TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. A. WAHID HASYIM
TEBUIRENG JOMBANG JAWA TIMUR
Wafat: 1373 H / 1953


KELAHIR
A
N DAN KETURUNAN

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kiai llyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jum’at Legi, Rabi’ul Awal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai  dengan pengajian.

Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir , tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Bila dirunut lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.

Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikarunia empat putera, yakni Abdul Kadìr, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub. 

 

NYAI HASYIM MEMENUHI NADZARNYA  

Sewaktu mengandung putra kelimanya ini, kondisi kesehatan Ny. Nafiqah agak memburuk, badannya lemah dan sering sakit-sakitan. Karena itu, suatu hari Nyai Nafiqah bernadzar, “Jika nanti bayi yang aku kandung ini lahir dengan selamat, ia akan aku bawa ke guru ayahnya (KH. Kholil peny.) di Madura”.

Nadzar itu benar-benar ia penuhi. Ketika berusia tiga bulan, bayi Abdul Wahid oleh ibunya dibawa ke Bangkalan Madura, untuk dipertemukan dengan KH. Kholil. Nyai Nafiqah ditemani Mbah Abu.

Setibanya di kediaman Mbah KholiI, sebutan populer KH. Kholil, terjadi suatu pengalaman spiritual untuk pertama kali dalam bayi Abdul Wahid, Ketika itu hari merangkak malam, cuaca semakin buruk, hujan turun disertai sambaran petir. Anehnya, dalam suasana seperti itu Nyai Nafiqah beserta bayinya tidak diperkenankan masuk rumah. Oleh tuan rumah, malahan ia diminta untuk tetap berada di halaman sudah tentu mereka harus berhujan-hujan. Kasihan melihat bayinya menggigil diterpa air hujan. Nyai Nafiqah mencoba menempatkan bayinya di emperan rumah biar tidak kehujanan. Sambil menaruh bayi Abdul Wahid di bawah emperan, Nyai Nafiqah tak henti-henti berucap, “Lailaha illa anta, ya hayyu yaqayyum (tidak ada Tuhan melainkan Engkau, wahai Tuhan yang menjaga dan menghidupkan)”. Tahu hal ini, Mbah KholiI marah dan memintanya agar bayi itu dibawa ke tengah halaman. Nyai Nafiqah menurut saja perintah itu. Dan akhirnya, Mbah Kholil minta kepada Nyai Nafiqah agar segera meninggalkan tempat itu.

Tidak ada pilihan lain, Nyai Nafiqah pun pulang ke Jombang dengan seribu tanda tanya yang tidak terjawabkan ketika itu, kenapa Mbah Kholil berbuat seperti itu. Rupanya kejadian di luar kebiasaan itu menjadi salah satu pertanda bahwa Abdul Wahid kelak akan menjadi orang yang tergolong luar biasa. Dan ternyata hal itu terbukti di kemudian hari.

 

MONDOK HANYA BEBERAPA HARI  

KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai terkenal yang sangat disiplin dalam memimpin. Kepemimpinannya sangat efektif dan unggul sehingga sebagian besar orang yang dipimpinnya menjadi ”orang” di kemudian hari. Hampir semua kiai kenamaan pengasuh pesantren pada dekade 40-an sampai 70-an pernah berguru pada KH. Hasyim Asy’ari. Ia juga berjiwa demokratis. Kedisiplinan dalam memimpin dan sikap demokrasinya nampak menonjol dalam kehidupan keluarga, terutama dalam rnendidik putra-putrinya. Sebagai ulama besar ia mengharapkan purta-putrinya bisa mengikuti jejaknya dan berkembang menjadi generasi yang berpengetahuan luas, khususnya dalam ilmu agama. Untuk itulah suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian rupa sehingga mendukung proses pembelajaran seluruh anggota keluarganya.

Sejak dini putra-putrinya diperkenalkan dengan pengetahuan agama Islam dan dibebaskan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan bagi purta-putrinya, sebab secara ekonomi ia tergolong mampu untuk ukuran saat ini. Dalam suasana seperti itulah Abdul Wahid tumbuh dan berkembang. Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan malah sudah khatam al-Our’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren, tebuireng. Pada usia 12 tahun setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak usianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengeyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Tenyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan oleh Abdul Wahid hanyalah keberkahan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari dimana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kiai? Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik Pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf Latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

 

MENERAPKAN SISTEM MADRASAH KE DALAM SISTEM PESANTREN

Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan Siffir Awwal dan Siffir Tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada Siffir Awwal dan Siffir Tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan ilmu bumi. Pada 1926, KH. Muhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

 

BERANGKAT KE MEKKAH

Pada tahun l932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad llyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. la menguasai bahasa tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, lnggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat memperlajari berbagai buku dan tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dan Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

 

MENIKAH
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syamsuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunia enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua umum PP Muslimat NU, 1995- 2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insiyur lulusan ITB/pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Bersambung !

Dikutip dari : Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)