TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ZAINI MUN’IM
PROBOLINGGO JAWA TIMUR
Wafat: 1396 H / 1976 M

 

KELAHIRANNYA

KH. Zaini Mun’im lahir pada tahun 1906, di Desa Galis Pamekasan Madura, dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Nyai Hamidah. KH. Abdul Mun’im sendiri adalah pengasuh Pesantren Panggung di Galis, sebuah pesantren yang dirintis oleh Kiai Madarik, kakek Kiai Zaini Mun’im. Dari garis ayah, Kiai Zaini merupakan keturunan dari raja-raja Sumenep yang menjulur ke belakang hingga Sunan Kudus, sementara dari garis ibu ia adalah keturunan dari raja-raja Pamekasan. Karena itu, Kiai Zaini termasuk seorang bangsawan bertitel raden yang sangat disegani di Madura. Demikian pula, dari sudut ekonomi, keluarga Kiai Abdul Mun’im termasuk dalam deretan orang yang berkecukupan, bahkan sangat kaya, jika dibandingkan dengan keluarga lainnya di kalangan masyarakat Pamekasan.

Pada mulanya, sang ayah memberinya nama Abdul Mughni. Nama tersebut kemudian diubah menjadi Zaini setelah menunaikan ibadah haji.

 

DARI PESANTREN KE PESANTREN

Sebagaimana lazimnya dalam keluarga pesantren, Zaini menjadi harapan keluarga untuk menjadi seorang putra yang alim supaya bisa menggantikan ayahnya sebagai pengasuh pesantren di Galis. Oleh karena itu, dalam usia yang masih dini, Zaini telah diajari membaca Al-Qur’an oleh ibunya sendiri kemudian dilanjutkan oleh ayahnya, KH. Abdul Mun’im, dan KH Shanhaji yang dikenal dengan Kiai Anom, saudara sepupu Kiai Abdul Mun’im yang dalam aktivitas sehari-harinya membantu Kiai Abul Mun’im.

Pada usia 11 tahun, Zaini masuk sekolah Volk School (sekolah rakyat) pada masa penjajahan Belanda. Empat tahun lamanya ia mengenyam pendidikan ala Belanda ini hingga tamat pada tahun 1921. Di usianya yang ke-15 tahun, ia kemudian berangkat menuju Bangkalan untuk nyantri di Pesantren Kademangan yang diasuh oleh Kiai Khalil dan menantunya KH. Muntaha. Di Bangkalan inilah Zaini mampu menghafalkan 10 Juz al-Qur’an dan kitab Alfiyah Ibn Malik.

 

BERANGKAT KE MEKKAH

Menginjak usia 24 tahun, Zaini kemudian berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, ia kemudian melanjukan studinya di Pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura yang diasuh KH. Abdul Hamid yang dibantu oleh putranya KH. Abdul Madjid, selama tiga setengah tahun. Di pesantren inilah Zaini mendapat pengajaran yang lebih memadai menyangkut Fiqh, Tafsir, Hadits, Usul Fiqh, Tasawuf, Bahasa Arab, dan
ilmu Tauhid.

Selesai nyantri di Pesantren Banyuanyar, Zaini melanjutkan studinya lagi di Pesantren Sidogiri Pasuruan yang diasuh oleh KH. Nawawi. Di pesantren Sidogiri ia hanya belajar satu tahun kemudian kembali ke kampung halaman
karena ayahnya meninggal dunia. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Zaini mondok lagi ke Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh KH. Hasyim Asy’ari. Di samping berguru langsung pada KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, Zaini juga berguru pada KH. Ma’shum bin Ali, salah seorang menantu KH. Hasyim Asy’ari.

Semenjak itulah kecerdasan dan kemampuannya dalam menguasai pelajaran-pelajaran yang diterima dari guru gurunya mulai tampak. Dan semenjak itu pula ia mulai belajar menulis dan memberi i’tibar pada berbagai kitab yang dibacanya, sehingga saudara dua sepupunya K. Baidlowi, Kraksaan pernah menyatakan bahwa setiap membuka kitab-kitab milik almarhum (Kak Tuan, demikian ia dipanggil) ia sering menjumpai tulisan yang lebih banyak mengandung tafsiran atau i’ti bar dari kalimat yang dibacanya.

 

GURU-GURUNYA DI MEKKAH

Setelah tiga tahun mondok di Pesantren Tebuireng, Nyai Hamidah (ibu Zaini Mun’im) datang ke Tebuireng untuk memintakan izin dan memohon restu KH. Hasyim Asy’ari, karena Zaini Mun’im dan keluarganya akan menetap di Mekkah. Pada tahun 1928, Nyai Hamidah, KH. Zawawi Mun’im, Zaini Mun’im dan neneknya berangkat ke Mekkah. Di samping untuk menunaikan ibadah haji, Zaini Mun’im juga akan melanjutkan studinya. Di Mekkah mereka tinggal di Sifir lain. Di Mekkah inilah Zaini Mun’im mendapatkan pengajaran tingkat tinggi dari beberapa gurunya, antara lain; 1. KH. M. Baqir dari Yogyakarta, 2. Syekh Umar Hamdan al-Maghribi (Mekkah), 3. Syekh Ali Makki, seorang mufti Madzhab Maliki Mekkah, 4. Syekh Sa’id al-Yamani, seorang mufti Madzhab Syafi’i (Yaman), dan 5. Syekh Umar Bayunid, muftì Madzhab Syafi’i (Mekkah). Salain itu, Zaini Mun’im juga belajar Tarekat Syadziliyah pada Syekh Syarif Muhammad Ibn Gulam al-Singkiti.

Setelah kurang lebih enam tahun menetap di Mekkah, pada tahun 1934 ia kemudian pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kepemimpinan di pesantren yang telah ditinggalkan ayahnya. Para santri yang datang untuk mengaji masih di sekitar kecamatan Galis. Meski sudah mempunyai banyak santri, namun ia masih tetap mengaji pada Kiai Abdul Majid Banyuanyar, dan pada bulan Ramadhan ia mengikuti pengajian kilat kitab hadits Bukhari Muslim pada Kiai Hasyim Asy’ari Jombang dan kitab Tasawuf pada KH. Khazin Siwalan Panji Sidoarjo.

 

BERJUANG MELAWAN KEGANASAN PENJAJAH

Dengan seperangkat ilmu yang diperoleh, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum, dengan dilengkapi oleh wawasan politik serta budi pekerti yang luhur, KH. Zaini Mun’im tidak tinggal diam berpangku tangan melihat keganasan penjajah Belanda. KH. Zaini Mun’im ikut terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak kembali dari Mekkah, KH. Zaini Mun’im segera bergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) untuk melawan kolonial Belanda. Dalam rangka itu, ia terus membekali para santri dan masyarakat dengan mengadakan latihan kemiliteran ala pesantren hingga datang era pendudukan Jepang.

Di masa pendudukan Jepang, di samping aktif memberikan penyuluhan kepada para petani, khusunya petani tembakau, KH. Zaini juga terlihat sebagai anggota bahkan pimpinan barisan Pembela Tanah Air (PETA). Pada tahun 1943, ketika kekejaman tentara jepang telah memuncak dengan menginjak-injak warga Madura yang berujung pada penderitaan masyarakat, maka dengan dimotori sejumlah kiai pecahlah peperangan. Akibat dari pemberontakan itu, beberapa kiai pesantren, termasuk Kiai Zaini Mun’im, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Namun, atas instruksi panglima tentara Jepang (Seiko Sikikan) di Jakarta, kiai-kiai tersebut kemudian dibebaskan.

Walau kemerdekaan sudah dikumandangkan, ia tetap konsisten membela tanah air (dalam revolusi fisik) mulai tahun 1945-1947. Dalam menghadapi kaum penjajah, di Madura telah terbentuk badan-badan perjuangan rakyat, seperti Barisan Pemberontakan Rebublik Indonesia, Persindo, Pemuda Rakyat Indonesia, Hizbullah dan Sabilillah. Tidak ketinggalan Kiai Zaini juga melibatkan diri dengan Badan Perjuangan Rakyat. Bahkan, di barisan Sabilillah tersebut Kiai Zaini didaulat sebagai pimpinannya. Badan-badan ini terus berjuang sekuat tenaga untuk mengusir para penjajah dari bumi pertiwi.

Akan tetapi, agaknya bala tentara penjajah terlampau kuat untuk dipatahkan oleh masyarakat Madura. Tidak tanggung- tanggung, tentara melakukan gerakan “bumi hangus” terhadap rumah-rumah penduduk dan pondok-pondok pesantren. Setelah pertahanan rakyat Madura bubar karena terdesak oleh musuh yang cukup kuat, Kiai Zaini terpaksa meninggalkan kampung halamannya (Galis Pamekasan Madura) munuju daerah Asembagus Situbondo dengan menumpang perahu milik H. Abdurrahman asal Pekambang Prenduan Madura yang dinahkodai oleh H. Syarbini Prenduan Sumenep Madura.

 

DITANGKAP BELANDA

Setelah sampai di Asembagus, KH. Zaini Mun’im kemudian menetap di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang diasuh KH. Syamsul Arifin (Ayah Kiai As’ad Syamsul Arifin). Pesantren Sukorejo menjadi pilihannya, kerena pesantren ini telah ditetapkan Belanda sebagai daerah suci (Heilige Zone), daerah terlarang bagi tentara Belanda untuk memasukinya. Artinya, tentara Belanda dilarang keras untuk memasuki daerah tersebut, meski hanya untuk menangkap para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia.

Kiai Zaini tinggal di Pesantren Sukorejo hingga pertengahan tahun 1948, setelah itu ia pindah ke Probolinggo. Awalnya, Kiai Zaini tinggal sebentar di Kraksaan untuk kemudian pindah ke Desa Karanganyar Paiton yang sekarang menjadi komplek Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tidak lama ia menetap di Karanganyar, Belanda keburu tahu bahwa orang yang dianggap berbahaya dan dicari-cari itu ternyata ada di Karanganyar. Maka ditangkaplah ia dan dipenjara di LP Probolinggo. la masuk penjara pada tanggal 9 Desember 1948 sampai tanggal 18 Maret 1949.

 

MERINTIS PESANTREN NURUL JADID

Pada awalnya, kedatangan KH. Zaini Mun’in pada tahun 1948 di Probolinggo, sesungguhnya tidak bermaksud untuk mendirikan sebuah pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Oleh karena itu, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya memutuskan diri untuk mencari tempat tinggal yang permanen. Sebelum memutuskan untuk menetap, ada beberapa tawaran tanah untuk ditempati oleh Kiai Zaini. Setelah dikonsultasikan pada Kiai Syamsul Arifin (ayah Kiai As’ad Situbondo), maka Kiai Syamsul menyarankan supaya Kiai Zaini tinggal dan mendirikan pondok di Desa Tanjung Karanganyar Paiton Probolinggo.

Seperti cerita pertama, Kiai Zaini menetap di Desa Karanganyar yang pada mulanya dikenal sebagai sarang penyamun dari manusia jahat. Pada suatu hari, ia mendengar ultimatum dari penduduk Desa Karanganyar dengan perkataan, “Kalau Haji Zaini itu benar-benar seorang kiai, ia akan bertahan lebih dari tiga bulan di desa ini. Sebaliknya, kalau tidak ia akan menemui kematian atau ia akan meninggalkan desa ini”. Demikianlah, betapa berat tantangan yang harus ia hadapi  dari penduduk desa kala itu. Akan tetapi, berkat keyakinan dan niat sucinya sembari memohon petunjuk kepada Allah SWT supaya mereka (penduduk desa setempat) diberi jalan kesadaran dan dijauhkan dari sifat dan perbuatan buruk, maka Kiai Zaini pun mampu bertahan di Desa Karanganyar untuk mengurusi santri-santrinya yang kian hari kian bertambah.

Konon, ketika Kiai Zaini datang ke Desa Karanganyar untuk menempati  tanah yang sudah dibeli itu, ia hanya berbekal satu batang lidi untuk terus berjalan menerobos hutan-hutan angker itu. Semua hewan berbisa dan membahayakan lari meninggalkan hutan tersebut menuju utara Desa Gerinting. Sementara hutan-hutan rimba tersebut berubah menjadi perumahan dan persawahan sampai saat ini.

Sampai pada perluasan dan banyaknya bangunan Pondok Pesantren Nurul Jadid, masalah makhluk-makhluk halus hampir dapat terusir semuanya. Konon, berita yang diterima, pada diri almarhum-lah yang mula-mula menjadi perintis penanaman tembakau.

Di sekitar asrama Pondok Pesantren Nurul Jadid pada waktu itu, di samping penuh dengan hewan-hewan buas yang membahayakan, penduduk di sekitar sana juga tak kalah buasnya. Kehidupan masyarakat di sana masih diliputi nuansa-nuansa khurafat, takhayul dan sebagainya. Mereka lebih banyak menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti penyembahan arwah-arwah nenek moyang, di samping perbuatannya yang penuh maksiat.

Mereka tidak mengenal adanya moral sosial apalagi norma agama, sehingga pada saat itu kemaksiatan dan kemungkaran benar-benar merajalela, seperti banyaknya  tempat pelacuran, tempat perjudian serta tidak jarang setiap saat terjadi pencurian dan perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya. Minuman-minuman keras juga sudah menjadi kebiasaan hidup mereka sehari-hari.

Kiranya agama belum menerangi corak hidup, dan kehidupan mereka masih jumut/jahil (konservatif). Bagi mereka, ketenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatannya yang penuh maksiat itu.

Melihat banyaknya santri yang berdatangan dan tegaknya beberapa bangunan pondok dari bambu, maka tergerak dan tergugahlah hatinya untuk memikirkan nasib-nasib penduduk di sana. Bersama-sama santrinya mulailah ia membabat hutan rimba yang ada di sekitarnya sedikit demi sedikit. Hutan rimba yang kabarnya penuh dengan hewan-hewan berbisa dan membahayakan seperti ular yang besar-besar dan banyaknya kuburan-kuburan manusia itu kemudian menjadi asrama Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Namun tidak lama kemudian ia ditangkap kembali oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam LP Probolinggo, karena semenjak di Madura Kiai Zaini memang menjadi incaran para tentara Belanda. Dalam penjara, Kiai Zaini dipaksa untuk memberitahukan tempat teman-temannya. Tapi dengan jiwa besar ia tidak menjelaskan meski selalu diancam. la sangat kuat memegang semboyan “liberty aur died’ (merdeka atau mati). Setelah sekitar tiga bulan di penjara, ia kemudian dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengatur santri-santri yang sedang menunggu kehadirannya.

Mulai saat itulah KH. Zaini Mun’im membimbing santri-santri yang mulai berdatangan dari berbagai penjuru, seperti Muyan, Abdul Mu’thi, Arifin, Makyar, Syamsudin, Baidlawi, dan Jufri. Mereka ada yang berasal dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso, dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang mulai berdatangan, Kiai Zaini Mun’im merasa berkewajiban untuk mendidiknya. Dalam rangka ini, Kyai Zaini kemudian mulai merintis berdirinya sebuah lembaga pendidikan pesantren. Langkah pertama yang ditempuh adalah mempersiapkan tempat tinggal para santri dengan terlebih dahulu membabat hutan yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)