BERITA LPIK

ASDANU 2017

Kegiatan ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara)
Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal-Jama`ah

TIM PENGGAGAS ASDANU

 

Sudah mafhum bahwa, kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini cukup menprihatinkan, bahkan sudah bisa dibilang sangat menghawatirkan. Lihatlah bagaimana yang terjadi di Ibu Kota Jakarta terutama masa pemilu Gubernur, ada seorang muslim yang meninggal dunia, terdapat masjid atau musaholla yang tidak mau mensholatkan. Sungguh tragis dan memilukan bagi kehidupan sosial-masyarakat Indonesia. Masyarakat yang sudah lama terkenal dengan sistem gotong-royong, hormat menghormati, tolong-menolong antara anak bangsa, toleransi dan lain sebagainya, tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi masyarakat yang suka mengadu domba, fitnah-menfitnah, ujaran kebencian (hate speech), bahkan sudah merambah pada sentimen SARA (suku, agama, ras dan adat-istiadat). Apa yang terjadi di Ibu Kota ternyata itu telah menjadi sorotan publik dan berpotensi besar untuk berkembang dan ditiru masyarakat di wilayah yang lain di bumi nusantara (Indonesia) ini, pada waktu yang berbeda dan dengan kepentingan yang sama.

 

Fenomena tersebut telah mencoreng wajah islam Indonesia yang moderat dan humanis di mata Dunia Internasional.  Dua ciri khas wajah islam rahmatan lil alamin di Indonesia yang telah dibangun dengan penuh susah payah oleh ulama` dan auliya` as sabiqun al awwalun sejak awal perkembangan islam di nusantara. Nilai-nilai moderasi dan humanisme islam seakan runtuh ketika ada sebagian kelompok dengan berbaju agama islam dengan gerakannya yang massif menebarkan kebencian yang cenderung beraroma adu domba, permusuhan bahkan pengkafiran dan tuduhan sesat kepada kelompok  yang berbeda dengannya.  Pola pikir yang dipakai mereka untuk memahami ajaran islam sangat bertentangan dengan pola pikir beragama yang dipakai oleh mayoritas muslim di negeri ini. Kondisi seperti ini akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kepentingan sempit dan politis untuk meraih keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan mengorbankan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Lebih dari itu mereka telah mengacaukan pola pikir dan methodologi beragama umat islam yang berusaha menjaga wajah islam rahmatan lil alamin di nusantara ini.

Bagaimana tidak menghawatirkan, jika hanya persoalan politik an sich yang kemudian dibalut dengan bungkus agama sehingga harus mengorbankan rasa kebersamaan antar bangsa. Tentu di dalam era demokrasi seperti sekarang ini, kebebasan berbicara, berpendapat mendapat jamanan konstitusi. Namun, seharus penggunaan hak itu juga harus memperhatikan budaya (culture), masyarakat setempat. Bahkan, jika kebebasan yang kita rengkuh akan menjadi malapetaka bagi keutuhan bangsa dan negara jika kebebasan tersebut digunakan untuk  kepentingan pribadi, kelompok dan partai tertentu. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), bahwa konsolidasi demokrasi akan terjadi jika terdapat sebuah kebebasan sipil (citizens` freedoms), individu yang otonom, penegakan hukum (rule of law), adastate bureaucracy  yang demokratis dan yang terakhir ada pelembagaan ekonomi. Merujuk pada argumentasi Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996) di atas, juga mengingatkan kepada kita serta memberikan pelajaran penting bagi bangsa Indonesia, bahwa jika demokrasi yang baru seumur jagung ini dikelola dengan baik, pasti berujung pada konsolidasi demokrasi. Namun, sebaliknya jika ketika pada prosesnya kita ciderai, maka yang terjadi adalah rekonsilidasi otoritarianisme yang berbasis pada sikap individu dan kelompok tertentu.

Di dalam membangun konsolidasi di antara anak bangsa tidak cukup sekedar slogan, akan tetapi membutuhkan kesadaran kolektif antar anak bangsa di dalam berjihad melawan tindakan-tindakan radikalisme, terorisme dan lain sebagainya mengatasnamakan agama di bumi nusantara ini. Sungguh sebuah cita-cita yang mulia jika semua orang mampu sadar secara kolektif, bahka tuhan menciptakan manusia bersuku-suku demi saling menyapa dan saling mengenal atas perbedaan manusia.

Oleh karena itu, Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara (AsdaNU), lebih merupakan sebuah gerakan moral kaum inteletual (akademisi) seluruh nusantara. Sebuah gerakan moral yang berbasis  pada  Perguruan Tinggi terutama Perguruan Tinggi yang terafiliasi secara struktural dan kultural dengan Nahdlitul Ulama.  Para akademisi yang berpaham Ahlussunah Wal-Jama`ah merasa perlu mengkonsolidasikan seluruh potensi baik tenaga, pikiran dan yang  lain demi menjaga, merawat dan membangun pola pikir dan methodologi beragama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi,  toleransi dan humanis untuk mewujudkan islam rahmatan lil alamin dalam rumah besar yang bernama Indonesia-Raya. Sebuah rumah yang terdiri dari berbagai macam isi dan potensi yang wajib kita jaga dan rawat secara bijaksana.

Semoga kehadiran Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara (AsdaNU), yang lahir di Jawa Timur dimotori oleh Lembaga Pengkajian Islam dan Keaswajaan (LPIK), Universitas Islam Malang dapat menyumbangkan pikiran, ide dan lainnya di dalam membangun masyarakat kampus yang moderat, santun, toleran dan berkeadilan dalam bingkai “Islam yang Rahmatan Lil alamin”.

 

Malang, 30 Mei 2017

Tim Penggagas,

 

Drs. H. Ali Ashari, M.Pd

Khoiron, SAP., M.IP

M. Wafiyul Ahdi, SH., M.Pd.I

Yusuf Suharto, S.Ag., M.Pd.I

Ahmad Syafi`i, S.Pd.I., M.Pd.I.

Yulifah Hikmawati, S.Sos., M.M

M. Syahrir, S.Ag., M.Si

Imam Muslih, M.Pd.I

Ali Mahsun, S.Pd.I., M.Pd

Jumari, S.Pd., M.Pd.I

Ana Christanti, M.Pd

H. Salim, S.Ag., M.Pd.I

Hj. Lilik Azkiyah, M.Pd


PENGANTAR

EDITOR

 

Di Ambil dari Opini Jawa Pos, 15 Mei 2017

 

MEMBANGUN MASYARAKAT KAMPUS MODERAT

Berawal dari group WhatsApp Forum Dosen Aswaja, yang terbentuk sekitar bulan Maret 2017, tidak kurang dari 107 lembaga atau institusi perguruan tinggi se-Indonesia melalui perwakilannya yang menyatakan diri bergabung dalam deklarasi ASDANU 17 Mei 2017 mendatang di Kampus Universitas Islam Malang. Mungkin saja karena belum terdapat forum yang secara spesifik mewadahi aspirasi dan gagasan keaswajaan dari para dosen yang berpaham Ahlussunah Wal Jama`ah di Indonesia.

Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara atau disingkat dengan ASDANU, adalah sebuah organisasi profesi (dosen), yang lahir di tengah-tengah masyarakat akademisi kampus, khususnya kampus yang secara stuktural dengan NU atau kultural. Layaknya organisasi yang lain, organisasi ASDANU di dirikan untuk mewujudkan sebuah cita-cita bersama yaitu membangun masyarakat kampus (dosen dan mahasiswa) yang berpaham Aswaja secepat-cepatnya. Sebab, aktifitas dosen tidak sekedar transfer of knowlege, akan tetapi juga transfer of values. Terdapat tanggung jawab moral bagi dosen untuk mendidik mahasiswa dan masyarakat guna mempersiapkan generasi masa depan bangsa yang saleh secara spiritualnya dan saleh secara sosialnya.  Sehingga, organisasi ASDANU akan menjadi sebuah wadah para dosen yang berpaham Aswajadi  Nusantara. Oleh karena itu, kami tidak menyebutnya Asosiasi Dosen NU, akan tetapi Nusantara sebagai ciri khas Islam Indonesia.

Sebagai inisiator utama, saya prihatin melihat kehidupan demokrasi modern seperti sekarang ini, dimana banyak masyarakat yang mengeluh atas kondisi dan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak orang dengan mudah berbuat kegaduhan yang membuat masyarakat tidak nyaman dan tenang. Bahkan, wabah tersebut telah menjalar kepada pendidik (guru/dosen), yang menjadi penjaga moral dan etika (akhlaq). Hasilnya, tidak sedikit para pendidik (guru/dosen) justru menjadi pelaku penyebar berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), caci maki dan lain sebagainya melalui media sosial (FB, WA dan Twetter), yang sangat menganggu ketenangan pikiran kita semua. Tragisnya lagi, penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), caci maki terjadi di sebuah organisasi keta`miran masjid yang suci, ada pengurus masjid yang kerjaannya men-share di group ta`mir berita isinya menyudutkan salah satu calon pada pilkada DKI Jakarta, terlebih pasca kasus al-Maidah ayat 51. Saya yakin bahwa pikiran kita yang masih waras tentu tidak setuju dengan perilaku amoral seperti di atas.

Dalam pandangan saya, kelompok radikal dan intoleran tersebut telah menemukan momentum dibalik kasus al-Maidah 51 untuk kemudian mencari pengakuan (recognition), bahwa jihad mereka adalah sebuah perjuangan kebenaran. Memang di dalam sejarahnya, politik identitas (agama), terbukti sangat ampuh untuk memobilisasi massa. Sebab, orang yang tidak ikut dengan gerakannya dianggap sebagai melawan agama. Sungguh sebuah kleim atas kebenaran (truth-clime), yangmalampui batas kepatutan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kenapa ASDANU?

Dari sekian banyak organisasi profesi di Indoensia, saya belum menemukan organisasi yang secara spesifik (khusus), mewadahi para dosen yang berpaham Aswaja secara kaffah. Yakni, paham Aswaja khususnya bagi nahdliyin tercerminkan pada sikap yang moderat, santun dan menyejukkan. Bukan sebaliknya, paham Aswaja yang garang dan menakutkan bagi pemeluk agama yang lain. Berikut beberapa dasar pemikiran di dirikannya organisasi ASDANU antara lain;

Pertama,  banyaknya kalangan dosen khususnya di kalangan nahdliyin yang mempunyai pemikiran radikal (fundementalisme). Tentu sangat berbahaya jika kemudian dia memberikan motivasi (provokasi), kepada mahasiswa. Jika kita melihat kasus aksi kekerasan dan terorisme, akhir-akhir ini ada kecenderungan pelaku teror atau bom bunuh diri  adalah remaja usia di bawah 30 tahun, bahkan sudah merekrut perempuan sebagai pengantin bom bunuh diri. Sungguh sebuah fakta yang memilukan sekaligus ancaman baru yang serius bagi negara.

Kedua, kasus pidato Gubernur Ahok, di kepulauan Seribu yang menyinggung surat al-Maidah ayat 51 yang secara kebetulan disampaikan oleh orang non-muslim telah menimbulkan semacam sentiment agama. Kasusnya di wilayah Jakarta, akan tetapi dampaknya ternyata sampai kedaerah hingga masyarakat kampus yang identik dengan sikap ilmiahnya. Suasana kehidupan masyarakat seperti diambang  perpecahan (disintegrasi), dan tindakan intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.

Ketiga, kebebasan berkelompok sebagai konsekuensi logis atas demokrasi, telah memunculkan kelompok yang membangunkan kembali semangat jihad  atas nama membela agama. Para akademisi di kampus tidak seharusnya ikut memperkeruh suasa kehidupan masyarakat dengan membawa politik identitas di dalam kehidupan masyarakat heterogen.

Walhasil, semoga kehadiran ASDANU di tengah-tengah krisis kebangsaan akibat politisasi agama dapat menjadi obat kuat, bahwa sejatinya tindakan suap, korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama itu jauh lebih menistakan agama. Lalu kenapa kalian diam saja?

 

 

Malang, 30 Mei 2017

 Khoiron, SAP., M.IP

Klik Disini —>  Proceeding AsdaNU