TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ZAINI MUN’IM
PROBOLINGGO JAWA TIMUR
Wafat: 1396 H / 1976 M

 

MENJADI PIMPINAN ROMBONGAN HAJI

Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, pada tahun 1950 KH. Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan dari Menteri Agama (waktu itu KH. Wahid Hasyim). Kiai Zaini diminta untuk menjadi penasehat dan pimpinan rombongan Jama’ah Haji Indonesia ke Mekkah. Pada saat itu pula KH. Zaini diingatkan kembali oleh keinginan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air. Sesuai dengan semboyan ia, “Hidup saya akan diwakafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah”.

Takala Kiai Zaini manjalankan tugasnya di Mekkah, datanglah dua orang santri yang bermaksud untuk belajar padanya. Mereka adalah Kiai Muntaha yang sebelumnya adalah santri dan sekaligus ustadz dari Pondok Pesantren Bata-Bata Madura, dan Kiai Sufyan dari Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Kiai Sufyan yang semula hendak melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Tebuireng, kemudian oleh Kiai Hasan sepuh Genggong (Pengasuh PP. Zainul Hasan) ditugaskan untuk membantu dan menambah ilmu ke Kiai Zaini Mun’im.

Kedua kiai inilah yang melanjutkan pembangunan pondok pesantren yang telah dirintis oleh Kiai Zaini. Di samping memberikan pengajian kepada santri-santri yang ada, kedua kiai ini juga melakukan kontak komunikasi dengan masyarakat di sekitar pesantren, terutama dalam pemberian doa-doa yang diminta masyarakat. Sehingga, pesantren ini mulai dikenal oleh masyarakat di sekitar Desa Tanjung. Tambahan lagi, santri-santri yang dulu mengaji pada Kiai Sufyan di Genggong sekarang ikut pindah ke Pesantren Tanjung ini. Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di Pesantren Tanjung berjumlah sekitar 30 orang di bawah bimbingan Kiai Munthaha dan Kiai Sufyan.

Dengan karisma yang dimiliki, Kiai Sufyan dengan mudah dapat membangun beberapa asrama yang terbuat dari bambu (cangkruk) untuk tempat tinggal para santri. Pendirian Pondok Pensantren Tanjung ini telah mendapatkan restu para kiai yang lain. Dari arah barat, Kiai Hasan Genggong telah memberikan dukungannya dengan mengutus Kiai Sufyan untuk membentuk pendirian pondok. Sementara dari arah timur, Kiai Syamsul Arifin Situbondo yang memang sejak awal mendukung pendirian Pondok Tanjung ini kemudian menugaskan salah seorang santrinya yang benama Sultan.

Sepulangnya dari tanah suci Kiai Zaini Mun’im melihat beberapa gubuk sudah mulai berdiri, sehingga tergeraklah hatinya untuk rnenyerahkan pondok ini kepada Kiai Sufyan. Sementara itu Kiai Zaini berkeinginan untuk mendirikan pondok di tempat yang lain. Akan tetapi, tawaran Kiai Zaini serentak ditolak Kiai Sufyan.

Seiring dengan berlalunya waktu, Pesanten Tanjung ini terus kebanjiran santri. Padahal, tempat penampungan pesantren sangat terbatas. Itulah sebabnya Kiai Zaini bersama  para santrinya bersepakat untuk menambah asrama dan mendirikan madrasah di sekitar pesantren. Dalam rangka itu, Kiai Zaini kemudian menggerakan para santrinya untuk mencari kayu ke gunung-gunung dan hutan-hutan.

 

MENDIRIKAN TK SAMPAI PERGURUAN TINGGI

Pada tahun 1950, KH. Zaini Mun’im mendirikan sebuah Madrasah lbtidaiyah Agama (MIA) yang terletak di luar komplek Pondok Tanjung. Di samping itu, ia juga mendirikan lembaga pendidikan Taman Kanak-kanak Nurul Mukmin. Pendirian sekolah di luar pondok ini dipandang penting, karena sebagian masyarakat masih banyak yang enggan menyekolahkan anaknya ke pondok. Cara dan strategi yang ditempuh Kiai Zaini ini rupanya cukup berhasil. Terbukti, banyak anak-anak di sekitar Desa Tanjung yang disekolahkan di lembaga tersebut.

Sementara di dalam pondok pesantren sendiri, Kiai Zaini merintis berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Manhaj al-Nasyi’ah al-Islamiyah. Program tersebut pada dasarnya terinspirasi dari gagasan Ki. Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya di Yogyakarta. Tampaknya, Kiai Zaini memiliki kemasan visi menyangkut peranan sistem pendidikan sistematis dan terprogram dengan baik. Kiai Zaini, di samping bertindak sebagai pengajar, juga sebagai kepala sekolah. Di Madrasah ini yang diajarkan bukan hanya ilmu pendidikan diniyah, melainkan juga ilmu pendidikan umum. Setiap tahunnya, Kiai Zaini berusaha mendatangkan ulama-ulama dari luar untuk memberikan ceramah umum terhadap para santrinya, seperti Kiai Anwar Musaddad dari Garut Jawa Barat, dan lain sebagainya.

Baru pada tahun 1960, Kiai Zaini berinisiatif untuk menformalkan lembaga-lembaga pendidikan yang telah dirintisnya itu ke dalam sebuah yayasan pondok pesantren. Perihal nama yayasan pesantren ini, terdapat dua pilihan. Pertama, adalah Yayasan Pesantren Nurul Jadid seperti saran KH. Abdul Majid Pamekasan (guru Kiai Zaini Mun’im). Kedua, adalah Pesantren Darul Hadist seperti yang ditawarkan Habib Adullah bin Faqih, Malang. Dengan munculnya dua nama itu, maka Kiai Zaini memilih Nurul Jadid sebagai nama pesantrennya. Pilihan ini diambil setelah Kiai Zaini ingat bahwa asrama santri pertama yang dibangun Kiai Sufyan bernama Nurul Jadid.

Kiai Zaini juga merintis sebuah lembaga yang waktu itu diberi nama Flour Kelas. Lembaga ini didirikan sebagai Nasyi’ah Islamiyah. Pada tahun 1964, Madrasah Tsanawiyah. Tiga tahun kemudian, Madrasah ini dinegerikan oleh pemerintah, karena mulai cukup berhasil dalam melahirkan siswa-siswa yang berprestasi dan berkualitas. Pada tahun 1970, ia mendirikan SMP dan SMA Nurul Jadid. Pada tahun 1974, Kiai Zaini mendirikan Sekolah Dasar Islam (SDI) yang dua tahun kemudian berubah menjadi Madrasah lbtidaiyah Nurul Mukmin. Dan atas desakan masyarakat, maka pada tahun 1975 Kiai Zaini mendirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid. Sementara perguruan tinggi Institut Agama Islam Nurul Jadid (lAIN) yang awalnya bernama ADIPNU kemudian PTID dan PTN, berdiri pada tahun 1969.

Kecintaan Kiai Zaini pada ilmu nampak waktu memberi pengajian tafsir. la sering menganjurkan kepada semua santri dan putra-putra maupun kerabatnya agar mendahulukan menuntut ilmu dari pada hanya mencari kekeramatan. Sehingga dalam keterangan, waktu memberi pengajian Shubuh (pengajian Tafsir) ia mengatakan, “Paling ruginya orang ialah orang yang datang ke gunung-gunung atau ke goa-goa hanya untuk memperoleh kesaktian (sakti mandraguna)”. Dalam sebuah pertemuan dengan Dewan Guru dan pengurus-pengurus pesantren bertempat di sekolah SMP Nurul Jadid ia juga mengatakan, “Sebaiknya janganlah menjadi orang keramat tak ilmiah”.

Kriteria keramat menurutnya adalah “Giatnya seseorang dalam menuntut ilmu dan berusaha menyebarkan ilmunya serta berusaha beramal yang baik untuk menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat”. Di samping kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan ada juga kesenangan dan keahlian Kiai Zaini yang juga perlu diberitahukan di sini, yaitu ia sangat senang belajar ilmu bela diri (pencak dan silat). Gurunya yang terkenal dalam ilmu pencak silat adalah KH. Umar Fadlil Krebet Malang dan H. Rofi’i. Di samping juga belajar pada KH. Holla Pamekasan.

Karena kemahirannya dalam ilmu bela diri itulah, ia kemudian menganjurkan kepada semua santrinya supaya sering mengadakan latihan bela diri, di samping tujuannya untuk gerak badan juga sebagai pertahanan diri. Dalam hal ini pernah ada berita bahwa ketika mondok ke daerah Pasuruan, di samping untuk mengaji ia juga bermaksud untuk mendalami ilmu silat.

Kiai Zaini adalah seorang pejuang umat, pelopor kemerdekaan dan seorang pembaharu umat. Karena itu, adalah wajar jika dalam kehidupannya ia sering menjumpai bermacam-macam rintangan dan ancaman dari orang-orang yang benar-benar memusuhi Islam, seperti bahaya PKI yang pada masa jayanya selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam, terutama ulama-ulama yang terang-terangan memusuhi dan ingin memusnahkan ajarannya.

 

AKTIF DI NU

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sepulang dari Mekkah (1934) Kiai Zaini aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) Pamekasan. Keterlibatan Kiai Zaini di NU terus berlanjut takala ia ada di Paiton Probolinggo. Tepatnya pada tahun 1951, berkunjunglah tiga orang Kiai ke rumah Kiai Zaini, yaitu Kiai Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif (ayah Asnawi Latif) dan KH. Fathullah Kraksaan untuk mengajak dan berharap agar Kiai Zaini mau aktif dan berjuang membina warga dan organisasi NU Cabang Kraksaan. Ajakan ini tentu saja mendapat sambutan dari Kiai Zaini. Semenjak itu, Kiai Zaini tercatat secara resmi sebagai Awan Syuriah NU Cabang Kraksaan.

Kecintaan Kiai Zaini terhadap NU begitu kuat dan kental. Ketika  muktamar NU ke-19 (1952) memutuskan NU keluar dari Masyumi dan menjadi Partai NU, maka Kiai Zaini memilih bergabung dengan NU. Pada tahun 1953, KH. Abdul Latif selaku Ra’is Syuriah NU Cabang Kraksaan meninggal dunia, maka sebagai gantinya terpilihlah Kiai Zaini. Kiai Zaini menjadi Ra’is Syuriah NU Kraksaan ini terhitung mulai tahun 1953 hingga 1975, sebuah penggalan waktu yang cukup panjang. Pada tahun 1960 Kiai Zini terpilih sebagai Wakil Ra’is Syuriah PWNU Jawa Timur mendampingi Kiai Mahrus Ali sebagai Ra’isnya.

Sejarah telah mencatat bahwa sebagian besar perjuangan Kiai Zaini dalam NU dilakukan tatkala organisasi tersebut menjadi partai politik. Dengan demikian, tak ayal lagi jika ia terlibat dalam proses pemenangan partainya itu. Kiai Zaini terjun sebagai juru kampanye partai NU sangat awal, yaitu ketika musim kampanye pemilu 1955, Kiai Zaini telah bertindak sebagai juru kampanye utama sekaligus pengendali dan koodinator kampanye di wilayah Kraksaan, Partai NU menang mutlak untuk daerah pemilihan Kabupaten Probolinggo.

 

ANGGOTA DEWAN PARTAI NU

Melalui muktamar ke-21 di Medan Sumatra Utara tahun 1956, NU memutuskan untuk memilih dan mengangkat 79 orang sebagai anggota dewan partai NU, ketujuh puluh sembilan orang tersebut terdiri dari fungsionaris PBNU, wakil dan pengurus wilayah dari cabang-cabang NU se Indonesia. Dengan kesuksesan yang telah diraih Kiai Zaini di daerah Probolinggo, maka Kiai Zaini akhirnya masuk deretan ketujuh puluh sembilan orang tersebut. Semenjak menjadi anggota dewan partai NU, keterlibatan Kiai Zaini di pentas politik nasional mulai terlihat jelas.

Ketika NU menjadi partai politik, tenaga warga Nahdiyyin memang banyak dikerahkan untuk penggalangan massa dan pemenangan pemilu. Dengan terget politik ini, banyak sekali kerja-kerja kemasyarakatan dan pendidikan yang dahulu menjadi fokus perhatian NU pada akhirnya terabaikan. Sejumlah ulama NU mulai gelisah atas fenomena ini. Maka ketika NU menyelenggarakan muktamar yang ke-25 di Surabaya, Kiai Zaini menyampaikan dasar-dasar pemikirannya untuk mengembalikan NU pada khittah awalnya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Menurut Kiai Zaini, secara politis NU harus memisahkan secara tegas antara kerja politik dan kerja sosial kemasyarakatan. Akan tetapi gagasan Kiai Zaini tersebut belum bisa dijadikan kesepakatan muktamar, sebab kecenderungan utama para kiai untuk tetap menjadikan NU sebagai partai politik masih sangat kuat.

Akan tetapi ketika muktamar ke-27 di Situbondo, para ulama NU akhirnya sepakat untuk mengembalikan NU pada khittah awalnya sebagai organisasi Diniyah Ijtima’iyah. Sejarah telah menjadi saksi bahwa gagasan yang pernah diusung Kiai Zaini tesebut kemudian terwujud.

 

SEBAGAI WAKIL RA’IS SYURIAH WILAYAH JAWA TIMUR

KH. Zaini Mun’im adalah seorang kiai berdarah Madura yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo di Jawa Timur. Pesantren Nurul Jadid yang kini telah menampung tidak kurang dari 7.500 santri itu merupakan karya gemilang Kiai Zaini Mun’im. Sekarang di Pensantren Nurul Jadid telah berdiri berbagai jenis lembaga pendidikan, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi, baik lembaga pendidikan model madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, maupun model sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu sekuler.

Sejarah mencatat bahwa Kiai Zaini bukan hanya seorang pengasuh pesantren, tetapi juga seorang penulis yang tergolong produktif. Melalui penjelajahan mencari ilmu pengetahuan semenjak dari Madura, Jawa hingga ke negeri Hijaz, Kiai Zaini berhasil menjadi sosok yang alim. Dalam perantauannya yang panjang, ia berjumpa dan berguru pada berbagai tokoh intelektual muslim yang mumpuni, baik di dalam negeri maupun di Timur Tengah.

Kiai Zaini adalah salah seorang ulama yang telah mendarmakan dirinya bagi kejayaan umat Islam. Pada awal kehadirannya di Probolinggo, ia terus berdakwah memasuki labirin desa yang terjal dan berbukit dengan masyarakat yang keras. Berdakwah dengan mengunjungi dan membimbing umat di lapisan bawah seakan-seakan telah menjadi aktivitas kesehariannya. Untuk menunjang aktivitas dakwahnya ini, Kiai Zaini kemudian memilih Nahdlatul Ulama sebagai ruang dan sarana sosialisasinya. Ia sangat tekun berjuang melalui organisasi kemasyarakatan ini. Secara struktural, Kiai Zaini pernah menjadi Ra’is Syuriah NU di Kraksaan  Probolinggo dan Wakil Ra’is Syuriah PWNU Jawa Timur  mendampingi Kiai Mahrus Ali Lirboyo Kediri Jawa Timur sebagi Ra’is Syuriahnya.

Di luar semua itu, Kiai Zaini tetaplah seorang anak manusia dengan segala kebersahajaannya. Tidak seperti para pemimpin Islam tradisional lainnya yang kental dengan watak feodalistik, Kiai Zaini jauh dari kesan demikian. Ia adalah seorang kiai dengan tutur kata yang santun, tidak keras (hilm), sekali pun ketika menghadapi para santrinya yang dikenal nakal. Dalam menyelesaikan masalah, Kiai Zaini selalu mendahulukan cara-cara musyawarah. Jika saja dimatriks dalam konteks sekarang, maka inilah salah seorang kiai demokratis yang pernah lahir dari rahim pesantren.

Atas prestasi-prestasi yang telah diraihnya, Kiai Zaini mendapatkan beberapa apresiasi dan penghormatan bukan hanya dari masyarakat Jawa Timur melainkan juga dari pemerintahan pusat. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto yang dimotori oleh Kiai Zaini bersama dengan sejumlah kiai (Ali Moertopo mengajak KH. Musta’in Romli PP. Darul Ulum Jombang), KH. Badrus Shaleh (pengasuh PP. AI Hikmah Purwoasri Kediri) untuk berkunjung ke sejumlah negara. Negara-negara yang dikunjungi tersebut di antaranya adalah Singapura, Jepang, Bangkok, Belanda, Jerman, Italia, Prancis, Roma, Irak dan Saudi Arabia.

 

KARYA TULISNYA

Kealiman Kiai Zaini tidak hanya dibuktikan dengan kemampuannya dalam memberikan pengajian kitab, melainkan juga dengan menulis sejumlah kitab menyangkut berbagai bidang ilmu keislaman. Pertama; Dalam bidang Ushul Fiqh, Kiai Zaini menulis kitab dengan judul Tashil al-Ushul fi al- Ilm al-Usbul. Kedua; Dalam bidang Fiqh, ia menulis kitab dengan judul Nadhm as-Safinah al-Najah dengan 357 muatan bait. Ketiga; Dalam bidang Akidah, disusun kitab Syu’ab al-Iman. Kitab ini berisi 314 bait. Keempat; Dalam bidangTafsir, Kiai Zaini menulis kitab yang berjudul Tafsir al-Qur’an bi al-Imla.

Seluruh kitab yang ditulis dengan gaya bahasa yang memikat tersebut hingga sekarang tetap menjadi koleksi perpustakaan Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kitab-Kitab itu terus menjadi bacaan populer, bahkan “menu wajib” para santri Nurul jadid. Belakangan, isi kitab susunan Kiai Zaini tersebut telah menjadi modal para alumni Pesantren Nurul Jadid dalam berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

 

WAFATNYA

Kiai Zaini wafat pada tanggal 26 Juli 1976 M / 29 Rajab 1396 H. pada pukul 04.00 dalam usia 70 tahun. Ia dikebumikan di pekuburan Pesantren Nurul Jadid. Ia wafat dengan meninggalkan enam orang putra dan satu orang putri, masing-masing adalah KH. Moh. Hasyim, BA, KH. Drs. Abdul Wahid Zaini, SH., Nyai Aisyah, KH. Fadlurrahman, BA., KH. Drs. Zuhru Zaini, KH. Abdul Haq Zaini, Lc., dan KH. Drs. Nur Chatim Zaini. Pesatren Nurul jadid diasuh Kiai Zuhri Zaini (2002-sekarang)

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)