TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. MUSLIH AL-MARAQI
SEMARANG
WAFAT: 1401 H/ 1918 M

 

KELAHIRAN DAN KETURUNANNYA

KH. Muslih al-Maraqi dilahirkan pada 1908 M, diperkampungan Suburan, Mranggen Demak, sekitar 13 km sebelah timur Semarang. Mengenai tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pada musim haji 1981, al-Maraqi memejamkan matanya untuk selama-selamanya. Jenazahnya dikebumikan di Ma’la, Mekkah. Ia sangat dihormati oleh para muqimin atau orang-orang Indonesia yang bermukim di Mekkah, dan setiap tahunnya selalu diperingati hari wafatya oleh keluarga besar Futuhiyyah.

Dari segi nasab, KH. Muslih al-Maraqi merupakan perpaduan antara ulama dan bangsawan di masanya. Dari garis keturunan ayah, ia memiliki silsilah dari Abd al- Rahman bin Qasid al-Haq bin Wiryo Kusumo atau yang dikenal Pangeran Sedo Krapyak bin Pengeran Sujatmika (Wijil II/ Notonegoro II) bin Pengeran Sabrang bin Ketib bin pengeran Hadi bin Sunan Kalijaga, hingga Ranggalawe (Adipati Tuban) atau Syekh al-Jali (al-Khawaji), dari Bagdad, yang memiliki rentetan pada Sahabat Abbar (Paman Nabi).

Secara umum, catatan tentang riwayat hidup KH. Muslih memang tidak sebanyak catatan para ulama sejamannya, seperti KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, KH. Mustain Ramly, KH. Ahmad Siddiq, dan sebagainya. Meski demikian, bukan berarti kiai yang juga dikenal dengan Syekh al-Mursyidin (Guru para mursyid alias maha guru tarekat), kalah pengaruhnya dengan para ulama sezamannya. Bahkan ia bisa disebut sebagai salah satu pioner terorganisasinya terekat al-Mu’tabarah di Indonesia, sehingga ia sangat dihormati di kalangan ahli tarekat.

 

DARI PESANTREN KE PESANTREN

KH. Mushlih al-Maraqi mulai menempa ilmu dengan belajar kepada orang tuanya sendiri, KH. Abd. Al-Rahman bin Qasid al-Haq. Kemudian, mulai melakukan rihlah (perjalanan) intelektual dengan nyantri kepada KH. Ibrahim Yahya, Brumbung Mranggen. Sewaktu menjadi murid Kiai Ibrahim inilah, ia diajak menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Merasa belum cukup dengan ilmu yang dimiliki, KH. Mushlih al-Maraqi memperluas cakrawala ilmu agama dengan berkelana ke banyak kiai dari pesantren di luar Mranggen. Pertama kali ia belajar di Pesantren Manggkang Kulon, sebelum berturut-turut nyantri pada KH. Zuber dan Syekh Imam di Sarang, di samping menjadi santri kalong (tidak bermukim) di pesantren KH. Maksum Lasem. Selanjutnya, pada tahun 1931 ia kembali ke Mranggen dan turut serta mengabdikan ilmunya di pesantren keluarganya. Setelah satu tahun di Mranggen ia kembali menuntut ilmu di Pesantren Termas yang ketika itu diasuh oleh KH. Dimyati.

Ketika di Termas inilah ia berjumpa dengan KH. Ali Maksum, Putra gurunya sewaktu menjadi santri Kalong di Lasem. Hubungan Kiai Ali dengan KH. Mushlih al-Maraqi terhitung cukup dekat. Sewaktu Kiai Ali menjadi kepala Madrasah di Termas, KH. Mushlih al- Maraqi diminta  mengantikan tugasnya untuk mengajar ilmu nahwu, Alfiyah ibn Malik. Konon, ketika KH. Mushlih al-Maraqi diminta mengajarkan kitab al-Fiyah, ia sempat pucat-pasi. Maklumlah, baru pertama kalinya KH. Mushlih al-Maraqi dituntut mengajarkan materi pelajaran, sementara ia sendiri sedang dalam proses mendalaminya.

Berkat dorongan dan motivasi Kiai Ali, akhirnya KH. Mushlih al-Maraqi menerima tugas itu. Ia pun mulai rnempelajari al-Fiyah secara otodidak selama tujuh hari, tanpa keluar dari kamarnya sama sekali. Hasilnya, ia mampu menguasai pengajaran al-Fiyah dengan baik dan sempurna, sehingga para muridnya antara lain mantan menteri  Agama Mukti Ali tertarik dengan sistem pengajaran al-Fiyah yang disampaikannya.

Secara aktifitas belajar mengajar di Pesantren Termas yang didirikan oleh, KH. Abdul Manan (menantu pengeran Honggowidjoyo w) pada 1830 M. KH. Mushlih al-Maraqi terkenal sebagai seorang ulama ahli fiqh, hadist, ushul, al-fiqh, ulum al-Qur’an, hingga ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf, ilmu badi’, ma’ani dan bayan).

 

MENDIRIKAN MADRASAH / SEKOLAH SAMPAI PERGURUAN TINGGI

Bagi KH. Mushih al-Maraqi, Pesantren Termas memang sangat berarti dalam karir intelektualnya. la pun sangat tertarik dengan model pengembangan pendidikan di Pesantren Termas, sehingga membuatnya terinspirasi untuk menjadikan Pesantren Futuhiyyah seperti Pesantren Termas.

Selangkah demi selangkah, KH. Mushlih al-Maraqi mulai  mengembangkan Pesantren Futuhiyyah yang sempat vakum sewaktu dipimpin Kiai Ustman (kakak), dan KH.  Muradi (adik). Pesantren Futuhiyyah pun dikembangkan layaknya seperti Pesantren Termas. (1936-1981). Mula-mula, KH. Mushlih al-Maraqi mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (1936), kemudian sccara perlahan namun pasti didirikan pula Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,  Fakultas Syariah UNNU, hingga sekolah-sekolah umum, seperti SLTP(1975) dan SMU.

Baru setelah kemerdekaan, KH. Mushlih  al-Maraqi bisa leluasa mengembangkan Pesantren Futuhiyyah. Selama  menjadi pengasuh Pesantren Futuhiyyah (1939-1981), KH. Mushlih al-Maraqi tercatat sebagai menejer pendidikan yang berlian. Ini terbukti dari keahliannya mengelola Pesantren Futuhiyyah dengan model Trisula. Satu sisi, KH. Mushlih al-Maraqi mengembangkan pendidikan formal di pesantren, di sisi lain ia mengembangkan  pesantren tradisional sekaligus pengajian tarekat.

Dalam persepsi KH. Mushlih al-Maraqi, penyelenggaraan pola pendidikan Madrasah maupun sekolah-sekolah formal, bahkan perguruan tinggi, perlu dikembangkan di pesantren dalam rangka membekali sisi duniawi para santri. Dalam konteks ini, KH. Mushlih al-Marqi adalah sosok ulama karena ia berani tampil terdepan di antara kiai-kiai pesantren lain, dengan memotori berdirinya perguruan tinggi (Fakultas Syari’ah UNNU , sekarang IIWS) di lingkungan pesantren Futuhiyyah. Keputusan  ini tentu saja sangat berlian, mengingat selama hingga awal tahun 1980 hanya beberapa pesantren besar yang memiliki perguruan tinggi.

Walaupun KH. Mushlih al-Maraqi tergolong ulama progresif, tapi ia memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan tradisi. Ini terbukti di tengah hiruk-pikuk dan rutinitas proses pembelajaran di pendidikan formal, KH. Mushlih al-Maraqi tetap mengajarkan kitab-kitab kuning dan mengembangkan Tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyah di pesantrennya. Bahkan untuk menambah wawasan keislamannya, KH. Mushlih al-Maraqi juga masih menyempatkan diri belajar kepada  syeh Yasin al-Fadani di sela-sela menjalankan ibadah haji

Di samping itu, sebagai salah satu bentuk komiten KH. Mushlih al-Maraqi dalam mempertahankan tradisi setiap santri yang lulus Madrasah Aliyah diharuskan sudah hafal al- Fiyah. Itulah sebabnya, Pesantren Futuhiyyah juga terkenal sebagai “Pesantren Alat”, dengan menitik beratkan penguasaan ilmu alat, Nahwu dan Sharaf.

 

SELALU BERMAKNA GUNDUL

Sisi menarik pribadi KH. Mushlih al-Maraqi adalah kejelian dan ketelitian dalam mengajar dan berkarya. Ia dikenal sangat tekun membaca, dengan keahlian khusus membaca sekaligus memberi makna gundul kitab-kitab Arab yang dipelajarinya. Hampir semua kitab-kitab koleksi KH. Mushlih al-Maraqi, terutama yang diajarkan kepada santrinya, selalu bermakna gundul.

Ada alasan tertentu, mengapa KH. Mushlih al-Maraqi selalu membiasakan memberi makna gundul terlebih dahulu kitab yang akan dibaca dan diajarkan kepada para santri. Pertama, dalam rangka menghindari miss understanding para  santri terhadap pesan tertulis pengarang kitab. Karena dengan terlebih dahulu memaknai gundul, secara tidak langsung seseorang telah mendalami dan mampu memahami secara utuh maksud pengarang. Kedua, untuk berjaga-jaga di saat sibuk atau pada usia senja, karena rutinitas kerja dan usia tua sangat mempengaruhi tingkat pemahaman dan pemaknaan teks Arab Gundul.

Sedari awal KH. Mushlih al-Maraqi mengembangkan pesantren bukan dalam rangka transformasi santri menjadi kiai semata. Ia mengerti kebutuhan hajat hidup, yang tentu saja menyita waktu, pada gilirannya akan menjauhkan para santri dari kitab kuning. Karena itu, agar santri tetap bisa membaca dan mempelajari kitab kuning, keberadaan makna gundul sangat dibutuhkan untuk menunjang pemahaman meskipun lama tidak belajar.

Kendati demikian, kesuksesan itu bukan berarti tanpa rintangan dan hambatan. Pada saat ia sedang mulai berkosentrasi mengembangkan Pesantren Futuhiyyah, kondisi sosial dan politik di Mranggen yang terletak tidak jauh dari Semarang sedang berkecamuk, sehingga kurang kondusif untuk melakukan kegiatan pendidikan.

Pada saat itu, Mranggen merupakan basis perjuangan tentara rakyat (Hizbullah), sekaligus menempati garda depan dalam sejarah perlawanan masyarakat timur Semarang, Demak, Grobogan, Purwodadi, Blora, dan Cepu, dalam menghadapi Belanda. Makanya, KH. Mushlih lebih banyak menggunakan kata Al-Maraqi (bahasa Arab) di belakang namanya, sebutan lain dari nama Mranggen. Karena, Mranggen atau al-Maraqi berarti “tempat atau pusat naiknya” mobilitas dan ekskalasi penjuangan masyarakat timur Semarang.

Sekitar 1936 M, tingkat mobilitas dan herositas Hizbullah sangat tinggi KH. Mushlih al-Maraqi yang sedianya ingin berkonsentrasi di dunia pendidikan terpaksa untuk sementara waktu harus mengurungkan niatnya. KH. Mushlih al-Maraqi beserta para santrinya kemudian memilih ikut terlibat dalam kegiatan Hizbullah, dan ia pun ikut berlatih kemiliteran Laskar Hizbullah di hutan Bekasi Jawa Barat.

 

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)