TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. AS’AD SYAMSUL ARIFIN
SITUBONDO JAWA TIMUR
WAFAT: 1410 H / 1990 M

PEMBELAANNYA TERHADAP SISTEM MADZHAB

Dalam paham keagamaan, pemikiran yang paling mendasar dari Kiai As’ad adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem mazhab. Inilah pandangan yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah. Paham ini timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah secara benar. Karena dalam sejarahnya, berbagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu sering menimbulkan perselisihan pendapat.

Bahkan setelah Rasulullah SAW wafat, perselisihan tersebut sudah mulai meruncing. Tepatnya, sesudah kekuasaan tasyri’ dikendalikan para sahabat, perselisihan itu timbul dan tidak mungkin lagi dihindari. Perselisihan pendapat ini kemudian melahirkan para pemikir besar (Mujtahid) dalam bidang keagamaan. Karena jumlah mujtahid itu sangat banyak dan pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, maka Kiai As’ad menyimpulkan untuk mengikuti madzhab yang empat. Menurut Kiai As’ad sebenarnya bukan hanya empat madzhab saja yang boleh diikuti oleh umat Islam. Madzhab lain, seperti Sofÿan al-Tsauri, Isqak bin Rahaweh, dan Daud al-Zahiri, juga boleh diikuti, Akan tetapi kata pimpinan pesantren Sukorejo ini ada alasan yang kuat untuk tidak mengikuti pendapat mereka yaitu, Literatur yang memuat pikiran-pikiran mereka tidak banyak, antara lain karena tidak terkoordinasi secara baik sehingga mata ramai pemikiran mereka putus. Mengikuti pendapat mereka dikhawatirkan menyimpang dan pendapat pendirinya, karena tidak adanya pelestarian kodifikasi tadi.

Bagi seorang muslim yang mampu melakukan ijtihad, tegas Kiai As’ad diharapkan. Namun bagi mereka yang mau melakukan ijtihad berlaku syarat-syarat yang ketat. Sementara bagi mereka yang tidak mampu melakukan ijtihad, silahkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau ‘alim. Dalam konteks ini, Kiai As’ad mengutip sebuah adagium: man qallada aliman Iaqiya saliman.

 

SEJALAN DENGAN DOKTRIN POLITIK SUNNI

Sedangkan pada pemikiran politik, Kiai As’ad tampaknya sejalan saja dengan doktrin politik sunni, sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali. Pada dasarnya, doktrin ini sangat akomodatif terhadap penguasa.

Hal ini dikarenakan doktrin ini dirumuskan pada posisi rakyat sangat lemah vis a vis penguasa (khalifah), sehingga rakyat diminta untuk patuh dan taat terhadap penguasa. Dengan pemahaman ini, kita dapat memaklumi mengapa, misalnya, beberapa tokoh NU termasuk pula Kiai As’ad dalam beberapa hal terkesan sangat akomodatif terhadap  pemerintah.

 

KRITIK TERHADAP MODERNISME

Kiai As’ad seringkali melancarkan kritik terhadap modernisme yang lebih memandang rasio sebagai segalanya. Salah satu kritik tajam yang dilontarkan Kiai As’ad terhadap manusia modern adalah mengenai kehampaan spiritual. Kemajuan pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad ke-18 kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek-nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya digali dari sumber wahyu ilahi. Kini, kata Kiai As’ad, banyak orang pintar yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri.

 

SANGAT MENDALAMI THARIQAH

Pada spektrum yang lain, Kiai As’ad juga sangat mendalami ilmu tarekat. Menurut pengakuannya, ada 40 tarekat yang sudah dìpelajarinya secara mendalam. Dan masing-masing aliran, Kiai As’ad mendapat ijazah untuk mengamalkan dan mengajarkan sebagai mursyid. Dari sekian banyak aliran thariqah, menurut Kiai As’ad hanya ada 2 aliran yang musalsal (mempunyai silsilah sampai pada Nabi). Yaitu Thariqah Naqsyabandiyah dan Qadiniyah. Kedua aliran thariqah inilah yang kemudian diamalkan Kiai As’ad sampai wafat.

Meski menganut tarekat yang taat, ia tidak pernah mengajak santrinya untuk mempelajari dan mengamalkan ilmu tarekat, lebih-lebih mengajarkannya, ia memandang bahwa tarekat memiliki konsekuensì yang cukup berat. Bagi orang yang imannya belum cukup kuat, ilmu agamanya belum luas, dan belum cukup usia bisa tersesat dalam kemusyrikan. Karena itu ia berpesan: “hati-hatilah mengikuti thariqah”.

Dalam beberapa forum, baik dengan para santrinya yang masih aktif maupun dengan para alumninya yang sudah pulang, Kiai As’ad sering menjelaskan bahwa tarekat yang paling baik adalah Nahdlatul Ulama. Lebih jauh, ia berharap kepada para santrinya tatkala sudah pulang ke kampung halamannya untuk menjadikan NU sebagai tarekat perjuangan. Tidak jarang, ia melarang para santrinya untuk mengamalkan tarekat tertentu. “tarekat saya adalah NU” ujarnya suatu waktu.

 

TIDAK SEMUA THARIQAH MENGIKUTI SYARI’AT

Walaupun Kiai As’ad seorang pengamal tarekat, ia tidak segan-segan mengkritik bidang tarekat juga. Tarekat sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah jelas tidak ditentang oleh Kiai As’ad. Tapi jelas pula, di mata Kiai As’ad tidak semua tarekat berjalan sesuai dengan tuntunan syari’at. Karena itu, Kiai As’ad memperjelas duduk masalah secara benar dan baik dalam berbagai ceramahnya maupun buku-buku yang ditulisnya.

Salah satu tarekat yang menjadi sasaran kritik Kiai As’ad adalah tarekat Tijaniyyah. Menurut Martin Van Brusiness, Kiai As’ad merasa gusar ketika merasakan kemajuan tarekat  Tijaniyyah. Oleh sebab itu, dengan menggunakan seluruh pengaruh yang dapat ia kerahkan, Kiai As’ad melawannya walaupun dengan berhadap-hadapan. Kiai As’ad sendiri mendapatkan sebuah dokumen atau risalah anti Tijaniyyah yang telah memainkan peranan penting dalam polemik tahun 1920 dan mencetaknya kembali serta menyebarkan secara luas, baik dalam bentuk aslinya yang berbahasa arab maupun dalam terjemahan yang berbahasa Madura.

 

ZUHUD DAN SEDERHANA

Tempat tinggal Kiai As’ad adalah sebuah rumah yang sederhana di lingkungan perumahan keluarga pengasuh pesantren. Dan memang demikianlah Kiai As’ad. Meskipun ia adalah pimpinan tertinggi di pesantren tersebut, rumahnya, bahkan bila dibandingkan dengan bangunan tempat tinggal santri sekalipun, maka rumah Kiai As’ad adalah rumah yang cukup jauh dari kata mewah. Bangunan kamar-kamar untuk santri dan delapan puluhan bangunan lainnya yang dibuat dari tembok terkesan cukup mewah dan modern. Sementara rumah yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen dengan ukuran kurang lebih 3 x 6 meter. Singgasana Kiai As’ad hanyalah amben (ranjang tidur) yang dialasi tikar pandan dalam ruang dan lantai dari tanah. Disitulah Kiai As’ad menerima tamu dan tidur. Pakaian kebesaran yang dikenakan dalam segala situasi dan kondisi pun tetap, terdiri atas baju piyama putih, sarung pelekat putih, kopyah putih dan sandal selop.

Kesederhanaan sudah menjadi pilihan hidup Kiai As’ad. Padahal kekayaannya boleh dibilang melimpah ruah. Di kota Situbondo dan Asembagus, Kiai As’ad memiliki tujuh buah toko yang cukup besar. Di kawasan Wisata Pasir Putih, Kiai As’ad memiliki restoran yang laris. Begitu pun di Bali, tepatnya di Negara, ia juga mempunyai sebuah restoran. Di Mekkah, tempatnya menuntut ilmu, ia juga mempunyai rumah berlantai tujuh yang setiap musim haji disewakan sebagai penginapan jamaah haji. Belum lagi sawah, tambak, dan perahunya yang berada di berbagai tempat sekitar Situbondo, Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.

Kalau saja kendaraan Kiai As’ad bukanlah sedan Toyota Corona keluaran terbaru, orang tidak ada yang tahu bahwa Kiai As’ad adalah konglomerat. Namun kendaraan itu ibarat langit dan bumi dengan pakaiannya, bukan untuk gagah gagahan atau mengkhianati kesederhanaannya. Usianya yang uzur membutuhkan kendaraan yang nyaman untuk mengantarkannya bepergian.

 

KESADARAN BERNEGARA

Pada waktu itu, suhu politik nasional sangat memanas. Penyulutnya dimulai dari ide Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin yang dicetuskan pada Februari 1957. Tak lama kemudian tepatnya November 1957, majelis konstituante membentuk panitia perumusan dasar negara yang terdiri 18 orang mewakili semua kelompok yang ada dalam badan tersebut. Tepat pada tanggal 12 November 1957, Muhammad Natsir mengkritik paham Soekarno tentang ketuhanan yang maha esa sebagai sekularisasi dan Marxisme.

Akibatnya, perdebatan dalam majelis semakin seru, sehingga Soewirjo, Ketua Umum PNI waktu itu, menganjurkan untuk mencari titik temu antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Pada tanggal 6 Desember 1957, panitia perumus dasar negara melaporkan kepada sidang paripurna konstituante yang berisi antara kedua belah pihak untuk mencari titik-titik persamaan mengenai dasar negara.

Singkatnya perbedaan pendapat sulit dipertemukan. Sehingga pada tanggal 30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959, diadakan pemungutan suara atas usul kabinet untuk kembali ke UUD 1945, tanpa perubahan apapun. Dalam pemungutan suara pada tanggal 30 Mei 1959 itu, sebanyak 269 setuju dan 199 menolak. Pada 1 Juni 1959 berhasil mengumpulkan suara 264 setuju dan 204 menolak. Sedangkan hasil pemungutan suara 2 Juni 1959, 263 setuju dan 204 menolak. Namun hasil-hasil itupun ditolak oleh majelis konstituante, karena tidak mencapai 2/3 suara dari jumlah yang hadir. Akhirnya, pada 5 Juni 1959 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang isinya kembali ke UUD 1945 dan pembubaran konstituante.

Dari cuplikan kronologi sidang Majelis Konstituante tersebut memang tergambar betapa panasnya suhu politik waktu itu. Ada benarnya jika Kiai As’ad mengaku kurang tertarik menghadiri sidang, kecuali hanya dua kali. Karena menurut pengakuannya, jauh hari sebelum sidang, ia memprediksikan bahwa Majelis Konstituante akan gagal merumuskan dasar negara. Kiai As’ad tampaknya lebih memilih memonitor dari jauh untuk menyambut dekrit kembali ke UUD 1945.

 

Bersambung!

D kutipan dari:  Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)