TARIKH

Ziarah Pemikiran Gus Dur

Lanjutan (Mengais Perspektif Gus Dur-ian)

Mengais Perspektif Gus Dur-ian
Oleh; Armada Rianto CM
Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Dialogal dan autokritik 

Suatu hari Gus Dur ditanya, kenapa dia kerap mengritik Islam. Gus Dur menjawab, jika kita tidak memiliki kritik dan, tidak mungkin kita bisa berkembang. Lagi pula, siapakah kita, sehingga kita tidak bisa dikritik? Kalimat ini saya dengar sendiri dalam kesempatan dialog di pesantren Nglawak, Kertosono.

Salah satu bahaya konkret dari dialog adalah formalisme. Sungguh berbahaya, bila dialog agama hanya diupayakan tampak manis semata dalam panggung-panggung pertunjukan atau dengan aneka peraturan. Para partisipan adalah penonton yang menikmati aneka uraian manis-manis tentang agama masing-masing, tetapi tidak berpijak dan berlanjut kepada promosi relasi-relasi damai dan kolaborasi satu sama lain. Dialog yang benar juga mengandalkan sikap autokritik (kritik diri). Open letter of the 138 Islamic scholars memiliki implikasi tegas, yakni studi bersama, termasuk di dalamnya elaborasi, rekonsiliasi serta autokritisi.

Autokritisi adalah aktivitas evaluasi dan atas penghayatan subjektif iman sendiri dalam hidup konkret. Pertanyaan autokritik paling krusial ialah apakah agama yang aku hayati membawa kepada penerimaan dan penyambutan orang lain sebagaimana adanya; atau apakah aku menuntut orang lain juga harus masuk dan tunduk dalam ranah etis agamaku. Kerukunan dan perdamaian tidak mengandaikan peraturan tetapi meminta hati yang rajin memperbaruhi diri.

Paus dan para pemimpin Kristiani seluruh dunia telah mendesak kelompok-kelompok umat untuk segera melakukan studi, kolaborasi dan autokritisi sebagai tanggapan konkret atas Open Letter ini. Harapan dan ajakan yang sama pasti juga diajukan kepada umat Islam di seluruh dunia. Di rumah kita, di kampung Duri, di tanah air sendiri.

Membela Agama? Belalah Manusia

Gus Dur pernah berkata, para teroris terlalu yakin bahwa tindakannya akan diganjar surga dan bidadari-bidadari cantik. Kata siapa? Wong tidak ada satu pun dari kita, tidak juga ulama, pernah naik mencicipi surga. Gus Dur tidak sedang berandai tentang surga. Tetapi, betapa neraka akan tercipta jika kehidupan keseharian kita berlumuran kekerasan.       Jika kita adalah bangsa beragama, tetapi pada saat yang sama kekerasan merebak begitu gampang, bangsa ini benar-benar “tidak menarik.” dan, agama yang kita kibarkan sebagai bendera kehidupan pun juga “tidak menarik.”

Ungkapan “tidak menarik” berada dalam kategori etis hipokrit, munafik, saleh-palsu, “ngomongnya doang suci-suci”, agama-KTP (agama cuma dalam KTP tetapi tidak dalam hidup), dan seterusnya. Kebringasan dan ancaman penyerangan pada Lembah Karmel adalah emblem hipokrisi bangsa ini. Kekerasan atas nama agama, tulis Azyumardi Azra, bukan hanya menunjukkan “stateless society” (negara gagal) tetapi juga menjerumuskan agama pada realitas paling tidak simpatik (Kompas, Jumat, 27 Juli 2007).

Seorang Sufi dan India pernah berkata, “Jika kamu ingin masuk surga, jangan bela agama. Belalah manusia!”         Membela agama itu membela apa sih? Membela masjid, gereja, pura, candi; atau membela buku Alqur’an, Bible, Tripitaka, Weda; atau membela lembah, gunung, tanah, wilayah?

Sang Sufi berkata, “Kalaupun masjid atau gereja atau pura tidak dirobohkan, ia akan lapuk, roboh sendiri oleh waktu. Sedangkan buku atau kitab suci apapun, kalaupun tidak terbakar juga akan di makan ngengat. Sementara lembah, gunung, tanah, wilayah? Kalian kan cuma tahu menempati. Masakan gunung itu buatan tanganmu? Andai kamu yang membuatnya, kamu baru bisa mengklaim gunung atau lembah itu milikmu!”

Tanpa kita sadari kita kerap meyakini benar bahwa aktivitas membela segala simbol-simbol itu yang utama, lebih utama dan ketaatan beriman. Tidak heran, di kampung saya, masjid didirikan secara beruntun bahkan hanya dalam jarak kurang dan 100 meter dan yang lainnya. Seakan-akan rumah ibadah adalah jaminan masuk surga.

Kemunduran hidup beragama telah di depan pintu kita. Agama sesungguhnya hanyalah simbol hegemoni manusia. Yang terjadi sebenarnya, manusia serakah, beringas, suka menerkam, menerjang, menendang dan menyakiti sesama yang lain. Agama dipakai sekedar untuk menguasai sesamanya, siapa saja. Agama hanya pakaian. Agama cuma penutup kepala. Agama adalah jubah belaka. Agama sesungguhnya bukan apa-apa, nothing, dalam kehidupan nyata.

 

Dikutip dari : Buku Gus Dur Sebuah Testimoni Lintas Agama (LAKPESDAM NU Cabang Kota Malang, 2010)