TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. MUSLIH AL-MARAQI
SEMARANG
WAFAT: 1401 H/ 1918 M

 

DIBAIAT SEBAGAI MURSYID UNTUK KEDUA KALINYA

Sebagai kiai muda yang terlibat dalam perjuangan Hizbullah, KH. Mushlih al-Maraqi sangat berobsesi mewarisi nilai-nilai herositas yang tertanam dalam setiap pengikut tarekat Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah. Apalagi ia juga pernah belajar banyak tentang tarekat itu dari Kiai Ibrahim Brumbung. Ia pun kemudian tidak menyia-nyiakan waktu, mumpung berada di Bekasi ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Banten, untuk berguru kepada murid Syekh Abd. Al-Karim al-Bantani, Syekh Abd. Al-Latif al-Bantani. Dari ulama kharismatik Banten inilah, KH. Mushlih al-Maraqi dibaiat sebagai mursyid tarekat  Qadariyyah Wa Naqsyabandiyyah untuk kedua kalinya, setelah posisi yang sama pernah ia dapatkan dari Kiai Ibrahim. Boleh dikatakan pembaiatan yang dilakukan Syekh Abd al-Latif merupakan pengukuhan baiat juniornya, Kiai Ibrahim. KH. Mushlih al-Maraqi juga tergolong kiai yang mengkulturkan ajaran tarekat di kalangan santrinya. Hal ini ia lakukan dengan cara membiasakan para santrinya untuk mentradisikan aktifitas ketarekatan, seperti membaca wirid amalan ahli tarekat, meskipun mereka belum menjadi pengikut tarekat Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah. Dalam hal ini, alasan KH Mushlih al-Maraqi sangat sederhana, bahwa ibarat rutinitas hidup manusia merupakan putaran rantai sepeda motor, maka agar tetap lancar berputar ia harus diberi pelumas, berupa bacaan awrad.

 

PIONER FEDERASI TAREKAT NU

Sebagai Syekh al-Mursyid, KH. Mushlih al-Maraqi memiliki andil besar di dalam pengembangan tarekat di Indonesia pada abad ke-20. Awalnya, ia mengajarkan dan mengembangkan tarekat Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah di lingkungan sekitar Mranggen, yang telah dirintis pendahulunya, KH. Ibrahim. Di kawasan Mranggen sendiri, jauh sebelum tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyyah, telah  berkembang tarekat Qadiriyyah Khalidiyyah di bawah bimbingan KH. Abd al-Hadi di Giri Kusumo, Mranggen. Hanya saja sepeningal KH Abd al-Hadi, pcngaruh tarekat Qadiriyyah Khalidiyyah di lingkungan masyarakat Mranggen mulai memudar, dan digantikan pengaruhnya oleh tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang diajarkan oleh KH. Mushlih al-Maraqi.

Walaupun demikian, bukan berarti pengaruh tarekat Qadiriyyah Khalidiyyah hilang ditengah masyarakat Mranggen. Ia hanya mengalami mati suri, karena mengalami krisis regenarasi mengingat kader KH. Abd al-Hadi yang sekaligus adiknya, KH. Mansur, pindah ke Popongan, Klaten. Sementara putranya sendiri, KH. Muhammad Zuhri kurang mumpuni dalam hal ini. Bersama itu pula, pengaruh tarekat Qadiriyyah Khalidiyyah berpindah dari Giri Kusumo Mranggen ke Popongan Klaten.

Selama masa hidup KH. Mushlih al-Maraqi penyebaran tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah mengalami peningkatan luar biasa di Jawa Tengah. Ketokohan KH. Mushlih al-Maraqi pun mulai diperhitungkan oleh ulama ulama tarekat lainnya. Ini bisa dimaklumi karena di masa KH. Mushlih al-Maraqi, kontak hubungan saling mendukung antara tarekat dengan kekuasaan mulai terasa, bahkan mencapai titik klimaks. Sebagai salah satu dari empat pusat tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang penting di pulau Jawa, Rejoso (Jombang) dengan KH. Musta’in Romli Suralaya (Tasikmalaya) dengan abah Anom, dengan KH. Mushlih, dari Pengentongan (Bogor) dengan Kiai Thahir Falak, hanya Mranggen yang tidak mau bermesraan dengan Golkar.

Kiprah KH. Mushlih al-Maraqi di pentas panggung tarekat nasional mulai tampak di tahun 70-an. Tepatnya pada saat Muktamar NU XXVI di Semarang. Ia adalah tokoh utama dalam upaya penyelamat tarekat dari telingkungan kekuasaan, terutama semenjak Jam’iyah ahl  al-Thriqah al Mu’tabarah dipimpin KH. Musta’in Ramly yang terpilih sebagai ketua dalam Muktamar ke-5 Jam’iyah ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah di Madiun pada 1975. KH. Musta’in Ramly sendiri terseret ke dalam arus permainan politik praktis, ketika ia menjadi juru kampanye Golkar pada Pemilu 1977. Langkah ini jelas dianggap sebagai pengkhianatan terhadap NU yang saat itu rnasih berfusi dengan PPP.

Langkah KH. Musta’in Ramly ini yang oleh Martin Van Brusines dianggap sebagai langkah yang lahir mendahului zamannya, berkat ketajaman membaca tanda-tanda zaman. Karena pada akhirnya NU melakukan khittah rupa-rupanya tidak disepakati oleh ulama tarekat lain, termasuk KH. Mushlih al-Maraqi. Oleh karena itu, pada saat diselenggarakan Muktamar NU di Semarang, KH. Mushlih al-Maraqi mengundang para pemimpin NU dan tokoh-tokoh tarekat, antara lain, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Dr. Idham Chalid, dan KH. Masykur untuk bermusyawarah di kediamannya.

 

DISAHKAN BERDIRINNYA JAM’ IYAH THARIQAH NAHDLIYAH

Dalam kesempatan itu tercetus keputusan akan didirikannya Jam’iyah tarekat Mu’tabar NU dalam rangka mempertahankan kepentingan NU yang pada saat itu masih berfungsi dalam PPP. Keputusan itu kemudian disampaikan KH. Mushlih al-Maraqi di hadapan sidang pleno Pengurus  Besar Syuriah pada Muktamar NU XXVI di Semarang. Hasil musyawarah itu mendapatkan dukungan dari peserta sidang, yang kemudian disahkan dan dinyatakan berdirinya Jam’iyah al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah  dalam surat keputusan Nomor : 137/Syur PB/V/I980. Semenjak peristiwa itu, ketokohan KH. Mushlih al-Maraqi semakin berkibar di mata para ahli tarekat.

 

KARYA TULISNYA

Selama hayatnya, selain KH. Mushlih al-Maraqi memanfaatkan waktunya untuk mengajar, ia juga banyak menulis kitab-kitab Arab. Ia merupakan sosok ulama yang cukup produktif menulis, dengan bukti peninggalan empat karya utamanya yang ditulis selama masa kurun kepemimpinannya sebagai pengasuh Pesantren Futuhiyyah, 1936-1981.

Pertama, Hidayah al-Waldan yang berisi kurang lebih 100 bait tentang ilmu nahwu. Kitab ini sekarang lebih populer dangan nama Sulam al- Shibyan,  yang notabenya terjemahan dari Hidayah al-Widan, ditulis oleh menantunya KH. Muhammad Ridhwan.

Kedua, Inarah al-Dzalam yang berisi kurang lebih 60 bait. Kitab ini mengupas masalah, antara lain, 50 dasar- dasar tauhid (sifat wajib, mustahil, serta jaiz bagi Allah dan Rasulullah-Nya), stratifìkasi tasawuf (tarekat, hakekat, dan makrifat), masalah dzikir dan metode penyucian diri. Kitab ini lebih banyak mencerminkan ajaran teologinya Syekh Abu Hasan al-Asy’ari, dan tasawuf Syekh Junaid al-Bagdhadi.

Ketiga, Was’il Wushul al-Abd ila Mawlah bi Syarh Nail al Tadalli min al- Ilah, berisi 25 bait tentang masalah “membuka pintu Tuhan”, berikut syarahnya dalam bahasa Arab. Dalam  muqadimahnya, KH. Mushih al-Maraqi menuturkan bahwa, kitab yang pada awalnya merupakan pemberian KH. Abd al-Manan b. Muhammad Imdad Kendal ini tidak ada sampul dan judulnya. Terkecuali hanya  penjelasan tentang penyelesaian penulisannya, pada 23 Ramadhan 1273: Oleh KH. Mushlih al-Maraqi kitab yang masih dalam bentuk nadzam ini kemudian diberi nama “Nail al-Thadullimin Allah” (Menggapai petunjuk Tuhan), karena terinspirasi oleh isi dan beberapa bait syair yang ditulis Ibn Athaillah, tentang menuju pintu Tuhan.

Keempat, Nur al-Burhani yang merupakan terjemahan dengan sedikit catatan tambahan KH. Mushlih al-Maraqi atas kitab Manaqib Abd al-Qadir al-Jailani.

Di samping keempat karya utamanya tersebut, KH. Mushlih al-Maraqi juga menyusun beberapa kitab awrad, terutama dalam rangka mendukung praktik tarekat  Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Antara lain: Tsamrah al-Qulub berisi bacaan wirid harian yang dibaca setelah shalat lima waktu, al-Munjiyat berisi tentang tatacara dan bacaan untuk bertawasul kepada para wali dan Nabi saw, dengan beberapa catatan tambahan langsung dari KH. Mushlih al-Maraqi dan Nashar al-Fajr yang notabenenya merupakan teks Hizb ahl al-Badr, dengan sedikit catatan tambahan dan komentar.

 

LEBIH MENEKUNI ILMU NAHWU DAN THARIQAH

Jika dilihat dari karya-karyanya tersebut, nampak sekali KH. Mushlih al-Maraqi lebih banyak menekuni disiplin ilmu nahwu dan ilmu tarekat. Seperti halnya para pengasuh pesantren lainnya, ia juga dikenal banyak mengajarkan kitab-kitab kuning multidisiplin, dari mulai fiqh, tafsir, hadist,hingga ilmu-ilmu alat lain. Bahkan pada Rajab hingga Ramadlan, KH. Mushlih al-Maraqi membuka program pengajian wetonan, khusus untuk para santri yang mengambil program pesantren kilat.

Ketenaran KH. Mushlih al-Maraqi sebagai kiai yang ahli di bidang ilmu Nahwu juga dilihat dari cara pengembangannya di dalam mengelola i‘rab suatu kalimat. Ia dikenal sangat teliti, sistematis, dan komprehensif dalam mengi’rab. Hal ini bisa ditelusuri melalui metode i’rab yang ditulis dalam kitab al-Mushtblaha fi’ilm al-Nahwi, karya KH.Muhammad Ridhwan.

 

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)