TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. BISHRI SYANSURI
DENANYAR JOMBANG JATIM
Wafat: 1400 H / 1980 M

 

MENJADI ANGGOTA KNIP, KONSTITUANTE, DPR RI

Pada tahun 1946, ia mulai terlibat dalam lembaga pemerintahan dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Partai Masyumi partai politik yang sempat menjadi ruang ekspresi politik NU. Antara tahun 1955-1959, ia menjadi anggota Dewan Konstituante, namun akhirnya Majelis Konstituante dibubarkan dan selanjutnya DPR pun dibubarkan. Peristiwa ini sempat menimbulkan krisis kenegaraan.

 

KETUNDUKANNYA PADA HUKUM FIQH

Sepeninggal KH. Hasyim Asy’ari, maka KH. Abdul  Wahab Chasbullah dan KH. Bishri Syansuri merupakan sepasang tokoh ulama yang saling isi mengisi (kira-kira semacam dwi tunggal) dalam kepemimpinan pusat. KH. Bishri Syansuri lebìh muda usianya dari pada KH. Abdul Wahab Chasbullah yaitu selisih 4 tahun. Meskipun begitu kedua tokoh ini hampir tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hampir dalam setiap peristiwa penting di mana hadir KH. Abdul Wahab Chasbullah, maka hadir pula KH. Bishri Syansuri mendampinginya. Semenjak masa mudanya, kedua tokoh ini saling berkompetisi dalam menuntut ilmu, dan keduanya sama cakap, rajin dan jago berdiskusi selama ada kesempatan berkumpul.

Suatu ketika kedua pemuda ini belajar di bawah satu atap secara bersama-sama dalam asuhan Kiai Chasbullah mertua KH. Bishri Syansuri. Ilmu dan cita-citanya sama- sama di bina sejak zaman Taswirul Afkar, Nahdlatul Warhan, dan Subbanul Wathan. Hubungan yang demikian erat ini terjalin secara terus-menerus sehingga menjadi kian kokoh dan berkembang sampai pada pendirian NU dan proses peleburan tiga organisasi tersebut.

Keteguhan yang begitu besar dalam ketundukannya kepada hukum fiqh ini memang suatu hal yang menarik untuk dikaji, karena tidak jarang orang menyimpulkan bahwa hal demikian itu sebagai gambaran yang pincang tentang kesempitan dan pendeknya jangkauan pandangan seseorang. Padahal, justru ketundukan seperti itulah yang mampu membuahkan hasil sebuah kepribadian yang utuh dan bulat, memiliki dimensi kedalaman pandangan tentang kehidupan dan memberikan arah secara utuh berakibat positif kepada jalan kehidupan manusia, kalau ia diterapkan secara tekun dan tuntas.Di sinilah harus dipahami akan kebenaran Kiai  Bishri, yang memperlakukan penerapan hukum fiqh dalam kehidupan sebagai sesuatu yang harus dilakukan secara utuh, tekun dan tuntas.

Sebuah ilustrasi dapat dikemukakan di sini yaitu kasus skorsing yang dijatuhkannya atas diri almarhum HM. Subhan dari jabatan ketua I Pengurus Besar NU. Sejumlah ulama datangi kiai Bishri, menanyakan sebab-sebabnya. “Apakah anda dapat menyelesaikan masalah itu kalau saya sebutkan?” Demikian tanya kiai Bishri. “Sudah tentu tidak”. Jawab sejumlah ulama. Bukankah tanpa ada jaminan anda akan menyelesaikan, saya hanya akan mempergunjingkan orang saja kalau saya ceritakan kepada anda, hal mana jelas bertentangan dengan hukum fiqh?

Dari apa yang dikemukakan di atas tidaklah salah kalau disimpulkan bahwa tempat Kiai Bishri dalam kehidupan ini adalah sebagai pecinta, penganut dan pelaksana hukum fiqh, tempat yang mengandung fungsi perjuangan dan edukatif sekaligus dalam kehidupan. Ini tercermin dalam ketekunan Kiai Bishri dalam memimpin majelis hukum agama empat puluh hari sekali di masjid Kauman Lor di Kota Jombang.

 

PIJAKANNYA SAMA, NAMUN PENERAPAN BERBEDA

Kedua tokoh ini sama-sama mengemudikan NU sejak perhimpunan ini masih dalam bentuk Jam’iyah hingga menjadi partai politik. Kalau KH. Abdul Wahab Chasbullah terpilih menjadi Rais ‘Aam, maka jabatan wakilnya secara otomatis KH. Bishri Syansuri, dan bukan yang lainnya. Kedua tokoh ini sebenarnya mempunyai dasar berpijak dan pangkal orientasi yang sama. Hanya saja dalam penerapan ilmunya di tengah-tengah masyarakat, keduanya mempunyai jalan pikiran yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, di manapun mereka berdua akan terjadi perdebatan panjang. Memang setiap hukum Islam yang bukan qath’i (bukan tafsili) mesti menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam dikarenakan perbedaan sebab atau illatnya.

Dalam masalah hukum, KH. Abdul Wahab Chasbullah senantiasa mengukur kondisi masyarakat. Bisakah masyarakat menanggung konsekuensinya? Sebab tujuan hukum adalah untuk diamalkan. Karena itu, KH. Abdul Wahab Chasbullah memiliki hukum yang paling ringan (selama batas-batas yang diizinkan syara’) yang sekiranya bisa dipakai oleh Masyarakat. Itulah sebabya KH.Abdul Wahab dipandang oleh orang yang tidak rnenguasai hukum Islam sebagai mempermudah hukum .Pangkal dari cara berpikir KH. Abdul Wahab ialah untuk menerapkan hukum yang  berat takala ada hukum yang lebih ringan sehingga bisa dijangkau oleh masyakat.  Sebab,bukankah tujuan hukum itu untuk ditaati?

Adapun pokok pangkal cara berpikir KH. Bishri Syansuri didasarkan pada faktor mental manusia. Menurutnya bahwa pada umumnya manusia itu hendak menghindar dari hukum walau bagaimanapun ringanya hukum itu. Maka lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat (toh bakal ditawar). Sehingga kalau seseorang melanggarnya ia masih bisa ditampung oleh hukum yang lebih ringan. Oleh karana itu fatwa-fatwa KH. Bishri Syansuri dikenal orang sebagai fatwa yang keras, sebab hanya mengenal alternatif halal dan haram. Dalam soal-soal yang prinsip, KH. Bishri Syansuri tidak pernah kenal kata kompromi. Perdebatan-perdebatan antara KH . Abdul Wahab dan KH. Bishri Syansuri itu tetap saja berlangsung, walau keduanya sudah diikat menjadi saudara ipar, bahkan keduanya sudah menjadi tokoh sentral di PBNU.

 

BERBEDA SELAMA BERDISKUSI

Namun perbedaan itu hanya berlaku selama berdiskusi bermusyawarah saja. Di luar itu, hubungan keduanya sangat akrab, penuh kasih sayang dan saling menghormati selayaknya kakak dan adik. Bila kedua ulama ini secara kebetulan sedang berjalan bersamaan, maka tidak pernah KH. Bishri mengambil posisi sejajar, tetapi mengambil posisi di belakang KH. Abdul Wahab Chasbullah, kira-kira 0,05-1 M. Bukan hanya itu, KH. Bishri tidak mau menjadi imam shalat selagi masih ada KH. Abdul Wahab Chasbullah, walau KH. Wahab sendiri yang memintanya. Begitulah KH. Bishri dalam menghormati KH. Abdul Wahab Chasbullah selaku kakaknya. Sebagaimana layaknya seorang santri menghormati kiainya .Oleh KH. Bishri di contohkan dengan tindakan yang nyata. Yakni pada waktu KH. Ma’shum (gurunya waktu mengaji kitab al-Jurumiyah) Lasem jawa Tengah datang di Pondok Denanyar. Ketika berjalan ke masjid, KH Bishri selalu di belakang samping kanan KH. Ma’sum. Jabatan imam shalat diserahkan kepada KH. Ma’sum. Bahkan sewaktu di tengah-tengah dzikir selesai shalat, tiba-tiba KH. Ma’sum berdiri, maka KH. Bishri pun secara spontan ikut berdiri.

 

PRO KONTRA DIBENTUKNYA DPR RI

Setelah Majelis Konstituante dibubarkan, dibentuklah DPR Gotong Royong. Terbentuknya DPRGR sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk NU. Sebagian kelompok NU menolak terbentuknya DPRGR, karena dianggap telah melanggar Undang-Undang yang berlaku dan melanggar kedaulatan rakyat. Sementara kelompok NU lainnya menerima karena alasan Amar Makruf dan Nahi Mungkar. Kedua kelompok ini dimotori masing- masing oleh KH. Bishri Syansuri sebagai kelompok yang menolak, dan KH. Wahab Chasbullah sebagai kelompok yang menerima.

Bagi kelompok di luar NU, perbedaan pandangan antara dua tokoh utama NU ini dianggap sebagai pertentangan yang cenderung negatif dan kontra produktif. Padahal, dalam kenyataannya, perbedaan pandangan tersebut justru saling memperkaya dan saling melengkapi. Alih-alih merenggangkan hubungan antara keduanya, yang terjadi justru saling memadukan dan bahkan semakin mematangkan kapasitas intelektualisme dan psikologis masing-masing.

Sayangnya, perdebatan pandangan tersebut kerap di salah artikan. Padahal ketegasan pendirian dan keyakinan KH. Bishri Syansuri itu dilakukan apabila menyangkut masalah-masalah yang dianggap prinsip. Pilihan menerapkan alternatif hukum yang tegas dan keras sebenarnya dalam rangka mencari alternatif hukum yang lebih lunak. Dalam konteks inilah pemikirannya menemukan relevansinya.

Sebagai seorang guru, pejuang dan ulama, ia memiliki pandangan yang cukup luas, ini terbukti dari ketajaman pikirannya terutama dalam menganalisis setiap permasalahan sehingga menghasilkan solusi yang terbaik, baik itu menyangkut persoalan dibidang agama, sosial, maupun politik.

 

SESUDAH G30S PKI

Di saat-saat penuh kesulitan setelah terjadinya percobaan penggulingan kekuasaan pemerintah oleh G 30S/PKI di tahun 1965, dengan pertumpahan darah yang luar biasa besarnya serta perpindahan kekuasaan pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru, Kiai Bishri sering harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nahdhatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional. Hal ini ia lakukan karena Kiai Abdul Wahab, seringkali harus udzur. Dalam periode setelah wafatnya kiai Abdul Wahab di tahun 1971 dan kemudian diangkatlah Kiai Bishri sebagai Rais A’am, maka semakin beratlah tanggungjawab memimpin Nahdlatul Ulama. Organisasi ini semakin nyata membuktikan dirinya sebagai kekuatan sosial keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah anggota (man power) dan kekuatan kejiwaan (daya tahan) begitu besar (di hadapan banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya sendiri).

Peran kekuatan parpol pada saat itu digambarkan Ahmad Mansur Suryonegara dalam bukunya Menemukan Sejarah Wacana pergerakan Islam di Indonesia sebagai berikut; dengan hancurnya komunis setelah terjadinya G 30-S PKI kekuatan Nasakom tinggal NU dan PNI yang merupakan penyangga nasionalnya terbawa rontok. Partai-partai gurem lainnya dari kalangan non Islam tidak seimbang realitas potensinya dengan NU plus parpol Islam kecil lainnya seperti Perti dan PSII. Kekuatan massa diperlihatkan dalam Harlah NU ke 40 (1926-1966) yang mendapatkan dukungan yang positif dari Presiden Soekarno. Tetapi NU sebagai pemilik kekuatan massa real yang sangat besar itu tidak siap menghadapi perubahan politik yang terjadi secara mendadak. Sikap politik NU menjadi pendukung lahirnya Orde Baru bukan sebagai sokoguru. Akibatnya, NU dijadikan unsur penunjang lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Permusi) yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Disinilah NU layaknya seperti Nabi Yunus yang menumpang kapal orang lain, dimana kapten kapalnya menuntut Yunus untuk meloncat ke tengah laut. Nasib selanjutnya Nabi Yunus ditelan kegelapan perut ikan.

Nasib Pondok Pcsantren juga identik dengan nasib NU, yaitu dalam kegelapan dimana kiai pengasuh pondok pesantren dengan seluruh jajarannya ikut larut dalam kegiatan politik praktis yang dengan sendirinya banyak program-program yang terbengkalai dan tak bisa dilaksanakan.

Untuk menggambarkan kenyataan ini, adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang pernah mengatakan hahwa: “Masa itu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu suatu masa yang menyenangkanmu dan suatu masa yang tidak lagi menyenangkanmu.”

Sesuai dengan penggambaran Ali bin Abi Thalib, maka episode pertama dalam memimpin NU berlangsung “manis” yaitu saat mengganyang G 30-S/PKI. Pada waktu itu, hampir semua Pesantren tepatnya di rumah kediaman kiai pengasuh pesantren menjadi pusat penggemblengan Barisan Anshor tiap para santri alumni yang tergabung di barisan KAPPI, KOKADA, KAMI untuk siap tempur di barisan terdepan kekutan Orde Baru bersama ABRI mengganyang G 30-S/ PKI beserta antek-anteknya. Penggemblengan ditangani langsung oleh kiai.

Sebagian kiai lain beserta para muballigh muda pondok  pesantren bergerak dari satu podium ke podium yang lain dan menjelajah dari satu daerah ke daerah lain melalui majelis pengajian menggebrak mengobarkan semangat juang bela negara dengan menghancurkan PKI dan menghukum dalang-dalang Gerakan 30 September. Ibarat keringat belum kering, maka sejak memasuki era Orde Baru sampai NU kembali ke Khittah “28 episode ‘manis’ berakhir, langsung masuk episode kedua yang penuh kegetiran”. Hal ini disebabkan karena NU tidak siap menghadapi perubahan konstelasi politik yang terjadi secara cepat dan mendadak. NU dengan para kiainya kemudian menjadi tersisih dan terpojok pada ruang gerak yang sempit karena kuatnya berbagai macam tekanan yang datang. Pengurus-pengurus NU seperti Pertanu (Persatuan Tani Nabdlatul Ulama), Serbumusi (Serikat Buruh Muslim Indonesia), Sernemei (Serikat Nelayan Muslimin Indonesia), Pergunu (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) satu persatu hilang dari pandangan dan pendengaran.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)