TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH
TAMBAK BERAS JOMBANG JATIM
Wafat: 1391 H/ 1971 M

 

BERFIKIR MODERN, PRAGMATIS DAN KONTEKSTUAL

Kiai Wahab dikelompokkan ke dalam deretan ulama yang berfikir moderat, agak pragmatis dan kontekstual. Figur yang memiliki kecenderungan seperti itu relatif cocok dengan karakteristik dunia politik yang memerlukan respon yang tidak “hitam-putih’. Wajar jika karena itu, Kiai Wahab begitu piawai memimpin NU semasa menjadi partai politik dan mampu membawa NU keluar dari setiap konflik politik yang menyertai.

Sosok Kiai Wahab yang demikian itu terlahir dari proses akademik yang pernah dilalui ketika menimba ilmu agama di pesantren. Pada saat belajar di Pesantren Tebuireng, ia menyaksikan bagaimana para santri senior menerapkan metode berpikir yang cenderung tekstual. Dalam forum musyawarah untuk membahas topik tertentu (bahstul masail), acuan utamanya yaitu kaidah Ushul Fiqh dan materi Fiqh difahami dan dijadikan sebagai pedoman yang sudah baku dan statis. Para santri senior pada umumnya yang mengikuti musyawarah itu berpegang kepada tekstual Fiqh yang terdapat di dalam kitab-kitab yang dipelajarinya. Sebaliknya, Kiai Wahab sama-sama merunjuk dan menggunakan pendekatan Fiqh, tetapi ia menerapkannya dengan spirit yang berbeda, sehingga implementasi yang ditimbulkan juga berbeda. la memilih bersikap kontekstual dalam memahami tema Fiqh, karena menurut Kiai Wahab, Fiqh itu sendiri harus membumi dan sensitif terhadap masalah sosial. Jauh sebelum muncul gugatan dan sejumlah cendikiawan muslim yang menunding Fiqh cenderung mengkondisikan pola berfikir mapan atau statis, pemuda Wahab ketika itu sudah mulai mengkritisi posisi Fiqh. Katanya, pemahaman terhadap Fiqh secara tekstual akan menjadikan materi Fiqh kurang aplikatif. Karena itu, ia harus dipahami dan diposisikan secara aktual dan kontekstual.

Tidak mengherankan jika guru utamanya saat itu, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sering memperingatkan cara berfikir Wahab seperti itu. Kiai Hasyim Asy’ari rnenggangap pola berfikir Wahab itu sama saja dengan meringankan (melonggarkan penerapan) hukum Fiqh. Pola berfikir kyai Wahab yang kontekstual dan mulai tumbuh sejak menjadi santri di Tebuireng terus berkembang, dan akhirnya menjadi karakter pemikiran Kiai Wahab dan membentuk cara pandang kyai Wahab yang cenderung fleksibel dan adaptable di kemudian hari. Cara pandang Kiai Wahab terhadap Fiqh ini berbeda dengan sparing partnernya. KH. Bisri Syansuri tokoh seangkatan yang juga punya pengaruh besar di NU. Dalam menerapkan hukum Fiqh, Kiai Bisri berpegang teguh terhadap tekstual Fiqh, dan karena itu ia cenderung keras dan konservatif. Perbedaan cara berpikir dan kedua tokoh itu kemudian melahirkan stereotip aliran di kalangan NU. Kiai Wahab mewakili kelompok moderat dan fleksibel, sedang Kiai Bisri Syansuri merupakan representasi dan pemikiran konservatif dan keras. Keduanya di kalangan NU memiliki
pendukung masing-masing. Stereotip dari dua aliran tersebut sampai kini juga masih terjadi di kalangan NU. Forum Bahstul Masail Diniyah yang sampai saat ini menjadi primadona program NU dalam konteks pengembangan
tradisi berpikir dan penyelesaian masalah sosial Keagamaan sering menampilkan dinamika yang berujung pada perbedaan cara pandang seperti yang terdapat pada Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri.

Agaknya perbedaan cara berpikir antara Kiai Wahab dengan Kiai Bisri Syansuri, terjadi ketika keduanya sama – sama belajar di pesantren Kademangan Bangakalan, Pesantren Tebuireng sampai ke Mekkah, dan berkelanjutan hingga mereka menjadi kiai dan tokoh NU.

Tetapi munculnya stereotip berpikir Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri ini, menurut KH. Abdurrahman Wahid, justru membawa hikmah bagi NU. Produk pemikiran dan keputusan kelembagaan yang diambil oleh NU menjadi
tampak matang, karena setiap masalah mendapat tinjauan dari dua sudut yang berbeda. Bisa dipastikan, untuk menetapkan suatu keputusan, sebelumnya terjadi perdebatan seru antara pihak yang menggunakan cara pandang model Kiai Wahab dan model Kiai Bisri Syansuri. Masing-masing mengemukakan argumentasi keagamaan yang sama-sama kuat dan benar. Demikianlah, tradisi pemikiran NU berkembang di atas landasan dialektis pemahaman Fiqh. Dan Kiai Wahab telah memiliki caranya sendiri, yaitu selalu berfikir dan menggunakan cara pandang yang kontekstual.

Sebagai contoh, ketika seorang pemimpin Masyumi bertanya dengan nada sarkatis, seberapa banyak jumlah advokat, insinyur, dan dokter dalam NU, ia menjawab dengan gaya sindiran yang lugas, “Jika saya membeli mobil baru, penjual tidak akan bertanya, apakah anda biasa menyetir, Tuan? itu pertanyaan yang tak penting, sebab jika saya tidak bisa menyetir mobil, saya dapat memasang iklan ‘Dicari Sopir’. Pastilah akan banyak pelamar antri di depan pintu saya”.

KETOKOHANNYA

Profil Kiai amat berpengaruh ini seolah memberikan penegasan bahwa, pertama Kiai Wahab adalah ulama pesantren tulen dengan ciri khas mengenakan kain sarung dan sorban. Ke mana saja pergi, ia selalu mengenakan kedua pakaian itu, ketika berada di medan perang sekalipun. Mengenai sorban ini, menurut penuturan KH. Saifuddin Zuhri, ada anekdot menarik.

Suatu ketika, Kiai Wahab berbicara dalam sidang parlemen. Sebelum naik ke podium ia terlebih dahulu membetulkan letak sorbannya. Pada saat itu ada mulut usil nyeletuk,“Tanpa sorban kenapa sih?” Sambil menunjuk sorbannya. Kiai Wahab sontak menjawab “Sorban Diponegoro” ketika berdiri di podium sang kiai sambil menunjuk sorbannya dan berkata, “Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai sorban”. Karuan saja, ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen.

Kedua, Kiai Wahab adalah seorang intelektual yang salah satunya adalah berjiwa bebas, berpikir merdeka, dan tidak mudah terpengaruh lingkungan. Dan yang ketiga Kiai Wahab adalah seorang politisi kawakan yang dekat dengan presiden. Di samping itu, tentu saja sebagai seorang pejuang, karena ia berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang.

Yang dikritisi Kiai Wahab sekitar tahun 1920 dengan mengadakan kontak dan kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Stude Club adalah cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kiai Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas, dan memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kiai Wahab adalah jagonya.

Ketika terjadi perdebatan di kalangan tokoh Masyumi mengenai ikut atau tidaknya dalam Kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan Persetujuan  Renville yang ditolak Masyumi, Kiai Wahab tampil memecahkan persoalan disertai joke-joke jitu. Kiai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat dalam Cabinet Hatta. Pertimbangannya, jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih mudah menentang kebijakan kabinet tersebut. Forum menyetujui usul itu setelah melalui perdebatan seru.

KH. R. Hajid, tokoh Muhammadiyah, menanyakan kepada Kiai Wahab, setiap calon menteri yang akan duduk dalam kabinet itu harus mempunyai niat bagaimana Dijawab Kiai Wahab, “Niatnya i’zalul mungkarat (Melenyapkan yang munkar)”.

“Kalau begitu, niatnya harus dihafalkan,” usul Kiai Hajid. Dengan spontan Kiai Wahab menimpali, “Mana dalil al-Qur’an dan Hadistnya mengenai talaftzh bin niyat (menghafalkan niat)?”. Serentak hadirin tertawa riuh. Sebagaimana diketahui, kedua tokoh ini mewakili dua organisasi yang berbeda pendapat dalam hal harus tidaknya mengucapkan lafal niat (ushali) dalam shalat: pengikut NU selalu menghafalkan niat, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lha, kok dalam masalah Renville ini malah terbalik, jadi lucu kedengarannya.

 

HUKUM HIZIB DAN WIRID MENURUT SYARA

Jika kita lihat hizib-hizib dan wirid-wirid yang ditulis para ulama sufi-termasuk rawatib– tentu itu semua tersusun dari ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits’Nabi, perkataan-perkataan orang shalih serta ulama-ulama sufi sendiri.

Dan dzikir-dzikir ini, oleh sebagian orang dianggap tidak memiliki dasar hukum sehingga mereka tidak menerimanya. Namun sebagian yang lain memandang bahwa dzikir-dzikir itu memiliki dasar syar’i, di antaranya seperti pendapat Syekh Zaki Ibrahim mendasarkan pendapatnya pada:

  1. Bahwa Nabi Muhammad pernah mendengar orang berdo’a tidak dengan do’a yang telah ia ajarkan. Akan tetapi Nabi tidak mengingkarinya baik dengan terang-terangan maupun dengan isyarat
  2. Bahwa Nabi Muhammad menerapkan ini sebagai ijtihad dalam berdo’a, ia memberi kelonggaran serta mendukungnya. Karena itu, setidaknya ijtihad dalam berdo’a seperti hizib atau wirid diperbolehkan atau dianjurkan. Rasul menjadikannya sunnah taqririyah yang diambil oleh para sahabat dan tabi’in terlebih oleh ulama salaf.
  3. Berpijak pada hal di atas, diperbolehkan bagi yang sanggup maupun yang tidak sanggup beribadah dengan ma’tsur (teks dan Rasul) melakukannya
    dengan selain yang matsur, berupa wirid, hizib, pujian dan lainnya yang datang dan ulama-ulama shalih.

Syekh Zaki Ibrahim menyatakan bahwa kebolehan mengamalkan hizib dan wirid berdasarkan kepada hadits tentang seorang laki-laki berdo’a dengan do’a yang bukan merupakan ma’tsur, dan Nabi tidak melarangnya. Menurut Imam Ibn Katsir, hadits itu diriwayatkan oleh Imam aI-Nasa’i, Zaid bin Habbab dan Malik bin Maghul dan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwasanya ia masuk masjid bersama Rasulullah SAW. Ketika seorang laki-laki tengah shalat dan mengucapkan do’a: “Ya, Allah, aku mohon kcpada-Mu sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau yang Satu, yang Kekal, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada seorangpun yang menandingi Nya”. Rasulullah lalu berkata: “Demi Dzat yang menguasai diriku! Sungguh ia telah memohon dengan nama-Nya yang Agung. Dengannya segala permintaan diberikan dan segala permohonan dikabulkan”. Menurut al-Tirmidzi hadits ini hasan gharib.

 

WAFATNYA

KH. Abdul Wahab Chasbullah menjabat Rais ‘Aam NU sampai akhir hayatnya. Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya, muktamar terakhir yang diikutinya, sebagaimana do’anya di hari-hari terakhir hidupannya untuk dapat memberikan suara pilihannya kepada partai NU dan mengikuti muktamar ini, scbenarnya, ia sudah dalam keadaan sakit, Sehingga khutbat a1-Iftitah muktamar yang lazim dilakukan Rais ‘Aam kemudian diserahkan kepada KH. Bisri Syansuri, yang biasa membantunya dalam menjalankan tugas sebagai Rais ‘Aam, untuk membacakannya.

KH. Abdul Wahab Chasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata, yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun. Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya pada hari Rabu 12 Dzul’qadah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab wafat di kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak
Beras Jombang.

 

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)