TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. BISRI MUSTHOFA
REMBANG
Wafat: 1397 H / 1977 M

 

KELAHIRANNYA

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di Desa Pesawahan Rembang Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia dipilih sendiri sepulang dari menunaikan  ibadah haji  di kota suci Mekkah. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orang tua KH. Bisri Musthofa, kecuali catatan KH. Bisri Musthofa yang  menyatakan bahwa kedua orang tuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun sayang sekali, mengenai Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya.

 

MASA PENDIDIKAN

KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa “Ongko Loro” di Rembang. Di sekolah ini, Bisri kecil tidak sampai selesai,  sebab ketika hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah karena oleh orang tuanya ia diajak menunaikan ibadah haji di Mekkah. Rupanya inilah masa di mana ia harus merasakan kesedihan mendalam, karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.

 

SEKOLAH DI HIS

Sepulang dari tanah suci, Bisri kecil sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tidak lama kemudian ia  dipaksa keluar oleh Kiai Khalil (guru di pondok yang kelak jadi mertuanya) dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda, sehingga ia kembali lagi ke sekolah ‘Ongko Loro” sampai mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), KH. Bisri Musthofa melanjutkan pendidikannya ke Pesantren di Rembang. Pada tahun 1930, ia belajar di Pesantren Kasingan Pimpinan Khalil.

 

MENJADI MENANTU KIAINYA

Di usianya yang kedua puluh, KH Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yang bernama Kiai Khalil dari Kasingan (tetangga Desa Pesawahan), dengan seorang gadis bernama Ma’rufah (saat itu usia 10 tahun) yang tidak lain adalah putri Kiai Khalil sendiri. Belakangan diketahui, pernikahan inilah yang menjadi alasan Kiai Khalil tidak memberikan izin kepada KH. Musthofa untuk melanjutkan studinya ke Pesantren Termas yang waktu itu diasuh oleh Kiai Dimyathi.

Dari perkawinan tersebut, KH. Bisri Mustofa dianugerahi delapan orang anak, yaitu Khalil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihab. Labib, Nihayah dan Atikah. KH. Musthofa Bisri merupakan putra KH. Bisri Musthofa yang dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan Pesantren yang dimilikinya.

Menjadi mertua kiai itu enak-enak susah. Bagi yang pintar memang enak, sebab dapat langsung mengajar dan tanpa susah mencari murid. Bagi yang ilmunya pas-pasan, susahnya bukan kepalang. Dan sialnya lagi, orang beranggapan tidak mungkin seorang kiai mengambil menantu orang bodoh. Yang terakhir ini ternyata dialami Kiai Bisri yang waktu itu masih merasa bodoh. Dia prihatin, karena para santri minta dibacakan kitab macam-macam, bahkan wujud kitabnya saja  tidak pernah tahu.

Prinsip belajar candak kuluk (belajar sambil mengajar) akhirnya dilakukan. ia belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab, di Karanggenang bersama Kiai Kamil. Besok paginya hasil musyawarah ini dibacakan di depan para santrinya di Kasingan. Karena itu, jadwal mengaji di pesantren sangat tergantung pada jadwal Karanggeneng. Kalau di Karanggeneng libur, pengajian Kiai Bisri di Kasingan ikut libur karena ia kehabisan bahan. Tidak betah dengan model caduk kulak, Kiai Bisri ingin meninggalkan Rembang. Yang penting pergi dari “bumi panas” Pesantren Kasingan. Maka begitu musim haji tiba, Kiai Bisri nekad pergi ke Mekkah dengan uang tabungan dan hasil jual kitab Bijuraimi Iqna. Harga tiket berangkat haji waktu itu Rp. 185,00. Pada tahun 1936, berangkatlah Kiai Bisri ke Mekkah untuk ibadah haji tanpa bekal cukup. Selama di Mekkah, ia numpang di rumah Syeh Chamid Said,sebagai Khadam,pembantu.

Menjelang rombongan haji pulang ke tanah air, Kiai Bisri sedih akan teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan ilmu pas-pasan. Kiai Bisri memutuskan tidak ikut pulang bersama temannya Suyuti. Sementara tiketnya dijual. Satu tahun kemudian pada musim haji berikutnya Kiai Bisri memutuskan untuk pulang ke tanah air.

 

GURU – GURUNYA DI MEKKAH

Di Mekkah, pendidikan yang dijalani KH. Bisri Musthofa bersifat non-formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekkah. Secara keseluruhan, guru-gurunya di Mekkah adalah: 1) Syekh Baqir asal Yogyakarta. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab Lubhil Ushul, Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf 2). Syehk Umar Hamdan al-Maghriby. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari Muslim; 3). Syekh Ali Makki. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab al-A sybah wa al-Nadha’ir dan al-Sunnn al-Sittah; 4). Sayyid Amin. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab Ibn Aqil. 5). Syekh Hasan Massath. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; 6), Sayyid Alwi. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar Taflir al-Qur’an al-Jalalain; 7). KH. Abdullah Muhaimin. Kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami.

 

MEÑGGANTIKAN POSISI KIAINYA

Dua tahun lebih KH. Bisri Musthofa menuntut ilmu di Mekkah. KH. Bisri Musthofa pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Kholil) meninggal dunia. Sejak itulah KH. Bisri Musthofa menggantikan posisi guru dari mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren. Dalam mengajar para santrinya, ia melanjutkan sistem yang digunakan kiai-kiai sebelumnya, yaitu menggunakan sistem sorogan menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan Iangsung kepada para santrinya adalah Shahib Bukhari, Shahib Muslim, Alfiah Ibn Malik, Fath al Mu’in, Jam’ul Jawami, Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imritbi, Nazham Maqshud, Uqudin Juman, dan lain-lain.

Di samping kegiatan mengajar di pesantren, ia juga mengisi ceramah -ceramah (pengajian) keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya, sehingga ia sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal Pati, Pekalongan Biora dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah.

 

SANTRI -SANTRINYA

KH. Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah KH. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), KH. M. Anshari (Surabaya), KH. Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), KH. Basrul Khan, KH. Jauhar, Drs. Umar Faruq SH.. Drs. Fathul Qarib (dosen IAIN Medan), H. Rayani (pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.

 

MASA PENDUDUKAN JEPANG

Pada 8 Desember 1941, Jepang mengumumkan perang melawan sekutu. Bulan Maret 1942 Jepang mendarat di Jawa dan pada bulan itu juga Belanda menyatakan takluk pada bala tentara Jepang, DAI Nippon. Jauh sebelum Jepang mengumumkan perang, pemerintah Belanda sudah terlihat sibuk memasang perangkap maut di mana-mana dan membuat bungker perlindungan, pengawasan diperketat. Jembatan yang diperkirakan akan dilalui DAI Nippon dihancurkan.

Dunia pesantren gempar sebab para santri diminta menjadi milisi sukarela memperkuat barisan Belanda untuk mengahadapi Jepang. Pesantren-pesantren lengang karena ditinggal santri kampung halamannya, tidak terkecuali Pesantren Kasingan. Gebernur Jenderal Belanda di Batavia sesungguhnya telah mengabulkan permintaan Ulama untuk membebaskan para santri dari wajib militer. Namun nampaknya berita itu tidak sampai ke pesantren di Rembang ini. Pondok pesantren sudah terlanjur sepi. Pesantren Kadingan pun pada akhirnya bubar.

Karena situasi kian mencekam, Kiai Bisri beserta keluarganya pergi meninggalkan Rembang. Konon, pantai Rembang dijadikan tempat pendaratan tentara sebagai seorang pengungsi, kehidupan keluarga  muda dengan seorang anak, Khalil Bisri, yang belum genap setahun ini sangat menderita.

Rakyat sangat menderita dan ketakutan. Tentara Jepang seenaknya sendiri memperlakukan orang. Bila ada wanita cantik, dikejar dan dibawa pergi, entah kemana. Banyak wanita pribumi yang memperburuk wajahnya dengan mencoreng arang. Jika ingin minum, Jepang menyuruh warga desa untuk memanjat kelapa. Mereka suka minum air kelapa muda.

Tidak begitu lama setelah Belanda menyatakan takluk, kehidupan mulai kembali normal. Sekolah mulai dibuka, kantor dan jawatan mulai bekerja seperti sediakala. Namun kehidupan politik ditekan. Tak satupun partai politik dibiarkan hidup. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga tidak diberi hak hidup. Pada saat itulah garis pergerakan terbelah dua, kooperatif dan non-kooperatif.

Pada tahun 1943, Jepang mengadakan latihan alim ulama di Jakarta selama sebulan. Angkatan pertama dari daerah Pati diwakili oleh KH. A. Jalil Kudus, angkatan kedua, diwakili Kiai Bisri Musthofa. Guru-gurunya selain orang Jepang juga KH. Wahab Chasbullah, H. Agus Salim dan KH. Mas Mansur. Tidak diketahui secara pasti apa maksud latihan ini. Para peserta diberi pelajaran praktis dan studi kunjungan ke sekolah, perpustakaan, pabrik, dan pasar.

Sebulan setelah latihan, MIAI dibubarkan. Sebagai gantinya, Jepang mendirikan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dengan struktur pengurus dari pusat sampai tingkat daerah. Waktu itu, semua umat Islam dianggap warga Masyumi. Ketua Masyumi tingkat pusat KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang dengan wakilnya Kiai Bagus Hadikusumo dari Yogyakarta.

Sebagai alumnus pelatihan alim ulama, Kiai Bisri ditugaskan menjadi Ketua Masyumi Daerah Kabupaten Rembang. Di samping itu, ketika Jepang membentuk sebuah jawatan agama, Kiai Bisri diangkat menjadi Tiho itto Sjoki Sjumubu di daerah karesidenan Pati bersama H. Mahmudi. Di tingkat pusat, jawatan agama ini disebut Sjumbu, sedangkan di tingkat karesidenan disebut Sjumuka. Sebagai Sjumubutjo (ketua Sjumubu) pusat adalah KH. Hasyim Asy’ari dan dibantu KH. Abdul Wahid Hasyim dan KH. Dahlan, masing-mising dengan pangkat Tiho Itto Sjoki Sjumubu.

Tugas Sjumubu, selain mendampingi Masyumi pusat, juga  menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ulama. Sebagai pegawai Sjumuka daerah, Kiai Bisri Musthofa digaji cukup besar, Rp. 205,00. Waktu itu gaji camat hanya Rp. 48,00, juru ketik Rp. 14,00, dan pesuruh Rp. 8.00. Harga beras kala itu Rp. 0.10 per-kg. Akan tetapi setelah berjalan satu setengah tahun, uang Rp. 205.00 tidak berarti apa-apa karena melonjaknya harga barang-barang kebutuhan sehari. Kehidupan rakyat makin sengsara. Barang-barang langka, banyak toko tutup karena kehabisan barang. Keadaan  bangsa Indonesia persis seperti digambarkan Ronggowarsito pujangga Keraton Surakarta, “polahi wong lir kadya gabah diinteri, bebek ngelangi mati ketelak, khutuk ono ingdaringan mati kaliren,”(bagaikan gabah diputar dalam ayakan, angsa mati kehausan dikali dan anak ayam mati kelaparan dilumbung gabah).

Setelah Indonesia merdeka, tentara sekutu akan merebut kembali Indonesia dari tangan bangsa Indonesia dengan dalih mengambil dari tangan Jepang yang berhasil dikalahkan. Di mana-mana terjadi pergolakan. Belanda menduduki Semarang. Inggris mendarat di Surabaya. Pada saat pergolakan makin menghebat, pemerintah Indonesia menghimpun semua kekuatan pemuda untuk bergabung dalam KBR (Barisan Kemerdekaan Republik). Hal yang sama juga dilakukan Masyumi dengan membentuk Hizbullah, Sabilillah, GPII. GPII Putri, STII, dan SDII.

Di tengah-tengah pergolakan itu, Kiai Bisri Musthofa minta keluar dari jabatannya sebagai pegawai kantor agama Pati. Ia memilih menjadi Ketua Masyumi Rembang dan berjuang bersama tentara Hizbullah. Sejak saat itu kehidupan keluarga Bisri makin berat. Keluarga Kiai Bisri terpaksa ikut makan bersama tentara Hizbullah, makan jagung.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)