TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. MA’SUM
LASEM
Wafat: 1972 M / 1392 H

 

KELAHIRANNYA

KH. Ma’sum dilahirkan di Desa Soditan Lasem, pada tahun 1870. Kedua orang tuanya H. Ahmad dan Qasimah, memberi nama Ma’sum kecil dengan nama Muhammadun. Lasem termasuk daerah pesisir utara pulau jawa. Kalau kita menengok sejarah masuknya Islam di jawa, jelaslah bahwa daerah pantai utara mengalami pengislaman terlebih dahulu dibandingkan daerah-daerah pedalaman lainnya. Hal ini terjadi karena secara geografis dan ekonomis, penduduk pulau jawa terbelah dua. Pertama, daerah pesisir yang maritim. Masyarakat di daerah ini telah terjalin kontak dagang dengan pihak luar yang cukup intensif. Dan kedua, daerah pedalaman dengan tata kehidupan ekonomi agraris sebagai kekuatan utama, disertai kuatnya wawasan kultural Hindu.

Akibat gencarnya kontak dagang dengan luar, yang pada saat itu jalur internasional banyak dikuasai orang Islam, maka di sepanjang pantai utara pulau jawa proses islamisasi berjalan dengan cepat. Karena itu di daerah-daerah pantai terbentuk semacam komunitas mayarakat yang berwawasan kultural Islam. Misalnya di daerah Ampeldenta Gresik, dan Bintaro Demak, serta daerah-daerah lainnya sepanjang pantai pulau jawa. Unit-unit seperti inilah yang akhirnya berkembang menjadi pesantren atau pusat-pusat Islam di Jawa ketika itu.

Lasem sebagai daerah pantai utara yang juga berkultur pesantren, tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh di atas. Secara umum daerah pesisir utara di Jawa Tengah memang banyak melahirkan kiai besar, seperti KH. Bisri Syansuri dari Tayu, KH. Ridhwan dari Semarang, KH. R Asnawi dari Kudus, KH Khafid dan Bisri Musthofa dari Rembang, KH Kholil Masyhuri, KH. Baidhawi, dan Kiai Ma’sum sendiri dari Lasem. Mereka itulah ulama tradisional yang ikut membidani lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama tahun 1926 dan penyebarannya di daerah-daerah.

 

DARI PESANTREN KE PESANTREN

Melewatkan masa belajarnya dari pesantren ke pesantren. Beberapa pesantren yang pernah ditempati adalah Pesantren Sarang yang dipimpin KH. Umar, Pesantren di Semarang yang diasuh KH. Ridhwan, Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, Pesantren Jamsaran Solo asuhan KH. Idris, Pesantren Tebuireng Jombang yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Kajen Pati asuhan KH. Nawawi dan KH. Abdussalam, dan Pesantren Damaran Kudus diasuh KH. Ma’shum. Di samping itu, ketika Mbah Ma’sum menunaikan ibadah haji tahun 1900, ia juga sempat nyantri kepada KH. Machfudz Atturmusi di Mekkah.

 

DIMASUKKAN KE DALAM KURUNGAN OLEH KH. KHALIL

Pada waktu Mbah Ma’sum berangkat ke Madura, maka pengasuh Pondok Pesantren di Bangkalan (Madura) KH. Khalil, sudah mendengarnya. Bagaimana cara mendapatkan berita keberangkatan pemuda Muhammadun itu, entahlah. Namun yang jelas, pemuda Muhammadun tidak mengirimkan berita apapun ke sana. Setelah calon dosen bernama KH. KholiI itu mendengar keberangkatan pemuda muhammadun. Ia sudah berani mengumumkan kepada seluruh muridnya, bahwa akan datang seorang jagoan dari Jawa bernama Muhammadun.

Selanjutnya, KH Kholil berserta murid-muridnya datang menjemput jagoan dari jawa di pelabuhan Kamal. Tetapi setiba di Pondok Pesantren Bangkalan, pemuda Muhammadun tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana lazimnya tamu-tamu yang lain. Bahkan diperintahkan oleh gurunya untuk masuk ke dalam kurungan ayam yang sudah disediakan. Muhammadun tunduk dan patuh mengikuti perintah calon dosennya itu. Muhammadun masuk dan  duduk jongkok dalam kurungan ayam tersebut dengan tidak memperhatikan apa perlunya dan  sejauh mana akibatnya nanti.

Setelah itu. KH. Kholil mengumumkan kepada seluruh santrinya yang sengaja berkumpul menyaksikan peristiwa ganjil itu: “Inilah yang kumaksudkan tamu jagoan dari Jawa yang di kemudian hari akan menjadi jagoan”. Setelah upacara perkenalan selesai, maka kurungan ayam itu diambil kembali dan pemuda Muhammadun lepas seperti semula, untuk selanjutnya menerima penghormatan dari para santri-santri seperti lazimnya mereka menerima kedatangan tamu.

Beberapa hari kemudian, terlihat pemuda Muhammadun giat mengikui berbagai pelajaran seperti al-Jurumiyah (nahwu), ‘Imrithi dan Alfiyah lbn Malik pada waktu pagi, siang dan sore hari. Sedangkan pada malam hari ia melakukan perintah gurunya untuk mengambil air guna mencukupi kebutuhan pondok pesantren dari ± 2,5 km. Pengabdian demikian berjalan terus selama pemuda Muhammadun belajar mengaji kepada KH. KholiI di Bangkalan bertahun tahun tanpa absen.

Selama mengikuti pengajian dan menerima perintah-perintah di atas dari gurunya itu, pemuda Muhammadun terkenal sebagai salah seorang santri yang sangat rajin dan patuh. Tidak pernah membantah atau menyanggah. Oleh
sebab itu, ketika hendak pulang kembali ke Jawa, pemuda Muhammadun dilepas dengan restu dan do’a dari gurunya. Sesudah berjalan ± 10m ia dipanggil kembali oleh gurunya kemudian dilepas lagi dengan restu dan do’a. Demikian inti terjadi berulangkali, dipanggil dan dido’akan, dilepas pergi dipanggil lagi lalu dido’akan, dan demikian seterusnya hingga 40 kali.

 

BERDAGANG KLITIKAN

Muhammadun, nama kecil Mbah Ma’sum dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sangat bersahaja. Kedua orang tuanya, seperti kebanyakan rakyat terjajah, hidup pas-pasan. Atau mungkin serba kekuarangan. Namun orang tuanya berkeyakinan mampu mengantarkan puteranya menjadi orang yang ahli dalam ilmu agama.

Selepas dari binaan orang tua dan kiai di desanya, Muhammadun dikirim belajar ke Sarang. Waktu itu Muhammadun tidak membawa bekal apapun kecuali membawa tekat dan keyakinan yang besar. Air mata mengiringi kepergiannya. Hanya dengan bekal 3,5 kg gaking (nasi yang dikeringkan) dan uang 3 sen, Muhammadun berjalan kaki menyusuri pantai sepanjang kurang lebih 40 km ke arah barat. Sarang, tempat yang dituju Muhammadun adalah daerah pesisir yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Di sinilah ia menjadi santri yang hidup serba kekurangan. Kiriman dari orang tuanya tak kunjung datang. Mau terjun ke laut sebagai nelayan tak punya keahlian. Akhirnya ia memilih berzuhud, berpuasa sebagai pemecah masalah. Hampir dua tahun la berpuasa dengan hanya makan sekali untuk buka dan sahur. Memasuki tahun ketiga, barulah Muhammadun memiliki sedikit uang untuk bekal di pondok. Dan teman-temannya yang belajar membaca kitab atau menulis pelajaran kepadanya, Muhammadun mendapatkan imbalan.

Kisah memprihatinkan semacam ini sudah menjadi bagian dan lembaran hidup Mbah Ma’sum. Sepanjang perjalanannya mencari ilmu, keprihatinan seperti tidak mau berpisah dengannya. Pesantren Tebuireng Jombang pesantren terakhir yang disinggahi, agaknya ikut melengkapi kisah pahit selama menuntut ilmu meskipun dalam wujud yang berbeda dari pengalaman sebelumnya.

Di Sarang Muhammadun menjadi “buruh” mengajarkan kitab. Sedangkan ketika di Jombang ia terpaksa berjualan barang-barang klitikan, barang berharga murah konsumsi masyarakat bawah secara asongan, seperti sendok, garpu, tusuk konde, peniti, kaca pengilon, gincu, celak, dan minyak wangi. Barang-barang tersebut diambil dari Solo, lalu dijual bebas di pasar Jombang, Babat, Tulung Agung dan Kertosono.

 

MENGAJAR SAMBIL JUALAN

Semenjak mengaji di pesantren ini, Muhammadun tidaklagi seperti Muhammadun sepuluh tahun yang lalu. Berkat kegigihannya belajar di beberapa pesantren sebelumnya, Muhammadun sudah menjadi kiai muda yang cukup alim. Karena itu caranya berguru kepada Hadratus Syekh berbeda dengan santri kebanyakan. Muhammadun hanya minta ijazah untuk kelak diizinkan mengajar kitab-kitab tertentu, tidak membuka lembar demi lembar kitab untuk dipelajari di hadapan kiai sebagaimana santri lain.

Ketika di Tebuireng masalah baru muncul. Kepandaian Muhammadun baru tercium. Banyak santri dibacakan kitab tertentu. Akankah mengajar menjadi hal lain yang perlu mendapatkan perhatian baru. Di satu sisi Muhammadun adalah seorang pedagang, namun di sisi lain ia juga mengajar mengaji. Kalau mau memenuhi permintaan santri, kapan waktunya? Apakah ia mesti berhenti berjualan? Rasanya tidak mungkin. Sebab di rumahnya di Lasem ia meninggalkan istriya, Maslichatun, puteri K. Musthofa Lasem yang juga membutuhkan nafkah. Akhirnya Muhammadun memenuhi permintaan mereka, yaitu mengajar di pasar sambil menunggu barang dagangan. Tentu kalau sedang ada pembeli pengajian berhenti.

Waktu berjalan terus. Hari-hari dilaluinya dengan mengajar dan berjualan. Tiba saatnya KH. Hasyim Asy’ari mendengar kemampuan Muhammadun. KH. Hasyim Asy’ari meminta Muhammadun berhenti berjualan dan memintanya “turun gunung” untuk membuka pendidikan sendiri di kampung halaman. Tapi Muhammadun merasa belum mampu dan masih perlu belajar lebih banyak lagi.

Hingga suatu saat, melalui tidurnya, ia mendengar ada pesan “Muhammadun kembalilah pada kaummu, ajarilah mereka ilmu agama”. Pesan ini terdengar lembut dan menyentuh kalbu. Pesan tersebut konon dibisikkan Rasulullah ke telinga Muhammadun. Dan ia pun pulang, setelah barang-barang jualannya diobral murah dan habis terjual; untuk membayar utang-utangnya.

 

MENERIMA PREDIKAT KIAI

Mulai saat itu Mbah Ma’sum dikenal dan mendapat predikat kiai, didasarkan pada kenyataan, bahwa ia mampu memberikan pelajaran kitab-kitab besar. Dalam situasi dan kondisi memiliki posisi yang demikian itulah Mbah Ma’sum bermimpi bertemu Rasulullah yang antara lain mengintruksikan agar Mbah Ma’sum segera menghentikan perniagaannya dan mulai aktif mengajar dan mengaji.

Sungguhpun selama dalam mimpi ini Mbah Ma’sum menyatakan berulangkali akan segala kelemahan dan kekurangan-kekurangannya namun baginda Nabi tetap memerintahkan mengajar. Bahkan diyakinkan oleh Rasulullah bahwa semua kelemahan dan kekurangan-kekurangan itu akan disempurnakan oleh Allah, bila mana Mbah Ma’sum menerima baik perintah tersebut.

Terbangun dan selesai berdialog langsung dengan Rasulullah, Mbah Ma’sum segera bangkit mengambil air wudhu dan melakukan sujud sukur kehadirat Allah sambil menengadahkan kedua belah tangannya memohon taufiq dan hidayah.Nya untuk diberkahi kekuatan dalam melaksanakan perintah Rasulullah saw itu. Sujud syukur itu dilakukannya berulangkali sampai mendekati waktu Shubuh, setelah Mbah Ma’sum berkemas-kemas menyiapkan diri untuk meninggalkan Jombang dan pulang menuju Lasem.

Setibanya di rumah, diceritakanlah pertemuannya dengan baginda Nabi saw itu kepada seluruh anggota keluarga. Baik istri maupun putra-putrinya, mendengarkan kisah serius Rasululah dengan ayahandanya itu dengan asik
dan tekun. Sang istri berkali-kali memotong cerita suaminya dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT terhadap kebulatan tekad Mbah Ma’sum. Sedangkan salah seorang putrinya (Fatimah) yang telah asik mendengar cerita ayahandanya itu tanpa bicara melepas kalung dan gelangnya kemudian maju beberapa langkah mendekari   ayahandanya, menyerahkan perhiasan-perhiasan itu ke pangkuannya dengan iringan kata, “Ayah, cerita ayah sudah cukup jelas, bagiku tekad ayah hendak mengintensifkan diri dalam pendidikan dengan inspirasi dari baginda Nabi harus diwujudkan. Nabi, terimalah perhiasanku ini sebagai modal pertama untuk membangun surau dan kolam untuk tempat orang berwudhu. Kurelakan diri untuk tidak mengenakan perhiasan sepotong pun. Aku sudah sangat berbahagia sekali sudah mempunyai seorang ayah yang baik. Seorang yang sepanjang hidupnya akan dihabiskan semata-mata untuk melaksanakan ajaran-ajaran Rasulullah saw untuk izzul Islam Wal muslimin.

Pada mulanya, agak tertegun juga Mbah Ma’sum menerima penyerahan perhiasan putrinya itu. Orang sekitar Majelis itu, keluarga Mbah Ma’sum seluruhnya, serempak tanpa komando, mengucapkan syukur alhamdulillah berulangkali kehadirat Allah, atas peristiwa penyerahan Fatimah yang mengharukan.

 

MULAI MENGASUH PESANTREN

Beralaskan tikar pandan, Muhammadun memulai mengajar ngaji anak-anak tetangga. Pada tahun 1916, dengan dorongan masyarakat di kampungnya, ia mendirikan mushallah mungil di depan rumahnya. Anak-anak berdatangan untuk mengaji al-Qur’an setelah shalat berjamaah. Empat tahun kemudian (1920), kamar-kamar kecil untuk tempat tinggal santri yang datang dari desa sekitarnya. Inilah cikal Pesantren Al-Hidayah di Desa Soditan Lasem yang banyak melahirkan tokoh terkemuka dan ulama di negeri ini.

Proses pendirian pesantren sangat sederhana. ia berlangsung secara alamiah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Tampaknya memang kurang terencana. Namun di balik semua itu, terdapat ajaran sosial yang cukup dalam. Ide mendirikan pesantren tidak dilakukan secara serentak. Pelan-pelan agar masyarakat menerima kehadiran pesantren. Itu sebabnya seluruh biaya pembangunan pesantren tidak melibatkan infaq masyarakat. Dengan fasilitas seadanya, Pesantren AL-Hidayah secara perlahan akhirnya mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Bantuan dana pun kemudian mengalir dari para santri dari berbagai daerah berdatangan.

Pengalaman pertama memimpin pesantren dirasakan cukup berat. Ia sangat sulit mengakhiri profesi sebagai pedagang, sulit mengawali sebagai seorang ideal memimpin pesantren. Menjadi pedagang hasilnya jelas. Kalau tidak rugi pasti untung, atau kalau kurang baik balik modal. Menjadi kiai amatlah susah. Seorang kiai tidak saja mendidik, tetapi juga mengajar membentuk watak yang dibutuhkan waktu itu. Namun berkat tekadnya yang kuat, pesantren kemudian menjadi medan pengabian kepada agama, bangsa, dan negara sampai akhir hayatnya.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)