KAJIAN KEISLAMAN

Saleh Ritual dan Sosial

Oleh;

Lembaga Pengkajian Islam dan Keaswajaan

 

Sebelumnya, kami ucapkan Marhaban Ya Ramadhan 1441 H, semoga ibadah kita semua diterima dan mendapatkan ridlo, atas segala keikhlasan dalam menjalankannya. Amin.

Sebagai pengantar, kami mencoba mendiskusinya apa yang kemudian kita sebut sebagai saleh ritual yakni; sebuah konsep yang diterjemahkan sebagian orang hanya pada aspek laku ibadah seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Mereka berlomba-lomba dalam hal ritual agama, dan seolah-olah apa yang dikerjakannya sudah persis apa yang diperintahkan oleh Tuhannya. Sehingga dengan cara pandang religious- formalism inilah kemudian kebermaknaan dan tujuan ibadah ritual tereduksi secara parsial dan partikular sebagaimana yang dipraktikkan orang kebanyakan dewasa ini. Padahal, kesalehan ritual kita seharusnya terwujud ke-dalam sikap dan perilaku sosial kita sehari-hari atau saleh sosial yakni; sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai (values) islam yang jika meminjam istilah Gus Dur terwujud kedalam “nilai-nilai universal”.

Oleh karena itu, Lembaga Pengkajian Islam dan Keaswajaan berupaya meluruskan kembali bagaimana seharusnya memilah-memilih diantara kedua konsep tersebut, sehingga dapat terintegrasi kedalam praktik- praktik kehidupan sosial ditengah-tengah menguatnya gerakan formalisasi ritual agama dari sebagian saudara-saudara kita seiman, sebangsa dan setanah air.

Berikut ini uraian singkat dari Prof. Nadirsyah Hosen, P.hD (Intelektual dan kiai) terkait “Saleh ritual dan Saleh Sosial”.

Gus Mus pernah mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial. Yang  pertama merujuk pada ibadah  yang  dilakukan  dalam  konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas. Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara sosial; begitupula sebaliknya.

Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya  kesalahan.  Pada  saat  yang  sama,  kita  harus  akui  seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena  kami  belum  menunaikan  shalat  maghrib.  Bahkan  ia mengancam,  “Saya  tidak akan mau terbang  kalau  saya tidak  shalat dulu”.

Saya  tenangkan  dia,  bahwa  sehabis  check  in  nanti  kita  masih  bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagipula, sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.

Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya Fiqh   al-Awlawiyat.  Beliau   berpendapat   kewajiban   yang   berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban  yang  berkaitan  dengan  hak  individu.  Beliau  juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang  langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat:

Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, “Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat.” Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada kesalehan ritual.

Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan   shalat   Jum’at.   Pilihlah   menghilangkan   najis   dan menolong  orang  yang  kecelakaan  dengan  membawanya  ke  Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat yang mengurus KTP terlebih dahulu?

Atau mana yang harus kita prioritaskan disaat keterbatasan air dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu’. Wudhu’ itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada sehatnya agama.

Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di  depan pasukan Abrahah   yang   mengambil   kambing   dan   untanya   serta   hendak menyerang Ka’bah: “kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa. Inilah fiqh prioritas!

Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:

“…kami  sangat  heran  terhadap  konsentrasi  yang  diberikan  oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai’ yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan  inti  dan  ruhnya.  Perkara-perkara  ini,  bagaimanapun,  tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.”

Dengan tegas beliau menyatakan:

“Saya sendiri memperhatikan dengan amat menyayangkan bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya Saya tidak berkata mereka semuanya– mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan  memberikan hak kepada orang  yang  harus memilikinya, kasih- sayang   terhadap   makhluk   Allah,   apalagi   terhadap   yang   lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.”

Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis.  Dan  kita  dianjurkan  dapat  memilah  mana  yang  kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Dikutip dari .https://nadirhosen.net/tsaqofah/aqidah/208-kesalehan- ritual-dan-kesalehan-sosial.