TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ALI MA’SUM
KRAPYAK YOGYAKARTA
WAFAT 1409 H/1989 M

KELAHIRANNYA

KH. Ali Ma’sum adalah putra pertama dari 13 bersaudara yang dilahirkan di Lasem pada 2 Maret 1915 dari pasangan Mbah Ma’sum dan Nuriah. lbunya, Nyai Nuriah, adalah istri kedua setelah sebelumnya Mbah Ma’sum pernah menikahi Maftuhah yang meninggal dunia di Mekkah sebelum mempunyai keturunan. Mbah Ma’sum sendiri adalah pengasuh Pesantren Al-Hidayah di Lasem. Berkaitan dengan jumlah keturunannya itu, delapan diantaranya telah meninggal dalam usia dini. Sedangkan yang masih hidup diantaranya Ali Maksum, Fatimah, Azizah, dan Chamanah.


BELAJAR PADA AYAHNYA

Mbah Ma’sum menghendaki Ali kelak menjadi seorang ahli fiqh. Oleh karena itu, sejak kecil Ali telah diberi pelajaran kitab-kitab fiqh oleh Mbah Ma’sum sendiri. Padahal, sebagai seorang pengasuh pesantren, Mbah Ma’sum malah seringkali memberikan pelajaran kitab-kitab non fiqh kepada para santrinya. Namun, kecendrungan Ali kecil sangat berbeda dengan yang diharapkan orang tuanya karena ternyata ia lebih suka mempelajari kitab-kitab Nahwu dan sharaf. Bahkan ia mengajak adik-adiknya untuk juga menyukai kitab-kitab tersebut.


BERGURU DAN MENJADI GURU Di TERMAS

Pada tahun 1927, Ali yang sudah memasuki masa remaja awal, dikirim ke Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur. Ketika itu pengasuhnya adalah KH. Dimyati. Di Termas, ia diajarkan kitab-kitab yang cukup bervariasi, diantaranya Fath Al-Mu’in, Tafsir Jalalayn, Alfiyah Ibn Malik, Minhaj al-Qawim, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim. Di pesantren ini ada sebuah kebijakan pengasuh bahwa santri senior yang dianggap mampu diberi tugas yaitu untuk mengajar adik-adik santrinya (mubahatsah). Pengajian kitab selalu dilaksanakan tiap malam hari, program pelajaran yang demikian ini memacu semangat para santri untuk saling berkompetisi secara sehat dan ilmiah.

Ali remaja pernah tidak pulang kampung selama tiga tahun berturut-turut sejak masuk di Pesantren Termas ini. Waktu itu sudah mafhum bahwa santri yang tidak pulang selama tiga tahun pertama merupakan suatu pertanda bahwa santri tersebut telah sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi orang alim dan shalih. Dalam waktu tiga tahun itu Ali mempelajari dengan tekun kitab-kitab yang diajarkan KH. Dimyati. Kualitas intelektual Ali segera menonjol di antara santri lainnya. Bahkan Gus Muhammad yang merupakan putra KH.Dimyati sendiri dan kebetulan satu kamar dengan Ali dalam hal membaca dan memahami sebuah kitab banyak belajar dari Ali. Karena kepandaian Ali itulah, maka KH. Dimyati memberi kepercayaan kepadanya untuk juga membimbing para santri muda dibawahnya. Sebagai murid yang patuh, Ali melaksanakan amanah gurunya dengan penuh dedikasi dan simpatik sehingga mengundang kekaguman dan penghormatan dari santri lainnya serta keluarga pengasuh pondok Termas sendiri.

Kehausan Ali terhadap ilmu agama sangat luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan belum puasnya Ali Ma’sum jika hanya mempelajari kitab-kitab yang selama ini dianggap Mu’tabar. Oleh sebab itu, ia juga membaca kitab-kitab kontemporer. Wawasan Ali Ma’sum dengan demikian menjadi sangat luas dan mengetahui akan berbagai macam pemikiran para pemikir kontemporer di Timur Tengah, khususnya dari Mesir. Padahal, hal sebagaimana yang Ali lakukan ini belum menjadi tradisi dan oleh karena itu ia dianggap luar biasa.


SERING MEMBACA KAR
YA SYEKH ABDUH

Di dalam kamarnya, Ali juga sering membaca kitab-kitab karangan ulama pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taymiyah, al- Maraghi, dan Sayyid Sabiq yang pada waktu itu tidak lazim dipelajari di pesantren. Mengetahui kebiasaan Ali tersebut, KH. Dimyati sengaja membiarkannya. Ia menilai Ali sudah memiliki dasar yang kuat sehingga bacaan- bacaan itu akan memperluas pandangannya dan bukan mengubah ideologinya.

Kelebihan Ali dan santri lainnya adalah dalam bahasa Arab yang bukan saja dalam memahami kitab kuning, melainkan juga dipraktekkan dalam berbicara dan menulis. la memiliki koleksi buku-buku dan majalah baru dalam bahasa Arab dari teman-teman ayahnya dan keluarga Termas yang ada di Timur Tengah. Selain Alfiyah dan Jauhar Maknun yang biasa dipelajari di pesantren, ia juga menguasai Nahwu al-Wadhi dan al-Balaghah al- Wadhihah yang pada saat itu sangat asing di pesantren. Begitu pula ia menggemari kamus Al-Munjid dan kitab ‘Adah Wa al-Nushush (sastra Arab dan majalah berbahasa Arab).

Tidak heran jika saat itu ia bersama Hamid Dimyati, Rahmat Dimyati dan Muhammad Mahfudz dikenal sebagai empat serangkai yang merintis kembali berdirinya Madrasah di Termas dan menjadikan buku-buku baru dari Mesir seperti al-Qiraah al-Rasyidah, al-Nahwu, al- Wadhi, dan al-Balaghah al-Wadhihah sebagai buku pegangan.

Menurut Prof. Dr. H. Mukti Ali salah seorang muridnya, Ali Ma’sum sudah sangat mahir berbahasa Arab meskipun belum pergi ke Mekkah. Bahkan sebagian orang memberi julukan kepada Ali Ma’sum dengan sebutan Munjid (kamus bahasa Arab berjalan) oleh saking mahirnya dan banyaknya perbendaharaan dalam bahasa Arab yang ia kuasai.


MENIKAH LALU KE MEKKAH

Sepulang dari Termas, kira-kira pada tahun 1938, Ali menyunting seorang gadis yang bernama Hasyimah (putri KH. Munawir, Krapyak Yogyakarta). Beberapa hari setelah pernikahan, Ali mendapat tawaran menunaikan ibadah haji secara gratis. Sebulan setelah pernikahan, Ali Ma’sum bertolak ke Mekkah dan bermukim di sana selama dua tahun. Selama itu pula Ali menunaikan ibadah haji dua kali sambil memperdalam ilmu, khususnya ilmu tafsir dan bahasa Arab. Ketika di Mekkah Ali berguru kepada Sayyid Alwi dan Syekh Umar Hamdan.


PULANG KE TANAH AIR

Sepulang dari Mekkah Ali Ma’sum mulai mengabdikan diri di pesantren orang tuanya. Pembenahan di lakukan oleh Ali Ma’sum dalam rangka meningkatkan kualitas pondok Pesantren Al-Hidayah. Setelah mendapat polesan dan pembaharuan dari Ali Ma’sum, Pondok Pesantren al- Hidayah semakin berkembang sehingga Mbah Ma’sum sendiri mengandalkan dirinya untuk terus mengembangkan pesantren tersebut sambil menyarankan agar Ali sebaiknya mengabdi di pondok al-Hidayah untuk selamanya.

Namun sejarah berkata lain. Sesudah wafatnya Munawir mertua Ali Ma’sum (pengasuh pondok Krapyak Yogyakarta), dan karena belum menemukan pengasuh yang cocok serta layak sebagai gantinya, maka akhirnya Ali Ma’sum diminta untuk mengelola pesantren tersebut. Awalnya Ali menolak karena ia berkeinginan untuk mengembangkan Pesantren al-Hidayah di Lasem. Akan tetapi, ketika Nyai Sukis (ibu mertua Ali Ma’sum) datang dan memintanya untuk pindah dan mengelola pesantren Krapyak, keluarga Lasem mempersilahkannya. Tepatnya pada tahun 1942, Ali Ma’sum mulai mengabdikan dirinya di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta.


TAHAPAN KETIKA DI TERMAS

KH Ali Ma’sum dan dunia pesantren sebagaimana disinggung di atas adalah seperti dua sisi mata uang, yang mana antara yang satu dengan yang lain tidak bisa saling dipisahkan. Berikut adalah fase dimana Kiai Ali mengabdikan dirinya dengan dunia pesantren. Pertama, fase ketika Pesantren Termas mulai mendirikan madrasah pada 1928. Gagasan mendirikan madrasah ini pertama kali adalah oleh Sayyid Hasan. Maksud dari Sayyid Hasan ini sangat kontroversial, yaitu dengan tujuan menghapus sistem pendidikan pesantren. Ide tersebut kemudian di teruskan oleh KH. Ali Ma’sum tetapi dengan tujuan yang sangat berbeda dengan Sayyid Hasan, yaitu justru untuk memperkuat sistem pendidikan pesantren. Tenaga pengajar madrasah ini bukan orang lain, melainkan diambil dari beberapa santri senior pesantren itu sendiri. Meskipun berat upaya KH. Ali Ma’sum untuk meyakinkan KH Dimyati, namun akhirnya pada tahun 1932 madrasah yang digagas itu diizinkan berdiri.

Kurikulum yang diajarkan di madrasah ini ternyata oleh KH. Ali Ma’sum bukan hanya kitab-kitab kuning klasik yang selama ini diberikan. Akan tetapi, memasukkan kitab-kitab baru. Perkembangan pesantren Termas dengan adanya madrasah telah menjadi bukti akan pengabdian yang luar biasa dari Ali Ma’sum, padahal ketika itu Ali Ma’sum hanyalah sebagai santri. Di pesantren Termas telah muncul istilah empat serangkai yang menjadi tokoh pengembangan pesantren tersebut. Keempat serangkai tersebut adalah Gus Hamid, Gus Rahmad (keduanya putra K. Dimyati), Gus Muhammad bin Syekh Mahfudz dan KH. Ali Ma’sum sendiri.

Pesantren Termas juga melakukan kegiatan kepanduan bagi para santri. Panduan pada saat itu lebih dikenal kepramukaan pada saat ini. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan rasa solidaritas, nasionalisme dan kemandirian. Kepanduan yang ada pada saat itu memang sangat penting bagi perkembangan dan bekal para santri dikemudian hari. Nilai-nilai kemandirian, solidaritas, patriotisme dan nasionalisme mulai ditanamkan sebagai bekal untuk segala situasi. Pada dasarnya, pendidikan di pesantren memang berbeda atau bahkan menentang praktek penjajahan bangsa Barat, apalagi bangsa Jepang. Nilai-nilai di atas diajarkan dan ditanamkan lewat kepanduan dan hasilnya memang luar biasa. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajah sebagian besar dikerahkan oleh para santri yang di kampungnya telah diberi gelar kiai oleh warganya. Kegiatan kepanduan ini juga tidak terlepas dari pembaharuan pesantren Termas.

Perkembangan madrasah di pesantren Termas semakin lama semakin baik. Bahkan Kiai Dimyati yang pada awalnya kurang begitu berkenan, setelah melihat proses metode kurikulum dan hasilnya sebagaimana telah dibuktikan Ali Ma’sum menjadi semakin mendukung. Akhirnya setelah Ali Ma’sum pulang sesudah delapan tahun nyantri di Termas, madrasah itu diserahkan kepada keluarga Kiai Dimyati dan yang dipercaya sebagai direktur adalah Kiai Hamid Dimyati. Dan sebagai wakil direkturnya dipercayakan kepada Mukti Ali (Mantan Mentri Agama). Sampai saat ini, perkembangan madrasah di pesantren Termas masih terus berjalan.


TAHAPAN KETIKA DI LASEM

Tahapan ketika mengabdi di pesantren al-Hidayah Lasem. Ponpes al-Hidayah Lasem mengalami penurunan yang sangat drastis. Santri yang belajar di pesantren semakin merosot sehingga banyak pesantren yang mengalami kekurangan santri atau bahkan kehabisan. Hal ini bisa diteliti lebih jauh dikarenakan beberapa hal. Diantaranya situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi orang untuk memperdalam ilmu di pesantren. Penjajah Jepang mencurigai orang-orang yang belajar di pesantren sebagai orang yang menolak dan menentang kekuasaannya.

Selain itu umat Islam umumnya, dan Ulama khususnya, merasa terpanggil hatinya untuk menantang kekejaman Jepang yang sudah di luar batas kemanusiaan. Banyak di antara para santri yang masih berjiwa muda tersebut memasuki dan mengikuti latihan militer sebagai upaya menggapai kemerdekaan, Ada yang memasuki tentara pelajar (PETA), Sabilillah (Hizbullah). Semua ini adalah wadah bagi para pejuang umat Islam dan mayoritas adalah para santri yang telah mendapat gemblengan spiritual dan mental dari para kiai dan pengasuh pesantren di seluruh pelosok tanah air.

Alasan lainnya adalah adanya provokasi akan tidak perlunya pesantren. Ada pihak-pihak yang antipati terhadap pendidikan pesantren. Kelompok ini berusaha menggembosi aura pesantren di mata masyarakat. Tidak sedikit masyarakat awam yang menerima provokasi dan kiprah pesantren. Ketidaksukaan tersebut bisa dikarenakan aspek ajaran yang diajarkan. Aspek gangguan aktivitas ekonomi, gangguan kepentingan politik dan sebagainya.

Sedangkan alasan terakhir adalah kondisi perekonomian masyarakat Indonesia yang semakin buruk khususnya umat Islam sebagaimana diketahui dalam sejarah Indonesia bahwa penjajah Jepang bisa mengeruk kekayaan tanah air Indonesia dengan berbagai program dan kerja paksa yang harus dilakukan oleh penduduk Indonesia. Sedangkan hasil dari kekayaan tersebut bukan untuk kesejahteraan penduduk Indonesia, akan tetapi dimanfaatkan oleh penduduk Jepang untuk memperkuat pertahanannya di Asia Timur Raya dalam menghadapi tentara Sekutu.

Merosotnya jumlah santri di berbagai pondok pesantren juga melanda pesantren Lasem yang diasuh oleh Mbah Ma’sum. Santri pesantren ini yang pada mulanya (sebelum penjajahan Jepang) mencapai jumlah ratusan santri secara drastis mengalami penurunan hingga habis sama sekali. Ali Ma’sum bersama orang tuanya melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan para santri ke meja belajar. Akan tetapi kondisi riil masyarakat dan suasana penjajahan menjadikan masyarakat semakin jauh dari pesantren.

Upaya yang dilakukan oleh Ali Ma’sum adalah ketekunan yang luar biasa dalam memberikan himbauan kepada masyarakat dan menangkis seluruh gangguan baik secara fisik maupun mental terhadap eksistensi dan perkembangan pesantren. Ali Ma’sum dalam melakukan langkah-langkah upaya pengembalian para santri selalu berkonsultasi dengan keluarganya. Diantara langkah-langkah yang ditempuh adalah intensif memberi pengajian kepada masyarakat di sekitarnya bahkan keluar daerah untuk meyakinkan arti penting belajar di pesantren.

Usaha keras yang dilakukan oleh Ali Ma’sum dan keluarganya akhirnya membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Artinya bahwa santri mulai datang dan semakin bertambah sampai ratusan jumlahnya. Peningkatan kuantitas santri bukanlah tujuan utama Ali Ma’sum. Akan tetapi penyebaran dan arti pentingnya pendidikan Islam adalah motivasi utamanya. Dengan terselanggaranya pendidikan Islam melalui pesantren diharapkan para santri menjadi manusia yang shalih dan alim (berilmu).

Karena kesalehan seseorang tidak bisa diwujudkan hanya dengan penyampaian materi tentang Islam, akan tetapi harus senantiasa dipraktikkan sejak dini dan terus menerus. Praktik ilmu Islam dalam pesantren merupakan sebuah keniscayaan karena di dunia pesantren kehidupan para santri adalah terjemahan dan pengkajian kitab-kitab yang disampaikan oleh para kiai atau ustadz.

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)