TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. MAHRUS ALI
LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR
WAFAT : 1405 H / 1985 M

SANTRI-SANTRINYA

Diantara murid-murid Kiai Mahrus Ali tercatat nama -nama seperti Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj (PBNU dan Guru Besar UIN Jakarta), KH. Manarul Hidayat (pengasuh Pondok Pesantren al-Mahbubiyah Jakarta), KH. Ishamuddin (pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), KH. Khalil Bishri (pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang), KH. Musthafa Bishri (Rais Syuri’ah PBNU), KH. Mukhtar Syafaat (Pemimpin pesantren Blok Agung Banyuwangi), KH.Mustamid (Pesantren Buntet), Kiai Ghazali (Pesantren Tegalrejo, Magelang), KH. Askandar (pengasuh Pesantren Banyuwangi), Kiai Yasin (Magelang), serta beberapa politisi seperti KH. Syafi’i Sulaiman, Thahir Wijaya dan lain sebagainya.

 

MEMIMPIN PONDOK PESANTREN

Sepeninggal KH. Abdul Karim, tepatnya pada 21 Ramadhan 1374 H (1954 M), kepemimpinan pondok pesantren Lirboyo dipercayakan kepada dua orang murid dan menantunya. Masing – masing bernama KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Ali. Perlu diketahui, KH. Marzuqi Dahlan (1906-1975) merupakan seorang kiai asal Menjar Melati yang menikah dengan salah satu putri KH. Abdul Karim, bernama Maryam. Namun, pernikahan KH. Marzuqi Dahlan berhenti di tengah jalan karena Nyai Maryam meninggal dunia.  Oleh KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi dinikahkan lagi dengan salah satu putrinya yang lain yang bernama Nyai Qamariyah (adik Nyai Maryam). Jadi, huhungan antara KH. Mahrus Ali dengan KH. Marzuqi Dahlan adalah saudara ipar karena sama-sama menikah dengan putri KH. Abdul Karim.

Dalam kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, KH. Mahrus Ali termasuk tokoh yang tidak resisten terhadap proses modernisasi. Salah satu buktinya adalah ia banyak mengadopsi sistem sekolah. Selain dari bukti tersebut, KH. Mahrus Ali juga pernah menjabat sebagai rektor pertama di Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Tribakti (lAIT) Kediri yang diresmikan pada tahun 1966.

Selain itu, dalam kemimpinannya, KH. Mahrus Ali juga memiliki semangat berorganisasi dan manajemen. Satu bukti yaitu ketika ia membentuk lembaga tinggi di pesantren Lirboyo, yang bertugas menentukan arah kebijakan dan mengembangan pesantren. Lembaga tersebut diberi nama Badan Pembinaan dan Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo.

 

SEBAGAI SESEPUH KODAM V BRAWIJAYA

Selain sebagai pengasuh pesantren, KH. Mahrus Ali juga merupakan seorang ulama pejuang. Terbukti sewaktu pertempuran 10 November 1945 di Surabaya pecah, KH.  Mahrus Ali dengan gigih dan komitmen nasionalisme yang tinggi ikut berjuang mengusir penjajah. Ia tidak sekedar memberi intruksi kepada santrinya, tapi juga ikut langsung ke medan pertempuran. Ia juga ikut pasukan yang terdiri dari para santri Pesantren Lirboyo secara gradual di bawah komandonya langsung dan bergerak dengan tentara Hizbullah dan Sabilillah sampai pertempuran 10 November berakhir.

Waktu itu, Mayor Mahfudz menghadap kiai Mahrus Ali dan mengabarkan bahwa tentara yang diboncengi Belanda hendak mendarat di Surabaya. Tentara sekutu itu akan menjajah kembali di Indonesia yang sudah merdeka. Mendengar berita tersebut, KH. Mahrus Ali spontan berteriak “kemerdekaan ini harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan”. Empat delegasi Lirboyo kemudian bergabung dengan batalyon 508 di bawah komando Mayor Mahfudz.

Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan sebutan batalyon gelantik inilah yang kemudian menjadi embrio Kodam VII Brawijaya (kini Kodam V). Secara resimi Kodam V berdiri pada 17 Desember 1948, dengan komando pertama Kolonel Sungkono. Sementara itu, karena jasa perjuangannya, KH. Mahrus Ali mendapat kehormatan duduk sebagai penasihat Kodam B Brawijaya. KH. Mahrus Ali tetap menjadi sesepuh Kodam V Brawijaya.

Oleh karena komitmennya yang tinggi, juga kharisma dan keikhlasannya dalam bertindak, KH. Mahrus Ali sering menjadi tumpuan para ulama NU untuk dimintai nasihat. Kepada Kiai Syafi’i Sulaiman ia pernah mengungkapkan bahwa jiwa dan raganya diwakaf kan untuk agama (melalui perjuangan NU) dan negara. Menurut pandangannya, agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ia pernah berfatwa: Haram hukumnya mendirikan negara diatas negara dan tidak ada kamus memberontak di dalam NU”.

 

KARYA DAN PEMIKIRANNYA

Jika dibandingkan dengan kiai-kiai lain, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bishri Musthafa, KH. Syaifuddin Zuhri, dan KH. Wahid Hasyim, maka Kiai Mahrus Ali adalah tergolong kiai yang tidak menonjol dalam bidang tulis menulis. Terbukti dengan sedikitnya karya yang ia hasilkan. Sejauh yang dapat ditemukan, satu-satunya karya yang dihasilkan oleh KH. Mahrus Ali adalah sebuah kitab yang berisi bait-bait syair yang berjudul “al-Mandzumah al Mahrusiyah”, Buku ini pun diduga kuat bukan asli karangan KH. Mahrus Ali sendiri, tetapi ia hanya mengumpulkan syair-syair pilihan dari para ulama Arab yang terdapat dalam kitab-kitab yang dipelajarinya.

Sementara itu, corak pemikirannya dapat ditangkap dari bukunya yang telah disebut di atas. Terlihat jelas bahwa KH. Mahrus Ali sangat menekankan pentingnya meningkatkan intelektualitas (lihat memori Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo tahun 1998). Dengan menyitir kata-kata dari Ali bin Abi Thalib, dalam salah satu fatwa tertulisnya, KH. Mahrus Ali mengatakan “Inna likulli syai’qiimah. Waqiimatu al-mar’i maa ya’lamu” (setiap sesuatu itu ada standarisasinya, sedang standar seseorang adalah “apa” yang ia ketahui). Secara konseptual KH Mahrus Ali berpendapat bahwa ada empat hal yang saling berkaitan (‘alaqah) dan kohesif dalam mencapai kesuksesan dalam menuntut ilmu. Keempat hal itu, menurutnya adalah adanya guru atau pembimbing yang selalu terbuka (demokratis), kemampuan intelektualitas, adanya kemauan untuk maju dan berkembang (iradat al- taqaddum wal ikhtiyar).

 

BERANGKULAN DENGAN LB MURDANI

Namun demikian, tidak berarti KH. Mahrus Ali tidak memiliki pemikiran sendiri. Dengan kata lain, pemikiran – pemikirannya banyak dipengaruhi dan jejak-jejak aktivitas dan tindakannya baik di dunia pesantren, militer, maupun NU yang tentunya dilandasi oleh suatu kerangka berfikir yang jelas. Apalagi ia adalah seorang yang alim. Adalah sangat mengherankan jika tindakan seorang yang alim tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, ketika KH. Mahrus Ali berangkulan dengan LB Murdani adalah tidak bisa dilepaskan dari pemikiran bahwa; meski seorang itu menganut agama lain (Katolik), secara sosiologis, orang tersebut haruslah diperlakukan secara wajar  sebagaimana umat Islam memperlakukan sesama umat Islam sendiri. KH. Mahrus Ali tidak peduli dengan berbagai reaksi yang muncul akibat tindakannya itu. Ia malah menganggap bahwa orang yang mencaci dirinya karena perbuatannya itu adalah orang yang belum mengerti agama secara baik. Pemikiran, wawasan, dan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Mahrus Ali, tentu saja sudah dapat dibilang maju pada masa itu. Belum lagi tindakan sebagaimana tersebut menyangkut wawasan kebangsaan yang sangat baik yang ia miliki.

 

JURU ISHLAH

Sebagaimana kita tahu bahwa pada Muktamar NU ke-26 di Semarang, Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, dan menjelang berlangsungnya Muktamar NU ke-27, terdapat perselisihan yang demikian tajam di tubuh Jam’iyah NU. Perselisihan tersebut oleh media massa yang ada pada saat itu di ekspose secara besar-besaran, sehingga bagi seseorang yang kurang tahu akar permasalahan yang sesungguhnya merasa khawatir akan kelanjutan Jam’iyah yang terbesar di Nusantara ini. Dalam kaitanya dengan itu, rnenurut pandangan KH Mahrus Ali, hanyalah sekedar perbedaan pendapat yang wajar bagi sebuah organisasi sebesar NU. Ia berkata “Jangankan di organisasi yang melibatkan sejumlah besar orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari keluarga, pendidikan maupun asalnya, di rumah saja tidak terlepas dari perbedaan visi dan persepsi, bukankah perbedaan itu merupakan suatu rahmat bila disikapi secara dewasa?”.

Tanggal 11 September 1984 merupakan peristiwa yang sangat penting dan monumental yaitu menjelang Muktamar di Situbondo. Beberapa pemimpin NU ketika itu mempunyai perbedaan visi dan persepsi yang cukup tajam. Ketika itu, sejumlah kaum muda NU berusaha untuk meredam gejolak yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Mereka lalu membuat “rekayasa” dengan mengumpulkan sejumlah kiai dan pemimpin NU yang terlibat dalam perbedaan di rumah KH. Mahrus Ali. Kemudian, bersama sesepuh NU lain, KH. Mahrus Ali meminta dengan sangat agar perselisihan segera diakhiri. Apalagi waktu itu menghadapi Muktamar ke-27. Semua orang menjadi lega ketika pada tanggal 11 September 1984, para pemimpin NU yang berbeda pandangan bisa mengakhiri perselisihan.

 

IKUT MEMPELOPORI SIKAP NU KELUAR DARI MASYUMI

Dalam Muktamar XIX di Palembang (1952), KH. Mahrus Ali bersama delegasi lain dari NU Kediri, di antaranya KH. Syafi’i Marzuqi, KH. Ali Masyhar, dan KH. Abdul Karim, turut mendukung sikap NU keluar dari Masyumi. Bahkan ia ikut merumuskan dan mempelopori sikap politik itu.

 

SEBAGAI MUSTASYAR PBNU

Selain membina pesantren Lirboyo dan Kodam V Brawijaya, KH. Mahrus Ali juga aktif dalam organisasi sosial keagamaan NU. Pada mulanya, ia tidak masuk dalam jajaran kepengurusan PBNU. Baru setelah Muktamar NU ke-XIX yang digelar di Palembang, KH. Mahrus Ali diminta sebagai Rais Syuriah NU Kodya Kediri. Jabatan ini diembannya sampai tahun 1985, karena pada tahun itu ia terpilih sebagai Rais syuriah NU Jawa Timur. Persis pada masa-masa yang bersamaan pula; NU melaksanakan Muktamar ke-XXVII di Situbondo. Dalam arena ini KH. Mahrus Ali dipercaya sebagai salah satu Muhtasyar PBNU. Aktivitas keorganisasian di NU ini dijalani oleh KH. Mahrus Ali sampai akhir hayatnya.

Dari sikapnya itu, membuktikan bahwa KH. Mahrus Ali adalah tokoh kharismatik NU yang memiliki cara pandang seimbang antara paham keagamaan Aswaja dan paham kebangsaan. Ia tidak sepakat jika ada orang Islam yang menghadapkan kedua paham tersebut dalam posisi yang berlawanan. Islam adalah agama dan Indonesia adalah Negara yang sah dan harus dibela. KH. Mahrus Ali pernah berangkulan dengan Jendral LB Murdani yang ketika itu dianggap “musuh” oleh sebagian umat Islam. “Ah, biarkan saja, mereka kan tidak tahu apa yang saya lakukan. Lagi pula mereka paling – paling orang yang tidak senang pada NU”. Demikian komentar KH. Mahrus Ali terhadap banyak reaksi yang diberikan kepadanya atas tindakan berangkulan dengan LB Murdani saat ia mengunjungi pesantren Lirboyo.

Tentu saja, penggambaran Kiai Mahrus Ali sebagai juru islah serta pejuang yang ulama dan ulama yang pejuang ini belumlah lengkap. Demikian karena sosok kiai yang satu ini memiliki berbagai citra, termasuk dirinya sebagai seorang ulama besar yang memimpin pondok pesantren ternama di pulau Jawa dan telah berhasil mencetak ulama-ulama terkenal pada abad ke-XX. Selain itu ia juga dikenal sebagal ulama pembaharu oleh kalangan ulama tradisional.

 

WAFATNYA

KH. Mahrus Ali wafat pada hari Senin tanggal 26 Mei 1985 / 6 Ramadhan 1405) di rumah sakit dr. Soetomo dalam usia 78 tahun. Sebelum wafat, ia mempunyai rencana akan membaca sedikitnya enam kitab pada kesempatan pengajian di bulan Ramadhan 1405 H. Keenam kitab tersebut adalah al-Mahluf (syarah kitab jauharatul maknun), Sallamul Munawaraq (kitab tentang logika/mantiq), Lathaiful Isyarah, Nashaihul Diniyah, Dalaikul Khairat, Khirzul Jauzan. Sayang, rencana tinggallah rencana. Menjelang Ramadhan tiba, KH. Mahrus Ali jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia menghadap Allah Swt. Dunia pesantren khususnya, dan masyarakat Islam pada umumnya, telah kehilangan salah satu ulama besar.

 

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)