TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

Lanjutan .

KH. A. WAHID HASYIM
TEBUIRENG JOMBANG JAWA TIMUR
Wafat: 1373 H / 1953

 

EMPAT TAHUN SEBELUM MASUK ORGANISASI

Jarang ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau kerena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses Ke NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif di perhimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama. Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan rnerekrut sebayak mungkin anggota dan tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tak satu pun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam salah satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk ke dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim, perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.“Di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslimin Indonesia.

 

GERAK NU LAMBAT

Selama empat tahun Abdul Wahid Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran yang diterima, barulah pilihannya dijatuhkan pada organisasi Nahdlatul Ulama. Tepatnya pada tahun 1938 ia menyatakan menerima tawaran untuk aktif di NU. “NU saya pilih untuk mengembangkan sayap dan kecakapan”, ujarnya. Dalam bukunya Mengapa Pilih NU? Abdul Wahid Hasyim menjelaskan alasan ia memilih NU sebagai tempat “berlabuh”.

Mula-mula ia menyadari bahwa tidak satu pun perhimpunan yang seratus persen memusakan. “Ibarat jodoh, yang sungguh-sungguh memuaskan kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudaranya, kemenakannya, dan lain-lainnya, pasti tidak terdapat di dunia ini,” ujarnya membuat tamsil. Karena itu menurut Abdul Wahid Hasyim, harus dípilih perkumpulan yang paling ringan tingkat kekurangannya. Untuk ini ia menginginkan tolak ukur tersendiri, yaitu pertama ukuran keradikalan. Dan segi ini, Abdul Wahid Hasyim mengakui bahwa NU kurang memenuhi keinginannya.

“Nahdlatul Ulama merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner,” tuturnya. Tetapi, ada kenyataan lain yang membuat NU di mata Abdul Wahid Hasyim memiliki nilai lebih dibandingkan dengan perhimpunan lain, bahkan dari perhimpunan kaum muda sekali pun. Beberapa perhimpunan pemuda Islam yang ada, selama lebih satu dasawarsa mengembangkan sayapnya, harus memiliki cabang di 20 tempat, dan itu pun tempatnya berdekatan. Sedangkan perkembangan NU di mata Abdul Wahid Hasyim demikian lain. Meski ada sesuatu yang berbeda dengan NU. Hanya dalam tempo satu dasawarsa, NU telah berkembang mencapai 60% di berbagai daerah dan hampir merata di seluruh Indonesia.

Lalu Abdul Wahid Hasyim mempertanyakan sendiri tolak ukur yang pernah dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan pilihan. Apa artinya radikal dan revolusioner jika hasilnya hanya sebatas itu. Masa selama sepuluh tahun hanya memiliki puluhan cabang yang berada di satu-dua karesidenan saja. Radikalisme dan revolusioner memang menimbulkan kesan gagah. “Tapi yang penting dalam ini bukanlah kegagahan di dalam berjuang, melainkan yang dicapai dalam perjuangan itu sendiri”, kata Abdul Wahid Hasyim.

Ada lagi ukuran lain yang dijadikan Abdul Wahid Hasyim untuk menentukan pilihannya, yaitu banyak kaum terpelajar yang bergabung di dalamnya. jika ukuran ini yang dipakai, jelas NU tidak masuk hitungan. Untuk mencari akademisi di dalam NU, Abdul Wahid Hasyim mentamsilkan orang dengan mencari pejual es pada pukul satu malam. Tetapi Abdul Wahid Hasyim menanggal sendiri penggunaan ukuran “Banyaknya kaum terpelajar ini”. Menurut Abdul Wahid Hasyim, banyaknya kaum terpelajar  bukan menjadi jaminan suatu perhimpunan akan maju.

“Bukan hanya otak yang menyebabkan maju perhimpunan atau partai, rnelainkan juga mentalitas,” ujar seraya menunjukkan sejumlah contoh, Banyak perhimpunan yang pada waktu itu dipenuhi kaum terpelajar, tetapi karena mentalitasnya tidak memadai, maka perhimpunan ini tidak maju-maju. Waktu dan tenaganya habis untuk rnengatasi pergolakan yang terjadi di dalam. Ia menunjuk PKI suatu contoh partai yang solid, padahal tidak memiliki ban kaum terpelajar.

Wahid Hasyim juga berbeda pandangan dari kebanyakan pemuda Islam lainnya kala itu dalam melihat NU. Selama ini kalangan pemuda Islam enggan memasuki organisasi NU karena dua alasan. Pertama, NU dinilai ketat menurut anggotanya dalam urusan menjalankan kewajiban agama. Misalnya, setiap anggota NU harus “Beres” dalam melaksanakan shalat, shalat jum’at, puasa, atau ibadah lain . NU menerapkan ukuran yang berat kepada anggotanya dalam soal tersebut. Seandainya ada kehidupan prive (pribadi) anggora NU yang kurang sedap di mata kiai NU, yang bersangkutan akan mendapat peringatan keras. Hal ini menyebabkan orang luar sering rnemandang NU sebagai organisasi yang menakutkan.

Alasan kedua adalah, berkenaan dengan kedudukan ulama di dalam NU yang dinilai memonopoli perhimpunan. Sedangkan para ulama sendiri selalu menyadarkan pemikiran, perkataan, dan perbuatannya kepada para ulama terdahulu melalui kitab-kitab karyanya. Menurut anggapan sebagian pemuda Islam waktu itu, kemerdekaan berpikir dan bergerak di dalam perhimpunan NU sudah tentu akan sangat terhambat oleh pandangan para ulama yang dipandang kolot seperti itu.

Menghadapi pandangan seperti itu, Abdul Wahid Hasyim semakin berketetapan hati untuk masuk NU. Menurut Abdul Wahid Hasyim, jika orang mau bersungguh -sungguh menyelidiki NU, maka akan ditemui kenyataan bahwa kedudukan ulama di dalam NU tidak lebih dari anggota biasa. Ulama tidak memonopoli perhimpunan. Kedudukan ulama di dalam tubuh NU digambarkan oleh Abdul Wahid Hasyim sebagai penjaga ajaran Islam dan kemungkinan dilanggar oleh anggotanya. Jika ajaran agama Islam dilanggar oleh penganutnya sendiri, siapa yang akan bersedia memelihara dan menjaganya, kalau bukan ulama?

Abdul Wahid Hasyim juga tidak melihat bahwa kehadiran ulama NU sebagai penjaga ajaran Islam menyebabkan ajaran Islam menjadi statis atau jumud. Para ulama dinilai bisa mengakselerasi dan menyesuaikan pemikiran keagamaan secara tepat terhadap perkembangan keadaan, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Selama empat tahun Abdul Wahid Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap eksistensi berbagai perhimpunan atau partai yang ada, baik yang berdasarkan Islam maupun kebangsaan. Setelah itu, la pun memilih NU, dengan keyakinan yang kuat bahwa NU bisa lebih memberi banyak kemungkinan bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia. “Faktor-faktor dalam yang dahulu saya anggap sebagai rintangan bagi kemajuan, malah sebaliknya, justru menjadi faktor yang mempercepat kemajuan”, katanya berargumentasi.

 

KIPRAHNYA DI DUNIA PESANTREN

Pengalaman pendidikannya yang bukan hanya diperoleh dari pesantren, melainkan juga pengembaraanya ke Hijaz, ditambah dengan otodidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam pemikiran Wahid Hasyim. Pembaharuan yang ketika itu sudah mulai melanda dunia Islam mengilhami gagasannya, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan semacamnya. Pengaruh yang paling menonjol adalah pada pemikiran politik dan pendidikan. Pemikiran politiknya telah mampu membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya kemerdekaan dan perlunya melawan penjajah.

Selain pemikiran politik, pemikiran pendidikan cukup berpengaruh, khususnya bagi perkembangannya. Sistem pendidikan pesantren yang melulu berkutat pada pengajaran keagamaan mulai dikembangkan dengan dimasukkannya disiplin ilmu umum dalam kurikulum pengajarannya. Di samping itu, sistem tradisional semisal wetonan dan bandongan diubah kembangkan dengan diterapkannya sistem madrasah atau klasikal dalam pendidikan pesantren. Demikianlah, hingga Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agarna, persoalan pendidikan masih menjadi perhatian utamanya.

Bagi Wahid Hasyim, dunia pesantren merupakan dunia yang paling berkesan dalam perjalanan hidupnya. Pesantren adalah awal sekaligus akhir perjalanan kehidupannya. Wahid Hasyim kecil belajar dan nyantri di beberapa pesantren. Penjelajahannya di berbagai pesantren menjadikan dirinya begitu paham karakter dan keunggulan masing-masing pesantren yang pernah disinggahinya. Memang antara pesantren yang satu dengan yang lain memiliki keunggulan dan spesifikasi sendiri-sendiri. Terhadap pondok pesantren yang mendalami ilmu nahwu (tata bahasa/ilmu alat dalam bahasa Arab), ada juga pesantren yang mengkhususkan diri pada pengajaran Ilmu Fiqh, Hadits, pengusaan al-Qur’an baik bi al-nazhar maupun bi al-ghayb, dan selanjutnya.

Pesantren-pesantren yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, memudahkan para santri untuk mendalami disiplin ilmu keislaman. Jika ingin menjadi seorang ahli Fiqh, maka santri harus memasuki pesantren yang mengkhususkan diri dalam Ilmu Fiqh. Demikian juga ketika seorang santri ingin mendalami Ilmu Alat, maka ia harus mengikuti dan nyantri di pesantren yang secara khusus mendalami Ilmu Mat. Oleh karena itu, pada saat itu kebanyakan santri melakukan transeducation (pindah belajar) dan satu pesantren ke pesantren yang lain. Fenomena semacam ini juga dilakukan oleh Wahid Hasyim kecil. Dengan demikian, pengalaman model belajar, materi pelajaran, sistem interaksi sosial dan pola pemikiran yang berkembang di berbagai pesantren mengendap dalam memorinya. Endapan memori itulah yang kemudian menjadi bekal baginya untuk melakukan pembaharuan pendidikan demi perkembangan pesantren tidak terkecuali Pesantren Tebuireng yang diasuhnya.

 

Bersambung !

Dikutip dari : Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)