TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. IMAM ZARKASYI
GONTOR PONOROGO JATIM
WAFAT: 1405 H / 1985 M

 

KELAHIRANNYA
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1910 M di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, 12 km arah tenggara kota Ponorogo. Gontor saat itu diliputi keterbelakangan dalam berbagai aspek, baik pendidikan, ekonomi, sosial, maupun budaya. Konon, nama “Gontor” berasal dari kata panggonan kotor, artinya tempat kebejatan moral masyarakat. Situasi masyarakat masih diliputi nuansa animisme. Bisa jadi, letak geografis yang berada di daerah pedalaman inilah yang menjadikan nuansa animis masyarakat Gontor demikian kental.

KH. Imam Zarkasyi adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara. Secara geneologis, KH. Imam Zarkasyi memiliki hubungan langsung dengan Sultan kesepuluh Cirebon. Bapaknya, Raden Sonroso Anom Besari, adalah keturunan keenam dan kesepuhan Cirebon, sementara ibunya, Rr. Sudarmi, adalah keturunan Surodiningrat, Bupati Madiun. Saudara-saudaranya adalah Raden Haji Rahmad Soekarto (Madiun), Rr. Soekarmi Ibnu Hajar, Rr. H. Soemilah Haji Imam Ngulomo, Kj. RH. Ahmad Sahal, dan Kj. R. H. Zainuddin Fananie.

Sedangkan urutan silsilah KH. Imam Zarkasyi dari jalur Kesepuhan Cirebon sebagai berikut : Kanjeng Pangeran Hadirojo (Adipati Anom X Cirebon) memiliki putra Kanjeng Penghulu Adirojo (Cirebon). Beliau memiliki putra Raden Mas Hadikusumo Sulaiman Jamal. Raden Mas Hadikusumo Sulaiman Jamal dinikahkan dengan putri Kiai Khalifah (Tegalsari Ponorogo). Dari perkawinan Raden Mas Hadikusumo Sulaiman Jamal dengan putra Kiai Khalifah melahirkan Raden Archam Besari yang kemudian dinikahkan dengan Mbah Den, cucu Bupati Polorejo (Ponorogo lama) atau Putri Penghulu Nur Ngali Polorejo. Dari perkawinan ini lahirlah Raden Anom Ngali Besari, yang kemudian dinikahkan dengan Rr. Soedarmi. Dari pasangan terakhir inilah lahir tujuh bersaudara, termasuk “trimurti” (tiga bersaudara yang membidani berdirinya pensantren Gontor (KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani, dan KH. Imam Zarkasyi). Dari gambaran silsilah di atas, dapat dikatakan bahwa, Imam Zarkasyi masih berasal dari keturunan ningrat, atau meminjam istilah Geertz, kelompok priyayi.

 

PENDIDIKANNYA
Pendidikan awalnya ditempuh di Hollandsch Inlansche School (HIS) Ongko loro, setingkat Sekolah dasar, di Jetis Ponorogo (1923). HIS merupakan lembaga pendidikan kolonial yang diperuntukkan bagi kalangan ningrat atau orang berpunya. Di sela-sela pendidikannya itu, ia nyantri di Pondok Josari. Ia juga pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Hikmah, jeresan Ponorogo, sebuah pesantren yang menggunakan sistem salafi dengan menekankan pada pendalaman ilmu alat (nahwu dan sharaf) dan fiqh. Layaknya pesantren salafi lainnya, Pondok Pesantren Jeresan juga mengunakan metode Sorogan dan Wetonan.

 

NYANTRI DI JAMSERAN SOLO
Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah Ongko loro, pada tahun 1927 ia melanjutkan karir intektualnya di Pondok Pesantren Jamseran Solo sebuah pesantren yang pertama kali mengajarkan al-Qur’an dan Hadist. Di Pesantren inilah KH. Imam Zarkasyi mengaji kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul al-Wahab, al-Hikam, Ihya’ Ulum al-Din, Tafsir Jalalayin, Safinat al-Naja, dan Qiro’at Syatibi. Di samping itu, ia juga mengikuti berbagai macam kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, seperti olah raga, baris-berbaris,  kepanduan, dan diskusi. Dalam kegiatan diskusi, ia mempunyai kelompok diskusi yang tidak terikat dengan kelompok dari partai tertentu yang terdiri dari lima orang termasuk dirinya. Mereka itu adalah Amir Tholhah (Solo), Fatihun (Cirebon), Bunyamin (Majalengka), dan A. Zaini (Sukoharjo). Tema yang didiskusikan pun tidak pernah menyangkut persoalan masalah madzab atau golongan, melainkan berkenaan dengan masalah umat secara umum.

Sewaktu di Solo, KH. Imam Zarkasyi belajar di Madrasah Mamba’ul Ulum , madrasah yang didirikan R. Hadipati Sosrodiningrat dan R. Penghulu Tafsirul Anam pada tahun 1905. Madrasah yang sejak tahun 1916 menggunakan sistem klasikal ini terdiri atas sebelas jenjang, yaitu dari kelas I hingga kelas Xl. Tampaknya, Madrasah Mamba’ul Ulum inilah yang kemudian mengilhami Zarkasyi untuk menggunakan sistem klasik di pesantren yang kelak dirintisnya.

 

BELAJAR BAHASA ARAB Dl MADRASAH ARAB SOLO
Ketika duduk di kelas VIII, la juga belajar Bahasa Arab di Madrasah Islamiyah, sebuah madrasah milik golongan Arab-Pasar kliwon Solo di bawah asuhan Bahasywan dan Awadh Syahbal.  Saat itu, Madrasah Islamiyah tersebut di pimpin Ustadz Sayid al-Hasyimi, seorang guru dari Tunisia. Ia belajar di asrama Ustadz Muhammad Oemar al –Hasyimi . Asrama ini terkenal dengan nama Internat Kustati. Berarti ia mulai masuk program takhashush yang berada di bawah bimbingan al-Hasyimi jauh lebih penting baginya ketimbang melanjutkan pelajaran di MAI dan Madrasah Mamba’ul Ulum. Yang jelas ia memang sangat mengagumi gurunya. Baginya, Mohammad Oemar al-Hasyimi merupakan figur seorang guru yang perlu diteladani, terutama dalam cara mendidik dan mengajar murid-murid.

Di samping belajar di lembaga ini, ia juga belajar di Holland Atabsche School (HAS), suatu lembaga pendidikan yang didirikan oleh kolonial Belanda sebagai realisasi dari politik etis pada permulaan abad ke-X. Ia juga sempat belajar di sekolah Arabiyah “Al-Islam” Solo.

KH. Imam Zakasyi merupakan sosok yang disiplin. Sikap disiplin itu terbentuk sejak ia tinggal di asrama M.O. al-Hasyimi. Aturan-aturan asrama yang demikian ketat membentuk kepribadiannya menjadi sosok yang benar – benar memperhatikan waktu. Asrama ini juga menekankan penguasaan bahasa Arab yang meliputi Insya’, Muthala’ah, dan mahfudzat dengan model pembiasaan untuk bertutur kata dengan bahasa Arab. Tentu saja bagi yang melanggar dikenakan sanksi tegas.

Pengalaman positif semacam inilah yang kemudian diterapkan di Pondok Pesantren Modern Gontor, sebuah pesantren yang kelak dirintisnya. Seperti halnya asrama M.O al-Hasyimi, di mana ia pernah tinggal, pesantren yang dirintisnya itu menggunakan sistem asrama dengan kewajiban menggunakan bahasa asing.

 

MEMADUKAN POLA PENDIDIKAN MESIR, AFRIKA UTARA DAN INDIA
Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan oleh tiga bersaudara, KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi. Gagasan pendirian pondok ini bermula dari Kongres umat Islam di Surabaya (1926), kongres yang memutuskan untuk mengirim wakilnya dalam Kongres Islam di Mekkah. Setelah melalui proses pencarian cukup panjang mengingat sulitnya mencari orang yang mumpuni bahasa Arab inilah yang mendesakkan keinginan Ahmad Sahal untuk mendirikan pesantren yang bisa melahirkan santri-santri yang lancar bahasa Arab. Gagasan  ini kemudian didiskusikan dengan kedua adiknya, Fanani dan Zarkasyi.

Dari latar belakang ini, kemudian lahir Pondok Pesantren Darussalam. Dengan menghidupkan kembali pondok pesantren ayahnya, Kiai R. Santoso Anom Besari, yang sudah lama fakum, mereka kemudian menyelenggarakan sistem pendidikan yang berorientasi penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Kemudian lahirlah sebuah pesantren yang dikembangkan dengan memadukan pola pendidikan Universitas al-Azhar Kairo (Mesir) dengan pola pendidikan Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Alighar di India, dan Taman Pcndidikan Shantiniketan di India.

Sebagaimana diketahui, al-Azhar dan Syanggit merupakan benteng pertahanan kebudayaan dan pendidikan Islam yang memiliki wakaf besar, bahkan memberikan beasiswa kepada para mahasiswanya. Alighar gencar dalam usaha modernisasi ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zaman. Shantiniketan didirikan oleh Rabindrana Tagore, mampu mengembangkan sistem kebudayaan, kesederhanaan, kekeluargaan, dan kedamaian. Dari lembaga yang tersebut terakhir inilah nama Darussalam (tempat damai selamat) diambil.

KH Imam Zarkasyi, salah satu pengasuhnya, berupaya memadukan antara unsur Padang (kemampuan dalam menangkap nilai kemodernan dan dinamikan Islam) dengan jawa (ketekunan dan kedalaman mempelajari Islam) yang tercermin lewat perilakunya dan jiwa pondok Gontor adalah jiwa gigih dan kerja keras.

 

SEBAGAI ANGGOTA DEPPEN
Pada tahun 1956, Presiden Soekarno didesak Parlemen untuk membentuk dua badan Nasional, Dewan Perancang Nasional (Deppenas) dan Dewan Ekonomi Nasional. Di Deppenas, KH. Imam Zarkasyi duduk sebagai wakil umat Islam yang memegang bagian pendidikan dan kebudayaan. Pada tahun 1945-1952, ia menjabat sebagai Majelis Syuro Partai Masyumi. Namun, retaknya partai ini menyebabkannya tidak lagi aktif dalam kegiatan Majelis Syuro. Ia lebih konsisten dengan prinsipnya yang terkenal “Bersatulah Umat Islam Indonesia”.

 

MENJABAT KETUA MP3A
Ia juga sempat menjabat ketua MP3A. Dengan jabatan ini ia turut membidani lahirnya Surat Keterangan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1974 yang menyatakan, “Pendidikan umum di madrasah sesuai dengan standar pengetahuan umum di sekolah umum setingkat”. Dalam perjalanan sejarah, KH. Imam Zarkasyi konsisten memperjuangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan di Indonesia yang merupakan kombinasi dari sistem Barat dan Pendidikan Timur Tengah.

 

MEMBENTUK KMI
Pada tahun 1936, KH Imam Zarkasyi diminta untuk membantu membenahi sistem pendidikan Gontor. Tepatnya ketika berlangsung syukuran 10 tahun kebangkitan kembali Pondok Gontor, diumumkan pembantu program pendidikan kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI). Program ini ditangani langsung oleh KH. Imam Zarkasyi. Dengan terbentuknya KMI inilah, Pondok Gontor dikenal dengan  “Pondok Modern”. Pelabelan istilah modern ini,  menurut Ali Syaifullah MSc, bukanlah label yang diberikan pendiri, melainkan label yang diberikan masyarakat melihat pola institusi, sistem pendidikan dan pengajaran serta banyak segi yang menunjukkan perbedaan pesantren salaf.

KMI adalah sekolah pendidikan guru Islam nyaris sama dengan sekolah “Normal Islam” pada zaman penjajahan. Sekolah ini kemudian diintegrasikan dengan sistem pendidikan pesantren. Dalam sistem pendidikan semacam ini, para santri tinggal di asrama, kiai sebagai spiritual, masjid sebagai pusat kegiatan, bahasa Arab dan Inggris menjadi bahasa sehari-hari dengan disiplin yang tinggi. Dengan demikian, proses pendidikan pun berlangsung sepanjang waktu, sehingga setiap apa yang dilihat dan didengar adalah bagian dari pendidikan. Pelajaran agama dan umum diajarkan secara seimbang. Latihan keterampilan, kesenian, olah raga, dan berorganisasi merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)