TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. BISHRI SYANSURI
DENANYAR JOMBANG JATIM
Wafat: 1400 H / 1980 M

 

KASUS RUU PERKAWINAN

Segera setelah NU berfungsi dengan PPP dan kembali kepada fungsi yang semula sebagai gerakan sosial keagamaan yang Bersifat non-politik (jam’iyah), dan terlepas dari keberatan Kiai Bishri terhadap cara-cara perleburan itu, ia juga tidak bisa hanya berpangku tangan melihat tantangan demi tantangan yang dihadapi. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya Rancangan Undang-Undang kawinan yang secara keseluruhan  melanggar dan ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Tindakan pertama yang diambil Kiai Bishri adalah mengumpulkan sejumlah ulama daerah jombang untuk membuat rancangan tandingan atau RUU Perkawinan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pertemuan ulama tersebut, sebagai notulisnya adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setelah rancangan tandingan itu selesai dibuat, dan diterima secara aklamasi oleh pengurus PBNU, maka rancangan tersebut diajukan ke sidang Majelis Syura PPP. PPP kemudian menerima dan memerintahkan Fraksinya untuk dijadikan dasar bagi satu-satunya rancangan undang-undang yang dapat diterima oleh partai tersebut. Setelah melalui proses negoisasi berbelit-belit dan diselingi oleh kerusuhan sejumlah pemuda di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan tandingan ini kemudian diterima sebagai undang-undang Perkawinan yang disahkan dengan sedikit perubahan di sana-sini.

Tantangan berat lain terjadi yaitu menjelang pemilihan umum tahun 1977. Ketika itu terjadi tekanan dari berbagai kalangan agar PPP tidak lagi menggunakan gambar Ka’bah  sebagai lambang dalam pemilihan umum. Disini tampak jelas bahwa hanya Kiai Bishri seoranglah yang dapat menahan tekanan-tekanan politik itu secara mantap, dan partai tersebut dapat mengikuti pemilihan umum dengan tetap menggunakan gambar Ka’bah.

 

KASUS PEMBERIAN STATUS PADA ALIRAN KEPERCAYAAN

Dalam masa persiapan menjelang dan selama berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1977, kembali terjadi perdebatan tajam dengan pihak-pihak lain mengenai beberapa rancangan ketepatan lembaga tersebut, terutama dalam persoalan pemberian status kepada aliran kepercayaan cara berpikir yang semata-mata dilandaskan pada hukum fiqh telah membuat Kiai Bishri menolak gagasan tersebut, dan pendapat itu tidak berubah sama sekali dalam proses tawar-menawar politik yang terjadi.

Keteguhan pendirian itu akhirnya membawa kepada sikap meninggalkan sidang (walk out) ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap memutuskan memberikan status formal kepada aliran kepercayaan. Di sini Kiai Bishri berjalan paling depan meninggalkan ruangan. Di luar, seorang tokoh Golkar telah menunggu dan kemudian menyalami Kiai Bishri. Orang tersebut adalah Sudarmono, SH, Menteri Sekretaris Negara waktu itu. Jabatan tangan tersebut, mungkin, merupakan pernyataan bahwa yang bersangkutan dapat memahami dan tidak keberatan atas sikap yang ditempuh oleh Fraksi PPP.

 

KETULUSAN HATINYA

Dalam segala tingkah laku dan tutur katanya nampak benar betapa kebersihan, keikhlasan dan ketulusan hati Kiai Bishri. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan tentu akan ditegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan, baginya tidak masalah. “Dituruti atau tidak, itu adalah soal ia sendiri. Saya hanya sekedar memperingatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikianlah sikap Kiai Bishri dalam setiap melakukan kewajiban. Justru karena sikapnya itu ia selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi.

Ada semacam peristiwa kecil antara Kiai Bishri dengan Bung Hatta. Pada Hari jum’ah, Mbah Bishri Shalat di Masjid Mataram Jakarta, Masjid di mana Bung Hatta sering pula melaksanakan Shalat. Waktu itu Mbah Bishri melihat Bung Hatta melaksanakan shalat sebagian dahinya tertutup oleh peci. Setiap shalat ia mengenalkan dirinya pada Bung Hatta. Dengan caranya yang halus, Mbah Bishri mengingatkan kepada Bung Hatta bahwa menurut hukum Islam kalau melaksanakan shalat dahi tidak boleh tertutup peci. Setelah itu setiap kali Bung Hatta memasuki masjid, pecinya langsung didongakkan ke belakang sehingga dahinya tidak tertutup lagi jika melakukan shalat, terutama ketika sujud. Itulah kalau seorang yang disiplin dan ikhlas ketemu orang yang disiplin dan ikhlas pula.

KH. Bishri, sekali ia mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum fiqh, maka ia tidak akan mengubah pendiriannya, meskipun korban manusia akibat keputusannya itu berjumlah banyak. Atas pendiriannya itu, sering muncul kesan seolah-olah Kiai Bishri tidak memperhatikan faktor manusia dalam mengambil keputusan. Namun demikian, apapun kekurangan yang ada pada dirinya haruslah kita mengerti dan ketundukannya yang begitu mutlak kepada ukuran fiqh. Sebab, pengambilan keputusan hukum fiqh adalah segala-galanya bagi Kiai Bishri. Ia merupakan jalur tunggal bagi pengaturan kehidupan manusia secara total.

 

KARYA TULISNYA

Penulis pernah mendampingi Kiai Bishri ke Medan Kongres NU XXVI tahun 1979 di Semarang. Dalam kesempatan itu, banyak tamu-tamu luar negeri yang disamping ikut menyaksikan berlangsungnya Kongres juga menemui Kiai Bishri. Diantara tamu-tamu itu, banyak yang merasa kagum atas keberhasilan Kiai Bishri dalam memimpin organisasi NU. Terdapat seorang guru besar Masjidil Haram bersama Syekh Zakariyah bin Syekh Abdillah billa yang mengikuti rombongan Syekh Yasin Padang dari Mekkah. Tamu tersebut punya karangan cukup banyak, di antaranya berjudul al-Jawahirul Hisan yang masih belum selesai ditulisnya. Dalam bukunya itu, penulisnya ingin memasukkan biografi KH. Bishri Syansuri. Oleh karena itu penulis ditanya tentang hal-ihwal yang berhubungan dengan Kiai Bishri. Diantaranya pertanyaan tentang karya ilmiah KH. Bishri Syansuri yang sudah dicetak, maka saya menjawab bahwa “KH. Bishri Syansuri memang tidak banyak meninggalkan karangan yang telah tertulis dan dicetak.” Sebagaimana dimaklumi bahwa untuk mengukur kebesaran orang, kadang-kadang dinilai dari banyaknya buku karyanya. Tetapi bagi Kiai Bishri sendiri bahwa ukuran dari banyaknya buku tidak bisa menjadi ukuran dari kebesaran seseorang, akan tetapi orang-orang besar dalam NU itulah karangan, tulisan, bimbingan dan karya Kiai Bishri dalam rapat-rapat, di rumah, di perjalanan, dalam kereta api, mobil, becak bahkan dalam kesempatan di mana saja”.

Buah fikiran dan ilmunya di uraikan di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan dan tidak sempat dibukukan. Kiai Bishri tidak pernah menyediakan seorang sekretaris pun untuk mendampingi setiap harinya. Hidupnya menjadi sangat sibuk sejak usia muda hingga menjelang wafatnya dalam usia sekitar 96 tahun. Ternyata 70 tahun dirasa cukup kurang untuk bisa mempunyai kesempatan menulis buku. Sebaliknya, waktu sepanjang itu ia habiskan untuk mengurus pesantren, menemani kalangan ulama, diskusi-diskusi di kalangan kaum pergerakan, politisi, ikut dalam pertempuran selama perang kemerdekaan 1945-1948, dan yang paling menyibukkan dirinya adalah bahwa hidupnya adalah untuk NU”. la tidak sempat menulis buku. Dalam arti buku yang ditulis huruf- huruf kecil, huruf, A,B,C,D, atau Alif, Ba’, Ta’. Akan tetapi ia telah menulis buku besar dengan huruf besar pula yang mudah dibaca oleh siapa pun.

Adapun buku besar itu ialah sejarah perjuangan dan  sepak terjangnya. Sedang huruf besarnya adalah khidmatnya kepada Islam, kepada Indonesia dan bangsannya. Salah satu huruf besarnya yang mudah dibaca oleh semua orang ialah NU. Dengan huruf besar ini ia sudah menggalang satu jama’ah dalam satu doktrin Ahlus Sunnah waljama’ah. Huruf besar ini pulalah yang menyebabkan tidak sedikit orang yang tadinya rakyat biasa menjadi orang yang berkedudukan penting dalam masyarakat. Siapa mengingkari ini sama dengan pengingkaran bahwa ia lahir dari ibu dan Bapaknya.

 

WAFATNYA

Empat hari setelah muktamar NU yang ke-25 di Surabaya 1971, ia didaulat menjadi Rais A’am PBNU, setelah sebelumnya menjadi wakil Rais A’am PBNU, menggantikan KH A. Wahab Chasbullah yang meninggal dunia. Memang, pada Muktamar NU di Bandung tahun 1967, Muktamirin lebih rnemilih ia untuk menjadi Rais A’am karena KH. A.Wahab Chasbullah sakit mata dan dianggap udzur. Namun ia menolaknya dan berkata “Saya tidak bersedia dicalonkan maupun dipilih menjadi Rais A’am selagi KH. A.Wahab Chasbullah masih ada”. Inilah wujud penghormatannya pada koleganya, sekaligus kakak iparnya.

Seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH.A. Wahab Chasbullah, KH. Bishri Syansuri menerima jabatan ini hingga akhir hanyatnya. Ia meninggal pada hari Jum’at, 19 Jumadi aI-Akhir 1400 H, bertepatan dengan tanggal 25 April 1980 di kediamannya, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Sebagai tambahan bahwa meninggalnya Kiai Bishri pada hari Jum’at adalah sebagaimana doanya yang menginginkan ajalnya datang pada hari Jum’at. Dan ini mudah-mudahan termasuk kriteria sebagaimana hadist Nabi, yang artinya “Orang Islam yang mati pada malam atau hari Jum’at maka Allah akan menjaganya dari fitnah kubur. Dalam riwayat lain: maka akan bebas dari fitnah kubur”. (HR. Tirmidzi dan Baihaki dari lbnu Umar).

Sebenarnya ia ingin sekali meninggal di tanah suci Mekkah/Madinah. Karena itu ia sering menunaikan ibadah haji. Setiap berangkat diantar beramai-ramai oleh para santri dan keluarganya, dan setiap datang disambut dengan meriah juga. Pada waktu ia menunaikan ibadah haji yang terakhir beserta istrinya dan penulis sebagai pendampingnya, ia pernah sakit hampir setengah bulan di Mekkah.

Tawaran H. Janamar Duta Besar Indonesia untuk Sa’udi  Arabia (waktu itu lewat telpon) kepada penulis agar ia bersedia dirawat di rumah sakit di Jeddah juga ditolaknya. Mungkin saja ia kwatir jangan-jangan meninggal di Jeddah. Padahal ia ingin sekali meninggal di tanah suci Mekkah/Madinah, agar supaya termasuk hadist Nabi yang artinya:

        “Barang siapa ziarah kepadaku maka aku akan memberi syafa’at atau menjadi saksi. dan barang siapa mati di salah satu dari kedua tanah  suci Allah akan membangkitkannya dari golongan orang-orang yang aman besok pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud dan Thoyalisi).

Rupanya Allah tidak mentakdirkan ia meninggal di tanah suci pada waktu itu, walaupun keinginan tersebut selalu terbayangkan setiap pergi haji.

Upacara pemandian dilangsungkan pada malam itu juga yang dilakukan oleh Kiai H. Mashur Anwar, H. Abdurrahman Wahid dan HA. Hafidz Ahmad. Sedangkan penyiraman air dilakukan oleh KH. Adlan Ali, H.M. Iskandar, HM. Jamaluddin, MA. Aziz Masyhuri, Nyai S. A. Wahid Hasyim, Nyai Fattah Hasyim, HM. Yusuf Hasyim, KH. Wahib Wahab dan lain-lain. Setelah dilakukan shalat jenazah yang ke-32 kalinya yang di imami oleh KH. Imam Zarkasyi (Pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo) selesai, pengeras suara mengumumkan bahwa jenazah akan diangkat dan dikeluarkan dari masjid menuju tempat pemakamannya.

Setelah jenazah selesai dikebumikan, maka diadakan upacara terakhir sebagai penghormatan kepada almarhum Mbah Bishri. Puluhan umat manusia yang memenuhi halaman pondok pesantren, ikut mendengarkan dengan tenang dan penuh hormat pidato-pidato yang disampaikan oleh:

  1. Bapak H. Abdurrahman Wahid yang mewakili keluarga almarhum
  2. Bapak Prof. KH. Anwar Musyaddad yang mewakili PBNU.
  3. Bapak H. Nurdin Lubis yang mewakili DPP-PPP
  4. Bapak KH. Masykur yang mewakili DPR-RI
  5. Bapak Prof. Dr. Hamka yang mewakili Majelis Ulama Indonesia
  6. Bapak Jendral H. Alamsyah Ratu Prawiranegara. Menteri Agama Rl yang mewakili Bapak Presiden Soeharto.
  7. Bapak KH. Mahrus Ali yang mewakili Ulama Jawa Timur.
  8. Disambung Bapak KH. Dr. Idham Cholid yang baru datang ketika do’a sedang dibaca oleh Bapak KH. Mahrus Aly.

Selesai upacara di atas, dilakukan sekali lagi upacara penyembahyangan jenazah Mbah Bishri disamping atas liang makam oleh Bapak KH. Dr. Idham Cholid, Bapak Syaifuddin Zuhri dan lain-lain yang datang terlambat.

Upacara pemakamannya juga dihadiri oleh tokoh-tokoh lainnya, Seperti Dr. MJ. Naro Ketua PPP, Bapak Wagub Jawa Timur Soegiono, KH. Ahmad Syaihu, KH. Ali Ya’fie, H. Imam Sofwan, KH. Imron Rosyidi SH, Dr. Tholhah Masyur SH, KH. Abdullah Shidiq, H.M. Yusuf Hasyim, Prof. Nakamura seorang sosiolog dari Jepang, para pejabat teras jawa Timur, serta Bupati Probolinggo, Bupati Jombang dan para pejahat-pejabat lainnya. Ini semuanya membuktikan bahwa almarhum KH. Bishri Syansuri memiliki daya tarik dan wibawa yang besar. Benarlah sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Mautul Alim mautul alam” (Kematian orang Alim merupakan kematian alam). Kalau orang cendikiawan tidak ada lagi, apa gerangan yang akan menimpa dunia ini? Kalau dunia cuma berisikan orang-orang bodoh, betapa nasib umat manusia? Karena itu, bobot seseorang ditandai waktu kematiannya. Makin berat bobotnya ratalah ratapan manusia.

Makin tinggi martabat seseorang yang meninggal makin banjirlah manusia bertakziyah, makin banyaklah air mata tertumpah. Seseorang ahli syair berkata yang artinya:

“Bila ibumu melahirkan dirimu, tangismu menggebu gebu. Padahal manusia di sekelingmu riuh tertawa keriangan. Jadikan ratap manusia tertuju padamu, disaat kamu menikmati kematian dalam tawa suka cita.”

Setelah Mbah Bishri tiada bagaimana dengan kita? Bagaimana kita sebagai warga NU mengenangnya dari wasiat almarhum tidak kita temukan permintaannya untuk dibangunkan sebuah museum (makam kebesaran) atau tugu peringatan untuknya. Dan kita pun tahu bahwa itu bukan budaya kita, dan Mbah Bishri pun mesti tidak akan senang dengan hal itu.

Jika sekarang sudah ada nama-nama seperti KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya, mengapa dan apa salahnya bila jalan-jalan bersejarah yang sering dilalui oleh KH. Bishri termasuk jalan dari Jombang kota menuju ke Pondok Denanyar itu menjadi jalan KH. Bishri Syansuri? Kalau keberatan apa alasan yang memberatkan? Dan jika setuju mengapa tidak dilaksanakan.

 

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)