TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

Lanjutan .

KH. A. WAHID HASYIM
TEBUIRENG JOMBANG JAWA TIMUR
Wafat: 1373 H / 1953

 

MENJABAT SHUMUBUCHO (KEPALA JAWATAN AGAMA PUSAT)

Dalam sebuah kesempatan pidatonya di depan Majelis pengajian NU di Banyumas, KH. Abdul Wahid Hasyim menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy’ari dari tahanan Jepang. Menurut Wahid Hasyim, banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan rnenyengsarakan Hadratus Syaikh. Tetapi, karena Allah menghendaki lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya Hadratus Syaikh dari tahanan, ia diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala  jawara Agama Pusat. Ini merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah-langkah menghadapi umat
Islam.

Mendapat tawaran itu, KH. Hasyim Asy’ari menerima dengan catatan, mengingat usia yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin kalau harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia
mengusulkan agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Taktik itu sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari jangan sampai Nippon tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika tawaran ini diterima, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, di samping kenyataan usianya yang sudah uzur. Jika ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.

Keputusan KH. Hasyim Asy’ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat berlian dan memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan Jepang terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu, rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy’ari juga sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada KH. Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses inilah mulai terlihat jelas kepemimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.

Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa pengertian bijaksana bukanlah menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu
yang benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pujian antara dua perkara yang sama-sama salah atau atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya.

 

TOKOH TERMUDA BPUPKI

Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang, baik di kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk badan yang bertugas rnenyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro, dan 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPUKI yang berpengaruh, ia terpilah sebagai salah seorang dan sembilan anggota Sub-Komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan pembukaan UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan. Terpilihnya KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang anggota panitia perumus rancangan pembukaan UUD Republik Indonesia yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia pada bulan Juni 1945, betapa pun telah menunjukkan kapasitas intelektual KH. A. Wahid Hasyim untuk menjembatani perbedaan perbedaan antara para penganut Islam tradisional, Islam modern, dan nasionalis sekuler.

 

PENASEHAT PANGLIMA BESAR SUDIRMAN

Sebagai tokoh muda, ia juga diangkat sebagai penasehat Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara.

 

ANGGOTA BPKNIP

Ketika KNIP dibentuk, KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.

SIKAP KRITISNYA

Abdul Wahid Hasyim adalah penulis, penyair, budayawan, dan orator ulung. Di antara pidato-pidatonya yang disampaikan tanpa teks di suatu pertemuan besar, adalah pidato yang panjang di mana ia mengatakan antara
lain: “Kita umat Islam Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu tertatih-tatih dalam belenggu penjajahan dan perbudakan lalu hitam berjuang dengan segala kekuatan yang ada pada kita. Melawan para penjajah itu sesuai dengan ajaran-aj aran agama kita Islam yang menyatakan bahwa penjajahan merupakan kedzaliman dan kejahatan yang harus diperangi dan melakukan upaya untuk men uruntuhkan sendi-sendinya. Kita berjuang selama beberapa tahun, terutama dalam lima tahun terakhir, di mana kita memerangi kaum penjajah dalam perang
yang telah melenyapkan banyak tokoh dan anak-anak kita. Kita telah mengorbankan segala yang kita miliki yang karenanya kita mengalami berbagai kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan.

Kita melakukan ini sehagai langkah untuk meluhurkan kalimah Islam dan kejayaan kaum muslimin. Kemerdekaan politik kaum muslimin merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar bagi kehidupan kaum muslimin itu sendiri dan syari’atnya. Segala usaha mempersempit kegiatan politik kaum muslimin pada  hakikatnya rnerupakan upaya rnenghilangkan syari’at Islam. Atas dasar ini, perang yang kita canangkan melawan kaum penjajah merupakan perang agama, perang di jalan Islam dan agama Islam. Berapa pun besarnya perbedaan
dan jaraknya selisih antara persenjataan yang kita miliki dan yang dimiliki kekuatan penjajah, baik dari segi jumlah muapun perbekalannya.

Meski demikian, kita menang dan berhasil mengalahkan mereka atas anugerah Allah. Maka sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah dan senantiasa memanjatkan puji atas kehadirat Ilahi, meskipun sementara orang-orang yang ingkar bersikap takabur dan menganggap bahwa kemenangan yang kita peroleh ini sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pertolongan Allah.

Ketakaburan mereka yang ingkar itu tidak hanya pada penafian terhadap pertolongan Tuhan dan pengaruhnya yang manjur. Akan tetapi juga pada sikap kemunafikan mereka di waktu-waktu agresi militer pertama dan kedua.”

 

INGIN MERUBAH STRUKTUR MASYARAKAT

Pada 22 Desember 1951, sebuah majalah ibukota memuat artikel yang secara jelas mengkritik para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma’mum Bingung. Di bawah judul tulisan Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, Tetapi Pemimpin-pemimpinnya Tidak Tahu, Ma’mum Bingung menguraikan dua peristiwa yang dinilai mengandung isyarat penting.

Peristiwa pertama adalah konferensi yang dihadiri para profesor Kristen se-Asia yang berlangsung di Priangan. Dan kedua, peristiwa peletakan batu pertama pembangunan kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang dilakukan oleh presiden (rektor) universitas negeri itu, Prof. Dr. Sardjito. Dalam pertemuan profesor se-Asia, secara terbuka disampaikan rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen. Sedangkan UGM, ada seorang
tokoh yang mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus. UGM terletak di antara Candi Borodudur dan Candi Prambanan, demikian usulnya, maka kelak ia harus bisa menjelaskan (reinkarnasi) kedua candi itu.

Dalam tulisan itu Ma’mum Bingung tidak memprotes ide menjadikan Indonesia sebagai Negara Kristen atau kampus UGM sebagai jelmaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. “Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tiap-tiap orang berbicara apa yang dikehendaki, boleh mengemukakan pendapat dan pikiran dengan sebebas-bebasnya asal di dalam batas-batas undang-undang” demikian tulisnya.

“Hanya kepada umat Islam yang menurut hukum demokrasi mempunyai hak hidup dan mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan kritik ini. Terutama kepada para pemimpin Islam. Kami menyesal karena peristiwa demikian itu tidak ada seorang pun dari pemimpin tergerak hatinya untuk menunjukkan kepada umat Islam di Indonesia agar jangan tetap dalam tidur nyenyaknya dan mabuk politik yang membahayakan,” demikian Ma’mum Bingung melalui tulisannya.

Siapa Ma’mum bingung, penulis artikel pedas itu? Ia tak lain adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, Nama Ma’mum Bingung merupakan salah satu saja dari sekian banyak nama samaran yang dipakainya ketika menulis artikel.

Cuplikan pendek artikel itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal mendasar yang memperlihatkan sosok penulisnya. Pertama, betapa KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan paham dan bersikap proporsional dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi. Kedua, besarnya kepedulian terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam, Dan ketiga, adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut umat Islam sendiri. Melalui tulisannya. Kita menangkap getaran keprihatinan yang sangat dan KH. Abdul Wahid Hasyim, setiap ia menyaksikan kondisi umat Islam ketika itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim, banyak pemimpin Islam yang secara verbal sering rnenggembar gemborkan perjuangannya Islam melalui berbagai jalur, terutama jalur politik, justru membiarkan umat Islam hidup dalam kualitas serba memprihatinkan. Menurutnya, banyak orang yang membawa bendera Islam untuk kepentingan yang sebenarnya bertolak belakang dengan semangat Islam.

Melihat profil dari sikap KH. Abdui Wahid Hasyim seperti itu, segera orang rnenjadi mafhum jika menyaksikan hal yang sama juga terjadi pada salah seorang puteranya, yakni KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI keempat mantan Ketua Umum PBNU. Dalam beberapa hal, KH. Abdurrahman Wahid mewarisi karakter yang dimiliki sang ayah.

Almarhum M. Isa Anshari mantan Pengurus Pusat Persis Bandung, memberikan penilaian selama pernah bergaul  dengan KH. Abdul Wahid Hasyim. Ditegaskan bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim adalah: Pertama, Seorang pemimpin yang tenang dan dapat mempersatukan aliran pemikiran yang bermacam corak dan segala organisasi Islam yang ada. Kedua, Seorang organisator yang ulung dan jarang kita temui di kalangan ulama keluarga pesantren. Ketiga, Pandai dan bijaksana memainkan kartu perjuangan, sesuai dengan suasana dan keadaan. Keempat, Penuh kesungguhan dan tanggungjawab dalam mengendalikan pimpinan perjuangan. Kelima, Dapat memahamkan cita cita perjuangan dan melihatnya dan huhungan keseluruhan.

 

SENANG MENULIS

Ia senang menulis. Tulisannya tersebar dalam bentuk pidato-pidato resmi, ceramah – ceramah keagamaan dan artikel-artikel di berbagai media massa. Karya-karya tulisnya antara lain; Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia, & berimanlah dengan Sungguh dan lngatlah Kebesaran Tuhan, Kebangkitan Dunia Islam, Apakah Meninggalnya Stalin & Berpengaruh pada Islam?, Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Pertimbangan Kekuatan Politik dari  Partai Partai dan Golongan-golongan, Kedudukan Ulama dalam Masyarakat lslam di Indonesia, dan Islam antara Materialisme dan Mistík.

 

SANGAT TAWADLU’

Meskipun dikenal sebagai pemimpin nasional yang berpikir maju, KH. Abdul Wahid Hasyim tetap memiliki sikap tawadlu’ kepada para ulama, lebih-lebih kepada ayahnya, Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Hal itu, antara lain, bisa dilihat ketika melakukan percakapan sehari-hari dengan sang ayah. Kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari biasa melakukan percakapan dengan bahasa Arab yang fasih. Tetapi, KH. Abdul Wahid Hasyim selalu menjawab dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil,). Apakah KH. Abdul Wahid Hasyim kurang lancar bercakap-cakap dengan bahasa Arab’ Jelas bukan. Penggunaan bahasa Jawa halus saat bercakap-cakap dengan ayahnya dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim tidak lain untuk memperlihatkan sikap tawadlu’ (rendah hati) kepada orang tuanya. Apalagi jika percakapan itu disaksikan oleh orang ketiga atau keempat. KH. Abdul Wahid Hasyim ingin menghindar jangan sampai ada orang yang tcrsinggung atau tidak paham dengan yang dibicarakan.

Hidupnya sederhana, ilmunya mendalam, dan cara berpikirnya moderat. Karena itu menjadi mudah baginya untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa pun. Tidak menjadi soal baginya kalau suatu waktu harus mengenakan kain pantalon, atau jas berdasi tanpa mengenakan kopyah hitam, sementara di kesempatan yang lain ia mesti mengenakan kain sarung dan baju takwa.

 

MUSIBAH DI CIMINDI

Tanggal 19 April 1953 mcrupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, KH. Abdul Wahid Hasyim ditemani seorang sopir dan harian Pemandangan, Argo Sujipto, tata usaha majalah Gema Muslimin, dan putera sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimindi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, KH. Abdul Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening dan mata, serta pipi dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikir pun. Mobilnya hanya rusak hagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pada pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyirn dipanggil ke hadirat Allah SWT dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Musihah ini tentu mengejutkan masyarakat. Jenazahnya diangkut ke Jakarta dan setelah disemayamkan sejenak, lalu diterbangkan ke Surabaya. Selanjutnya di bawa ke Jombang untuk dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Banyak yang menyesalkan kiai berusia muda dan merupakan tokoh nasional itu begitu cepat dipanggil menghadap Sang Khalik. Tetapi, itulah kehendak Tuhan.

Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karir seseorang baru dimulai pada usia 40, KH. Abdul Wahid Hasyim justru telah rnerengkuhnya pada usia di bawah itu. Orang menilai kematian itu teramat cepat datangnya, secepat KH. Abdul Wahid Hasyim meraih prestasinya. Karena itu, melihat kepemimpinan dan prestasinya yang diraih KH. Abdul Wahid Hasyim dalam usia mudanya, sering muncul pengandaian dari masyarakat, seandainya KH. Abdul Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil ……“

 

DITETAPKAN SEBAGAI PAHLAWAN KEMERDEKAAN RI OLEH PRESIDE

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 206 tahun 1964 ter-tanggal 24 Agustus 1964, KH. A. Wahid Hasyim di tetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.{ag}.

 

Dikutip dari : Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)