TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KHR. AS’AD SYAMSUL ARIFIN
SITUBONDO JAWA TIMUR
WAFAT: 1410 H / 1990 M

 

SENTRAL KEMBALINYA NU KE KHITTAH

Munas itu diselenggarakan pada bulan Desember 1983 di Pesantren Sukorejo. Forum pertemuan para Ulama NU itu dimanfaatkan untuk membicarakan secara intens tekad untuk kembali ke Khittah 1926. Selain itu juga dibicarakan mengenai masuknya Pancasila sebagai asas organisasi NU dalam AD/ART.

Munas itu boleh dikata berjalan mulus. Selepas acara Munas, Kiai As’ad tetap menjadi buah bibir sampai terselenggaranya Muktamar NU ke-27, setahun kemudian, di tempat yang sama. Selain Presiden Soeharto, tidak kurang dari sebelas orang menteri dan pejabat tinggi negara hadir ke “sarang” Kiai As’ad. Dalam acara tersebut, hampir tidak ada yang mengingkari peran Kiai As’ad dalam menghadirkan sekian banyak petinggi negara itu. Dan dalam forum muktamar inilah keputusan NU kembali ke khittah 1926 ditetapkan. Dan atas peristiwa tersebut, banyak kalangan yang kemudian menilai bahwa itu adalah representasi dan kepemimpinan para ulama.

Kemudian, berkaitan dengan peran Kiai As’ad dalam mengatasi masalah ideologi Pancasila, Kiai As’ad bukan hanya sebatas menyetujui. Sebab ketika ribut-ribut soal buku PMP (Pelajaran Moral Pancasila), tanpa banyak bicara, Kiai As’ad langsung menemui Presiden dan berkata “Buku PMP itu tidak merusak akidah umat Islam, Pak,” kata Kiai As’ad sambil menunjuk beberapa contoh yang seharusnya dikoreksi. Dan respon Presiden ketika ini adalah berjanji bahwa dirinya akan meninjau kembali buku tersebut. Akhirnya buku itu diperbaiki.

Atas intensitas Kiai As’ad dalam menemui pejabat tinggi pemerintah atau bahkan langsung mendatangi Presiden untuk menyelesaikan berbagai masalah, maka banyak para pengamat menilai bahwa sosok Kiai As’ad adalah salah seorang dari sekian ulama yang pandai dalam menjembatani ketegangan antara pemerintah dan umat Islam, melalui NU.

 

SENTRAL PENERIMAAN ASAS TUNGGAL

Kiai As’ad merupakan salah satunya orang yang ditunjuk oleh Muktamar NU ke-27 untuk menyusun Ahl al-Halli Wal al-Aqli dan selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU. Setelah NU kembali ke khittah 1926, dimana Abdurrahman Wahid menjabat ketua umum PBNU untuk pertama kalinya, Kiai As’ad bersama Ulama sesepuh lain seperti KH. Ali Ma’sum, KH. Mahrus Ali, dan KH. Ahmad Shiddiq dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit di tubuh NU saat itu. Penerimaan NU atas pancasila sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UUD keormasan, yang dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo adalah tidak terlepas dari pengaruh Kiai As’ad. Demikian juga dengan tekad NU untuk kembali ke khittah yang agaknya juga luput dari gagasan Kiai As’ad meskipun dalam praktiknya dimainkan bersama kiai-kiai yang lain.

 

KETOKOHANNYA

Kiai As’ad merupakan kiai desa yang popularitasnya telah membelah semesta Indonesia. Sekalipun tinggal di dusun tepatnya Dusun Sukorejo Asembagus Situbondo, resonansi Kiai As’ad kerap menggelar di langit-langit percaturan nasional. Misalnya, tatkala kebanyakan ormas Islam menolak Pancasila, Kiai As’ad bersama kiai NU yang lain, seperti Kiai Ahmad Siddiq dan Kiai Ali Ma’sum, dengan lantang tampil sebagai penerima utama Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif penolakannya terhadap Pancasila dengan tegas Kiai As’ad mengatakan bahwa secara substantif  Pancasila tidak bertentangan dengan nilai al-Qur’an dan As-Sunnah. “Walaupun tidak secara eksplisit al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mencantumkan sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana,” demikian Kiai As’ad.

Atas sikap dan pendiriannya itu, Kiai As’ad telah menerima berbagai kritik keras dan beberapa tokoh Islam. Berpuluh-puluh surat kaleng berisi cercaan dan hinaan terhadap diri Kiai As’ad mengalir dengan deras ke rumah kediamannya. Bahkan, Kiai As’ad pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa orang yang mengklaim sebagai pembela dan pejuang Islam. Terhadap semua  itu, biasanya Kiai As’ad menanggapinya dengan senyuman ramah sembari mengatakan bahwa, ‘kesabaran adalah persyaratan mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin”. Singkat kata, Kiai As’ad telah mengorbankan nyawa atas Pancasila sebagai ideologi nasional dan satu-satunya asas di Indonesia.

 

KRISIS KEPEMIMPINAN SEMAKIN BERGABUNG 

Waktu itu statement tentang krisis kepemimpinan umat semakin bergaung. Krisis itu dirasakan karena adanya gugatan-gugatan tentang keabsahan Islam sebagai kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, ide yang jelas dan organisasi yang kuat untuk memperjuangkan ide itu.

Itu sebabnya sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya warga NU, dengan ikhlas memberikan dukungan dan kerjasama demi terciptanya cita-cita diatas. Ini terlihat ketika Kiai As’ad bertekad membenahi NU, organisasi terbesar di Indonesia. Berbagai lapisan umat Islam, yang kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata semuanya memberikan dukungan baik moral maupun material, kepada Kiai As’ad khususnya ketika Munas dan Muktamar NU. Di lain pihak Kiai As’ad pun menunjukkan antusiasme dan pengabdiannya yang begitu besar dalam sisa usianya itu kepada para pendukungnya.

Dengan sikap dan perilaku kepemimpinan serta kehidupannya yang terkesan sangat sederhana dan bersahaja itu, tidak berlebihan kalau masyarakat menerima Kiai As’ad sebagai pemimpin yang kharismatik. Seorang pemimpin yang kharismatik biasanya diyakini mempunyai kehebatan tertentu. Tentang “kehebatan-kehebatan” Kiai As’ad banyak orang yang sudah mafhum. Di masa mudanya Kiai As’ad dikenal sebagai jagoan. Bersama Kiai Ibrahim, ayahnya, Kiai As’ad menundukkan bromocorah dan binatang buas yang mengganggu lingkungan pesantrennya, yang pada saat itu masih berupa hutan lebat.

Kiai As’ad juga diyakini orang yang weruh sakdurungi winara (tahu sebelum terjadi) terhadap peristiwa-peristiwa tertentu. Selain itu, Kiai As’ad diyakini oleh kalangan pengikutnya memiliki berbagai kehebatan misalnya, bisa melihat beberapa tempat dalam waktu yang sama, mampu mengambil ikan di kolam tanpa menggunakan pancing atau jala, serta kehebatan-kehebatan lainnya yang tidak semua orang menguasainya.

Atas semuanya itu dan didukung oleh pesonanya yang sangat besar, maka pada pemilihan pengurus baru PBNU di Muktamar Situbondo, Kiai As’ad dipilih sebagai Alh Halli wal Aqdli secara aklamasi. Pembentukan pengurus PBNU melalui Alh Halli wal Aqdli adalah sistem pemilihan Islam yang hanya diberlakukan pada Muktamar Situbondo itu. Dan untuk menjalankan tugasnya dalam membentuk kepengurusan, Kiai As’ad menunjuk beberapa orang sebagai anggota, yaitu Kiai Ali Ma’sum, Kiai Masykur, KH. Syansuri Badawi, KH. Ali Hasan Ahmad, KH. Ramli dan KH. Roffi Mahfud. Dalam kepengurusan yang dibentuk oleh Kiai As’ad dan kiai-kiai yang tersebut dimuka, KH. Ahmad Siddiq dan H. Abdurrahman Wahid muncul sebagai orang yang duduk di puncak kepemimpinan, yaitu sebagai Rais ‘Aam PBNU dan Ketua Tanfidziah PBNU.

 

WAFAT

Setelah sempat dua hari dirawat di RSI (Rumah Sakit Islam) Surabaya, Kiai As’ad kemudian dibawa pulang kembali. Akan tetapi, selang beberapa hari kiai As’ad jatuh, (selama delapan belas jam) dan ditrengah masa komanya itu, akhirnya kiai As’ad diusianya yang ke-95 berpulang ke Rahmatullah dikediamannya, yaitu dipondok pesantren Salafiyah Sukorejo Asembagus Situbondo, pukul 07.25 WIB hari Sabtu, tanggal 14 Agustus 1990. Jenazahnya dimakamkan dipemakaman keluarga, sebelah kanan Masjid Jami’ Sukorejo bersebelahan dengan makam ayahnya, Kiai H. Syamsul Arifin.

 

Dikutip dari:  Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)