TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. BISHRI SYANSURI
DENANYAR JOMBANG JATIM
Wafat: 1400 H / 1980 M

 

KH. BISHRI SYANSURI

Di samping KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH.  Bishri Syansuri merupakan tokoh utama dalam Jam’iyah NahlatuI Ulama (NU). Ketiga tokoh ini, mulai dari KH Hasyim Asy’ari, dilanjutkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, dan KH. Bishri Syansuri,  secara berurutan memegang pucuk kepemimpinan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini. KH. Bishri Syansuri dikenal sebagai ulama yang memiliki karakter khas dalam mewarnai NU.

 

KELAHIRANNYA

KH. Bishri Syansuri dilahirkan pada Rabu 18 September 1886 M di Tayu Pati, sebuah Ibu Kota kecamatan yang letaknya sekitar seratus kilometer arah timur laut Semarang Jawa Tengah. Secara geografs, Tayu merupakan kawasan pesisir pantai utara Jawa yang dikenal memiliki budaya sosial keagamaan yang kokoh. Budaya sosial keagamaan yang seperti inilah, tampaknya yang melatarbelakangi pandangan hidup dan karakter kepribadiannya yang kemudian mewarnai kehidupannya di masa mendatang.

Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang  lahir dari pasangan Syansuri bin Abdul Shamad dan Mariah. Dan memang, dari pasangan inilah yang di kemudian hari banyak melahirkan tokoh terkemuka, antara lain KH. Khalil Lasem dan KH. Baidlowi Lasem.

 

BELAJAR DI PONDOK PESANTREN

Di usianya yang ketujuh, ia mulai belajar agama secara teratur. Pertama-tama ia belajar membaca al-Qur’an dan tajwidnya kepada KH. Shaleh di Tayu selama lebih kurang tiga tahun. Selanjutnya ia belajar kepada KH. Abd. Salam, salah seorang kerabat dekatnya yang menjadi ulama terkemuka dan membuka pesantren sendiri di daerah Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Di pesantren inilah ia mendapatkan pendidikan agama secara tuntas.

Memasuki usianya yang kelima belas tahun, ia meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk dapat melanjutkan perjalanan intelektualnya di berbagai pesantren. Awalnya KH. Bishri Syansuri belajar kepada KH. Khalil Kasingan Rembang dan KH. Syu’aib Sarang Lasem, dua orang ulama terkemuka di pesisir utara jawa pada waktu itu. Kemudian ia melanjutkan perjalanan  intelektualnya dengan belajar kepada KH. Demangan Bangkalan, ulama terkemuka di Madura yang juga dikenal sebagai guru dan hampir semua ulama berpengaruh pada generasinya berikutnya. Di pesantren inilah KH. Bishri Syansuri bertemu seorang pemuda, Abdul Wahab Chasbullah, yang kemudian menjadi sahabat karib dan tidak terpisahkan dalam perjuangannya di kemudian hari.

Dari Demangan, Bangkalan. ia bersama sahabat karibnya melanjutkan perjalanan intelektualnya menuju KH. Hasyim Asy’ari,  pengasuh Pondok Pensantren Tebuireng, Jombang. KH. Bishri Syansuri memperdalam khusus pengatahuan agama, khususnya Fiqh,Tauhid,Tafsir, Hadist, dan berbagai disiplin pengetahuan agama lainnya. Di Pesantren Tebuireng ia juga berjumpa dengan para santri yang kelak menjadi tokoh berpengaruh seperti, Abdul Manaf ( Lirboyo Kediri), As’ad (Situbondo), Achmad Baidlowi (Banyumas), Abdul Karim (Gresik), Nakhrowi (Malang), Abbas (Banten), dan Ma’shum (Maskumambang Sedayu). Setelah enam tahun belajar di Pesantren Tebuireng, ia memperoleh ijazah dari  Mbah Hasyim untuk mengajar kitab-kitab agama dalam literatur klasik.

Banyak santri lain dikenang orang karena berbagai ulahnya, seperti pemuda Abdul Wahab Chasbullah pemuda dinamis yang membuat banyak persoalan bagi gurunya. Lain halnya dengan pemuda, Bishri Syansuri, dimana ia mempunyai sikap hidup lugas, memiliki jalur kegiatan yang bersifat rutin dan cenderung membenamkan diri ke dalam kebersamaaan pola hidup dengan teman-teman sebaya dan pada menonjolkan kiprahnya sendiri.

 

BERANGKAT KE MEKKAH

Dari Pesantren Tebuireng. KH. Bishri Syansuri bersama sahabatnya, A.Wahab Chasbullah, melanjutkan pendidikannya ke Mekkah, pusat orientasi pendidikan keagamaan umat Islam. Di Mekkah ia belajar kepada ulama-ulama terkemuka seperti, Syekh M. Bakir, Syekh M. Said al-Yamani, Syekh Umar Bajuned. Syekh M. Sholeh Bafadlol, Syekh Jamal al-Maliki, Syekh Abdullah, Syekh Ibrahim al- Madani, Syekh Ahmad khotib Padang, Syekh Suaib Doghestani dan KH. Mahfud Termas. Ketiga ulama terakhir ini juga merupakan guru KH. Hasyim Asy’ari.

Berbeda dengan A. Wahab Chasbullah yang akif dalam aktivitas organisasi dan bahkan sempat mempelopori berdirinya Syarikat Islam (SI) cabang Mekkah, KH. Bishri Syansuri justru kurang begitu tertarik untuk terlibat kegiatan organisasi. la lebih tertarik bergelut diri dalam dunia pendidikan. Ketidaktertarikannya dengan organisasi bukan berarti ia menafikan pentingnya organisasi dalam melakukan perjuangan keagamaan, tetapi lebih merupakan bentuk tawadhu’ terhadap gurunya, KH. Hàsyim Asy’ari. Artinya, keterlibatannya dalam dunia organisasi itu hanya mungkin dilaksanakan apabila mendapat restu dari gurunya itu.

 

MENIKAH DI MEKKAH

Selama di Mekkah, tepatnya tahun 1914, A. Wahab Chasbullah menjodohkan ia  dengan adiknya yang bernama, Nor Khadijah yang saat itu menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Setelah beberapa tahun menggali pengetahuan di Mekkah, akhirnya dengan berbagai pertimbangan yang utamanya pada situasi dan kondisi Nusantara dan imbas Perang Dunia I, ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan Mekkah. Sementara Wahab Chasbullah, kakak iparnya untuk beberapa waktu tetap bertahan di Mekkah.

Setibanya di tanah air, KH. Bishri Syansuri tinggal bersama mertuanya, KH. Chabullah, tepatnya di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras. Selama dua tahun ia membantu mertuanya dalam bidang pendidikan dan pertanian.

 

MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN

Namun akhirnya ia diberi sebidang  tanah di desa di Denanyar yang masih berdekatan dengan desa Tambak Beras untuk merintis kehidupannya secara mandiri dan untuk mendirikan pesantren.

Denah desanya terletak di garis perbatasan antara Jombang dan daerah pedalaman sebelah barat laut. Sayangnya, moralitas masyarakat setempat demikian buruk yang terbukti dengan banyaknya wanita tunasusila (WTS), kekerasan, pembegalan, perampokan dan Pembunuhan.

Pada tahun 1917, atas dorongan mertuanya, KH. Chasbulah, yang kemudian direstui gurunya, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bishri Syansuri bersama istrinya, Nor Khadijah, mendirikan Pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif  Denanyar Jombang. Pada mulanya, ia hanya menyedian lembaga pendidikan untuk kaum pria saja.

 

SEBAB-SEBAB MENGIRIMKAN ANAK KE PESANTREN

Van Der Kolf, menurut Van Niel dalam bukunya tentang kebangkitan elite modern Indonesia, menyatakan bahwa salah satu sebab meningkatnya pendidikan pesantren adalah munculnya kaum kaya baru di pedesaan Jawa pada pertengahan abad ke Sembilan belas. Sebagai wiraswasta di bidang pertanian, para petani yang sukses dalam melayani perkebunan-perkebunan tembakau, kopi, teh, tebu, dan sebagainya (yang dimiliki para pengusaha di Eropa), dihadapkan kepada kebutuhan, menentukan lembaga pendidikan mana yang sebaiknya ditunjang sebagai penampungan anak-anak mereka.

Pendidikan sekolah negeri tidak dapat dimasuki, karena lembaga tersebut hanya tersedia bagi anak-anak kaum ningrat sebagai calon pegawai pemerintah kolonial. Mereka juga tidak bersedia mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dagang Tionghoa, yang mungkin juga tidak mau menerima anak-anak mereka itu, karena belum adanya tradisi kebersamaan antara kelompok-kelompok yang secara budaya dan etnis berasal dari lingkungan berlainan. Maka tidak ada jalan lain bagi mereka selain mengirimkan anak-anaknya ke Pesantren.

Pada saat yang sama, terbuka jalur pelayaran kapal  api ke Eropa melalui terusan Suez dimana hal itu telah memungkinkan terbukanya perjalanan kapal secara regular antar Indonesia dan Timur Tengah. Gabungan antara meningkatnya kekuatan finansial dan semakin terjaminnya hubungan antara kawasan Timur Tengah telah menghasilkan sebuah proses baru dalam pendalaman ilmu-ilmu agama Islam di Jawa. Bentuknya adalah pengiriman para santri untuk mendapatkan pendidikan lanjutan di Mekkah, jantung kehidupan ilmiah tradisional dunia Islam waktu itu. Di Semenanjung Arab sendiri, telah terjadi sebuah proses berlingkup luas, yaitu berlangsungnya dialog intensif antara orientasi keagamaan lama dan tuntutan akan pemurnian  ajaran agama yang diajukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab. Dialog kemudian menghasilkan sebuah tradisi keilmuan yang baru, yaitu penegasan kembali otoritas fiqh atas aspek-aspek lain dan kehidupan beragama Islam.

Maka, tradisi ke-kiai-an jenis baru pun muncul yaitu dari linkungan mereka yang memeriksa kembali pola pendalaman ilmu-ilmu agama Islam yang sudah cukup lama berjalan di kalangan pesantren. Ilmu-ilmu seperti kanuragan (kekebalan) dan lain-lain, yang dipergunakan untuk memperkuat tubuh dengan tenaga supranatural, ditundukkan kepada pengarahan metode berpikir keagamaan yang berlandaskan kepada fiqh dan peralatannya. Muncullah generasi baru berupa para ulama fiqh yang tangguh di Mekkah, yang berasal dari kawasan Asia Tenggara, seperti Kiai Nawawi Banten. Kiai Khalil bangkalan adalah juga termasuk berasal dari tradisi ini, karena ia berhasil menggabungkan kedua kecenderungan fiqh dan harekat dalam dirinya, sebuah keseimbangan yang tidak  meremehkan kedudukan fiqh. Maka tidaklah mengherankan jika pesantrennya menjadi tempat utama untuk mencetak calon kiai di masa depan, dan karena itu pula pemuda Bishri pada usia belasan tahun sudah belajar di Pesantren Kiai Khalil.

 

PESANTREN PUTRI YANG PERTAMA

Dua tahun kemudian, KH. Bishri Syansuri bersama istrinya melakukan terobosan baru dengan membuka kelas khusus untuk santri putri.

Langkah inovatif ini dinilai sebagai fenomena yang menarik dan cukup berarti dalam tradisi pesantren secara umum. Demikian karena dalam sejarah pesantren Denanyar –lah  yang pertama kali membuka pesantren khusus Putri,setidaknya di Jawa Timur.

Secara psikologis, ikhtiar untuk membuka pesantren khusus putri pada masa itu menunjukkan kematangan pemikiran KH. Bishri Syansuri dan kemandiriannya dalam menentukan kebijakannya. Karena, biasanya ia tidak pernah mengambil sebuah keputusan tanpa mendapat restu gurunya, KH. Hasyim Asy’ari. Di sinilah tampak bahwa, kematangan jiwa dan pemikirannya cukup menentukan pada arah yang hendak di tuju dan dicapai dalam kehidupannya.

 

SEBAGAI KEPALA STAF MODT, DAN KETUA MARKAS  PERTEMUAN BARISAN HIZBULLAH SABILILLAH.

Selain bergulat dalam dunia pendidikan, KH. Bishri Syansuri juga terlibat dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan. Bahkan ia tercatat sebagai kepala staf Markas Ulama Jawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya. Jabatan ini berakhir setelah lembaga ini dibubarkan dan TNI dijadikan sebagai satu-satunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan Negara. Antara tahun 1947-1949, ia bertindak sebagai ketua Markas pertempuran barisan Hizbullah Sabilillah. Usia yang sudah mencapai lima puluh tahunan tidak mengurangi mobilitas dan kegesitan gerak fisiknya. Semangat juangnya semakin bergelora ketika gurunya, KH. Hasyim Asy’ari. Mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah Belanda.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)