter. Unik karena dua hal yang kontras dapat berjalan secara bcrsama-sama. Pola pendidikan Gontor dengan menekankan kebebasan dalam madzhab, pendidikan atau non sektarian ditambah lewat pengajaran dan materi yang diajarkan (diajarkan fiqh, kitab bidaayatul Mujtahid karya lbn Rusyid), jelas-jelas membantu tumbuhnya jiwa kebebasan pada diri santri Gontor, sebagai ciri khas produk didikan Pondok Gontor.

 

BERBEDA DENGAN PONDOK PESANTREN SALAF
Berbeda dengan pondok Pesantren salaf, Gontor tidak mendoktrin santrinya untuk menjadi penganut madzhab tertentu. Alih-alih “memaksa” santrinya menjadi pemeluk madzhab tertentu, Gontor malah mengajarkan semua aliran madzhab. Dalam khutbah al-Iftitah, KH. Imam Zarkasyi selalu menekankan dan menggaris bawahi  akan perlunya “berdiri” di atas dan untuk semua golongan.

Gontor mengembangkan pola berpikir ontologis disamping sikap religius. Cirinya adalah memikirkan suatu obyek yang di arahkan kepada pencarian hakikatnya. Pendidikan dalam pola pikir demikian bersjfat intlektualitas, berpikir berdasarkan obyek murni.

Di pesantren Gontor, “Peranti Ijtihad” telah diajarkan yaitu bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Arab sebagai kunci mempelajari ilmu agama dan bahasa Inggris untuk ilmu umum. Selain itu, piranti ijtihadnya, dilengkapi dengan beragam disiplin ilmu, seperti Ushul al-Fiqh, musthalah al Hadits, Mantiq (logika), dan ilmu alat (nahwu dan sharaf). Santri juga diajari memahami kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd yang mensosialisasikan gagasan Aristotelian di dunia Islam. Kitab ini mendidik mental ilmiah, karena kitab ini memaparkan pendekatan komparatif, perbandingan madzhab. Di banyak pesantren salaf kitab ini tidak digunakan.

Gontor memang tidak pernah berhenti berijtihad. Modernitas dipelihara dan diaktualkan, sehingga tidak sampai menjadi fosil sejarah. Materi pelajaran dan kurikulum pendidikan dievaluasi terus menerus agar tidak ketinggalan zaman. Semangat perubahan dan ambisi untuk kembang seoalah menjadi daya picunya.

Di samping bergiat diri dalam perubahan dan pembaharuan, pemantapan aspek ritual juga digalakkan. Ini terlihat dengan adanya pembiasaan untuk shalat berjama’ah dan melakukan wiridan massal. Demikian corak pendidikan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, dimana KH. Imam Zarkasyi merupakan salah satu pengasuhnya. Perlu diperhatikan bahwa, pola perubahan yang  diambil pesantren ini berpijak pada kaidah, “Almuhafahatu’alaal-Qadimi al Shalih wa Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga hal-hal yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik).

 

PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Di zaman penjajahan Jepang, KH. Imam Zarkasyi dan kakaknya lebih banyak bersikap pasif menghadapi keadaan di luar, serta cenderung mengimbangi perkembangan yang ada. Takala Jepang mengadakan kursus bahasa Jepang untuk masyarakat, KH. Imam Zarkasyi juga mengirim siswa-siswanya untuk mengikutinya. Ternyata Jepang tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga nyanyian Jepang (termasuk lagu Kamigayo), cara penghormatan gaya Jepang, serta sejumlah latihan olahraga yang terkenal dengan sebutan taiso. Tapi Tampaknya kegiatan ini tidak berlangsung lama setelah mendapat tekanan keras dari KH. Hasyim Asy’ari yang menentang keras perlakuan Jepang tersebut. Suasana mencekam mempengaruhi kehidupan santri di Gontor.

Cobaan berikut datang tatkala pemerintah militer Jepang mengeluarkan perintah agar semua sekolah ditutup dan para pelajar dikerahkan untuk latihan ketentaraan dalam organisasi pelajar pemuda yang diberi nama keibondan dan seinendan. KMI akhirnya ditutup. Meskipun begitu, pengajaran secara diam-diam tetap dijalankan. Selama hari-hari itu, di siang hari yang terlihat dari luar adalah pintu dan jendela sekolah yang tertutup, tapi dibalik itu para santri dan guru sebenarnya tetap menjalankan aktivitas belajar mengajar seperti biasa, meski dilakukan dengan sikap ekstra hati-hati. Langkah itu memang sebagian dari ikhtiyar KH. Imam Zarkasyi untuk menghindari kevakuman aktivitas santri. Cobaan berikutnya yaitu saat PKI melakukan pemberontakan di Madiun tahun 1948, sekitar 500 rumah dan beberapa gedung di daerah Madiun hangus dibakar, kebanyakan rumah-rumah yang berada di pinggir jalan raya Madiun-Ponorogo. Sejumlah Jembatan, rel KA, dan jalan raya dihancurkan. Sementara itu, di Kediri lebih dari 4.654 hektar hutan jati dan 108.300 ton kayu habis dibakar, sementara di Ngawi berton-ton bibit padi dimusnahkan. Meskipun jarak antara Gontor-Madiun terpaut 40 km, peristiwa itu telah membuat santri resah dan khawatir. Sebagian santri kemudian ada yang minta ijin pulang. Sementara itu, sebagian yang lain tetap tinggal di pondok.

 

WAFATNYA
Detik-detik terakhir kehidupannya ialah setelah menerima beberapa tamu dirumahnya. Awalnya ia merasakan sakit di kepala dan akhirnya tak sadarkan diri sampai ajal mejemputnya. KH. Imam Zarkasyi meninggal setelah 25 jam koma, karena terkena stroke (pecahnya pembuluh darah di otak) di rumah sakit Madiun tangal 30 April 1985.

KH. Idris Jauhari salah satu muridnya dan saudara menantunya, dan guru penulis, sesaat setelah ia wafat, telah menyampaikan dengan segenap perasaannya yang mendalam atas jasa-jasanya. Dengan isak tangis, sambutan KH. Idris Jauhari telah membuat semua yang mendengar ikut tenggelam dalam keharuan. Turut memberikan sambutan saat mengantarkan jenazah alamarhum, yaitu ketua MUI Jawa Timur, Letjen Sudirman dan KH. Yusuf Hasyim.

 

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)