TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

Lanjutan .

KH. A. WAHID HASYIM
TEBUIRENG JOMBANG JAWA TIMUR
Wafat: 1373 H / 1953

 

HUBUNGAN ANTAR UMMAT BERAGAMA

Menyinggung hubungan antar umat beragama, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa, manusia muslim seharusnya mampu mengemong seluruh masyarakat dengan mengesampingkan latar belakangnya. Manusia muslim tidak boleh hanya mementingkan kepentingan umat Islam, sementara pada saat yang sama merugikan pemeluk agama lain. Selain itu, Wahid Hasyim juga menjelaskan kedudukan manusia di dunia. Sebagaimana pemikiran muslim lainnya, Wahid Hasyim berpendapat bahwa, kedudukan manusia adalah khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah di bumi, manusia dengan bekal yang telah diberikan Allah berupa jasmani, rohani dan akal sejatinya menyuruh manusia untuk memperlakukan alam dengan tepat. Di samping itu. Sebagai makhluk sosial manusia hendaknya menghindari hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Sedangkan sebagai makhluk individu, manusia muslim harus mampu menghidupi diri sendiri. Artinya, setiap manusia harus mampu membekali dirinya dengan keterampilan yang bersifat praktis, sebagai bekal alam mengarungi kehidupannya. Bila dicermati, gagasan Wãhid Hasyim di atas terbentuk karena beberapa faktor, seperti lingkungan pendidikan pesantren, situasi penjajah Belanda dan Jepang, dan latar belakang pendidikannya. Kehidupan pesantren memiliki dampak yang cukup kuat terhadap setiap santri, termasuk Wahid Hasyim. Doktrin-doktrin pesantren yang sarat nuansa keagamaan begitu kuat membentuk religiusitas Wahid Hasyim dalam menapaki karirnya, termasuk dalam melahirkan gagasannya.

 

PENDIRI IKPI

Untuk mengorganisasikan kegiatan para pemuda, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) tahun 1936. Ia sendiri yang menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

 

MENJADI SEKRETARÌS RANTING NU TEBUIRENG

Sejak tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan perhatian pada kegiatan-kegiatan NU. Karirnya di NU dimulai dari bawah, yaitu sebagai sekretaris pengurus ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemudian dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU yang berkedudukan di Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950

 

MENJADI KETUA MIAI PERIODE KEDUA, KETUA MASYUMI

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru itu bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, seperti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama MIAI lebih banyak didorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Meski tidak terlalu banyak berpengaruh di mata Belanda, namun MIAI mengantarkan banyak tokoh Islam dalam panggung politik, yang pada periode berikutnya, pada masa pendudukan Jepang, pertama politik Islam itu terasa lebih menonjol. Organisasi federasi baru bernama Masyumi, lebih artikulatif daripada MIAI. Memang kebijaksanaan Jepang atas Islam jauh berbeda daripada Belanda. Jika Belanda lebih mengutamakan pendekatan kepada elite Islam, maka Jepang lebih merangkul masa Islam, Pesantren, dengan demikian, mendapat perhatian khusus.

Karena itu, wajar Masyumi tidak terlepas dari peranan Pesantren Tebuireng. Pesantren ini seakan menjadi pusat pusaran gerakan politik Islam setelah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren tersebut, ditunjuk sebagai Ketua Masyumi dan oleh Jepang diserahi memimpin pusat Kantor Urusan Agama Islam (Shumubu).

Pada tahun 1930 ketika Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri. Keputusan itu diambilnya sesuai konferensi MIAI dan Konggres Muslimin Indonesia III yang hangat membicarakan perbedaan paham antara GAPI dan MIAI Mengenai Indonesia berparlemen serta milisi dan transfustasi darah. Pendapat lain mengemukakan, bahwa alasan pengunduran
diri Wahid Hasyim adalah panggilan ayahnya untuk pulang dan memimpin Pondok Pesantren Tebuireng, karena ayahnya merasa tidak mampu lagi.

Wahid Hasyim pernah aktif di Masyumi dan menerbitkan majalah Suara Muslimin Indonesia. Isinya kebanyakan berupa himbauan kepada para pemuda untuk mengobarkan semangat jihad dan peperangan melawan Jepang. Di samping itu, Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BIN) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum.

Di zaman revolusi kemerdekaan, selain menjadi ajang penggemblengan PETA, Pondok Pesantren Buntet juga menjadi basis Hisbullah dan Sabilillah.

Bila pasukan Sabilillah berdiri dari kalangan orang tua maka Laskar Hizbullah adalah wadah perjuangan generasi muda Islam dalam melawan dan mengusir penjajah.

Kehandalan daya tempur pasukan Sabilillah dan Laskar Hizbullah diperoleh saat mengikuti latihan berat pendidikan dan penggemblengan PETA (Pembela Tanah Air) di daerah Cibasura.

 

BOYONG KE JAKARTA

Pada akhir tahun 1944, Wahid Hasyim memboyong keluarganya pindah ke Jakarta. Sejak itu perhatiannya tercurah sepenuhnya untuk kegiatan politik. Karirnya dalam bidang politik berawal dari kedudukannya sebagai Ketua II
Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi) tahun 1945. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusuma dan Mr. Kasman Singodimejo. Partai Masyumi ketika ini dinyatakan sebagai satu-satunya Partai politik Islam di Indonesia.

 

PENDIRI STI JAKARTA

Selain mengadakan gerakan politik, melalui majelis ini KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakir.

 

MEMBEBASKAN NEGARA DARI PENJAJAHAN

Setelah janji kemerdekaan Indonesia dan pemerintah Jepang tak pernah dipenuhi, maka pada bulan Oktober 1944 tokoh ulama dari intelektual muda NU sekaligus perumus Pancasila, KH. A. Wahid Hasyim, menganjurkan kepada umat Islam untuk siap membebaskan negara, bangsa dan agama dan penjajahan. Diperingatkan bahwa kita bangsa Indonesia menjadi terpecah-belah sebagai akibat dari penjajahan Belanda.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Jakarta, maka pada tanggal 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan revoIusi Jihad untuk mempertahankan tanah air, bangsa dan agama. Resolusi Jihad NU berisi permohonan kepada pemerintah RI supaya menentukan sikap dan tindakan nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Pemerintah hendaknya juga memerintahkan kepada umat Islam untuk melanjutkan perjuangan bersifat Sabilillah untuk tegaknya negara RI dan agama Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

– Pemerintah Republik Indonesia belum menentukan sikap bagaimana seharusnya menghadapi kembalinya penjajah Belanda

– Kondisi umat Islam dalam keadaan ready for use atau dalam keadaan siap tempur.
Gaung revolusi jihad mampu mendidihkan darah perjuangan arek-arek (anak muda) Surabaya, Madura dan sekitarnya, membangkitkan semangat tempurnya (fighting spirit) untuk melawan secara all out dengan gigih terhadap tentara Inggris (pasukan sekutu) pada tanggal 10 November 1945. Tanggal tersebut kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Ketika Bung Tomo berkonsultasi dengan KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris, KH. Hasyim Asy’ari menjawab, “Tunggu dulu singa Jawa Barat belum datang” Baru diketahui kemudian, bahwa yang dimaksudkan adalah KH. Abbas dan Pesantren Buntet.

KH. Abbas datang ke Surabaya bersama dengan KH. Anas dan santri pilihannya. Atas restu KH. Hasyim, akhirnya berangkatlah Bung Tomo KH. Abbas dan lainnya tempur melawan tentara lnggris.

 

DUDUK DALAM KABINET

Pada tanggal 20 Desernber 1949 KH. Abd. Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode Kabinet Nasir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir pada tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950, ia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Narsir dan Kabinet Sukiman. Salah satu jasa besarnya dalam kementrian agama adalah mengadakan konferensi besar di Yogyakarta pada tanggal 14-18 April 1950 untuk mempersatukan kembali kementrian, departemen dan jawatan-jawatan agama dan negara-negara bagian yang didirikan Belanda dan seluruh daerah di Indonesia. Selain itu,  juga pernah mengeluarkan tiga buah keputusan yang pada tahun-tahun selanjutnya mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia: (1) Atas usul Wahid Hasyim sebagai menteri agama, kabinet rnengeluarkan Peraturan Pemerintah tanggal 20 Januari 1951 yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama dalam lingkungan sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta; (2) Ia mendirikan sekolah guru dan hakim agama di Malang, Banda Aceh, Bandung, Bukit Tinggi, dan Yogyakarta; dan (3) Ia mendirikan pendidikan guru agama negeri di Tanjung Pinang, Bandung, Pamekasan dan Salatiga.

Selama menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim melihat tanda-tanda munculnya sikap manja di kalangan umat Islam, suatu sikap yang sangat tidak ia sukai, Umat Islam sering terlalu rnengadalkan support dari para pejabat yang beragama Islam, terutama Menteri Agama. Dalam pandangan Wahid Hasyim, sikap seperti ini lambat laun akan rnenyebabkan menurunnya semangat berusaha dan kurangnya rasa percaya diri. Merasa punya menteri, dalam banyak hal umat Islam rnenjadi manja. Memang ini dirasa cukup dilematis. Jika kebutuhan umat Islam tidak dipenuhi, akan menimbulkan perasaan tidak senang dan kalangan umat Islam. Apalagi secara objektif kondisinya memang perlu dibantu. Tetapi bila setiap kebutuhan terus menerus dipenuhi, dikhawatirkan akan menimbulkan sikap manja dan melemahnya semangat kemandiriaan.

Pada suatu waktu, KH. Abdul Wahid Hasyim mengeluhkan perasaan gundahnya itu kepada KH. Saifuddin Zuhri. “Apa saya tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada umat ini?”, ujar Wahid Hasyim dengan nada bertanya.
Kenapa? “Sejak dahulu umat Islam tidak pernah mendapat bantuan materiil atau moral dari Pemerintah Hindia Belanda. Umat memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang demikian besar. Dengan kemampuan sendiri, dengan semangat gotong-royong, mereka mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan untuk kepentingan agama dan lainnya. Tapi kini setelah merasakan bantuan Departemen Agama, mereka menjadi manja”, katanya.

“Bukankah sudah selayaknya Depatermen Agama membantu umat Islam, umat yang selama ini serba terbelakang?” kata KH. Saifuddin Zuhri menimpali membantu memang harus, tetapi kalau menyebabkan manja”, tuturnya setengah uringan-uringan. Tak mau kalah, Saifuddin Zubri balik bertanya, “Lha, yang selama ini membantu siapa? Kan sampeyan sendiri Menteri Agama pertama yang melakukan kebijaksanaan memberikan bantuan,”, “Thayyib, benar, memang saya akui. Sebab itu tadi saya menanyakan kepada ente, apa saya salah memberikan bantuan keuangan kepada umat Islam. Pertanyaan saya itu seperti self correctie, kritik diri”, ujarnya.

 

PENDIRI PTAIN

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: (1) Mendirikan Jam’iyah al-Quran’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; (2) Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; (3) Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan (4) Menyetujui berdirinya perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam Kementerian Agama.

Kapasitasnya sebagai Menteri Agama dimanfaatkannya untuk membantu mengembangkan pendidikan Islam, khususnya pesantren. Perhatiannya terhadap Islam terlihat misalnya, pada kebijakan tentang keharusan pelajaran agama disampaikan di semua jenis dan jenjang pendidikan nasional. Sedangkan perhatiannya terhadap pesantren adalah dengan memberikan bantuan dana dan tenaga administrasi bagi pengembangan pendidikan pesantren. Bantuan dana dan tenaga administrasi inilah yang pada tahap selanjutnya memunculkan madrasah-madrasah di pesantren. Sumbangannya yang demikian besar itu sudah seharusnya dikenang, diteladani, dan tentu saja díbenahi kembali seiring dengan perkembangan zaman.

 

PENDIRI LIGA MUSLIMIN INDONESIA

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, partai Syarikat Islam Indonesia  (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti), dan Darul dawah Wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan II Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua Il.

Liga Muslimin Indonesia adalah suatu badan federasi dan berbagai partai Islam di Indonesia. Partai-partai itu antara lain adalah Nahdlarul Ulama (NU), partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Liga Muslimin didirikan pada hari Sabtu, 30 Agustus 1952  (9 Dzulhijjah 1371 H).

Liga Muslimin didirikan atas prakarsa NU yang kemudian didukung oleh PSH dan PERTI. Pembentukan liga ini dilatarbelakangi rasa kecewa unsur NU Partai Masyumi atas beberapa kebijakan politik partai yang diputuskan oleh kelompok politisi dalam partai dan perubahan status Majelis Syura partai,  yang sebagian besar anggotanya berasal dari para ulama NU, menjadi badan Penasehat Partai. Kebijakan politik dan perubahan status ini dianggap sebagai upaya untuk memperkecil peranan dan kedudukan para ulama dalam partai. Puncak kekecewaan itu terjadi dengan dipilihnya Faqih Usman, yang bukan berasal dan unsur NU, sebagai Menteri Agama dalam kabinet Wilopo. Sebelum terbentuknya kabinet, pimpinan NU mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Masyumi agar Pos Menteri Agama diberikan pada NU. Namun dalam pemilihan, justru Faqih Usman yang terpilih. Segera setelah itu NU mengadakan rapat yang hasilnya adalah pemisahan NU secara organisatoris dari Masyumi.

Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim, selaku pimpinan NU, mengirim surat kepada Ketua Masyumi yang isinya menegaskan pemisahan NU dan Masyumi dan mengharapkan agar Masyumi dirubah bentuknya menjadi federasi. Karena dengan federasi ini, semua organisasi yang berdasarkan Islam dapat menjadi anggotanya tanpa menghilangkan identitas organisasi tersebut. Selain itu dengan federasi ini, Masyumi nantinya akan menjadi suatu wadah untuk mempersatukan segala potensi umat Islam dalam perjuangannya. Namun usul ini ditolak oleh Masyumi.

Untuk mewujudkan ide federasi ini, NU kemudian mengundang 17 organisasi Islam untuk membahas pembentukan federasi pada 23 Juli 1952. Namun dari sekian banyak organisasi yang hadir, hanya PSII dan PERTI saja yang mendukung ide federasi. Perlu dicatat, bahwa selain latar belakang kekecewaan NU terhadap kebijaksanaan Masyumi, terdapat motivasi lain yang semakin menguatkan NU untuk membentuk federasi Liga Muslimin. Motivasi itu adalah semakin dekatnya pemilu pertama, yang ternyata baru dapat dilaksanakan pada 1955 dan terbentuknya koalisi politik antara PNI dengan Masyumi di bawah Perdana Menteri Wilopo.

Pada 30 Agustus 1952 diresmikanlah berdirinya Liga Muslimin Indonesia yang diselenggarakan di gedung parlemen RI di jalan Pejambon (sekarang gedung Deplu), Jakarta. Pada peresmian ini masing-masing partai diwakili anggotanya NU diwakili oleh KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Chasbullah, Cokrosuyoso, Syahbuddin L.atif, Sudibio, dan Suharo. PERTI diwakili oleh H. Sirojuddi Abbas, H. Rush A. Wahid, H. Daniyah Ayyub, Syekh H. Ma’shum, dan H. Syamsiyah Ahbas.

Tujuan dari Liga Muslimin sebagaimana yang dirumuskan oleh Panitia Perumus Liga adalah untuk mencapai masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah. Selain itu, sasaran jangka panjang Liga dirumuskan untuk menciptakan sebuah negara yang subur dan makmur di bawah lindungan Allah Yang Maha Kasih.

Usaha-usaha kongkrit yang berhasil dilaksanakan oleh Liga selama masa aktifnya adalah dua hal, yaitu kegiatan politik dalam negeri dan perhatian terhadap masalah-masalah luar negeri. Kegiatan politik dalam negeri yang sudah dicapai Liga Muslimin adalah kegiatan dan langkah-langkah bersama dalam pembentukan kabinet sesudah kabinet Wilopo. Dalam kabinet baru ini beberapa tokoh dan Liga Muslimin berhasil menduduki pos-pos menteri. Selain dan kegiatan ini, Liga juga berhasil menggalang koalisi dengan beberapa partai lain, yaitu dengan PKI dan partai Nasionalis kecil dalam kabinet Mi Sastromijoyo. Sedang mengenai masalah-masalah luar negeri, Liga Muslimin antara lain sudah mengeluarkan pernyataan sikap terhadap masalah Tunisia dan Maroko yang ingin melepaskan diri dan kolonialisme Barat. Selain itu, Liga juga pernah mengirimkan sebuah misi persahabatan ke berbagai negara Islam, misi ini mengunjungi beberapa negara Islam di Timur Tengah, antara lain Pakistan, Mesir, Saudi Arabia, Libation, Syiria, Yordania, Irak dan Iran.

Delapan bulan setelah berdirinya Liga Muslimin, tokoh penggerak utamanya yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim meninggal dunia pada 19 April 1953 di Bandung. Dengan meninggalnya KH. Abdul Wahid Hasyim, Liga Muslimin mulai berkurang peranan politiknya. Hal ini disebabkan tidak adanya tokoh yang memiliki pandangan-pandangan yang dapat diterima secara luas baik dari kalangan cendekiawan berpendidikan Barat maupun yang berpendidikan pesantren. Demikian itu, ditambah lagi dengan tidak disiapkannya kader-kader sebagai penerus atau bahkan pengganti dan tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim. Maka sepeninggal Wahid Hasyim, peranan Liga Muslimin menjadi guncang. Akibatnya, Liga Muslimin
tidak lagi mampu memainkan peranan politiknya secara menonjol sebagaimana sebelumnya.

SEBAGAI KETUA UMUM PBNU

Sebenarnya jabatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Partai Nahdlatul Ulama waktu itu sebagai Ketua I Pengurus Besar. Ketika Muktamar ke- 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, jadi menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Alasan penolakannya antara lain untuk mematahkan isu-isu bahwa Jam’iyah NU bersikeras menjadi partai politik hanya karena ulah A. Wahid Hasyim yang “ngambek” berhubungan dengan Muhammad Natsir selaku Ketua Umum Masyumi karena tidak mendudukkannya sebagai Menteri Agama tatkala Ketua Masyumi itu diberi mandat Presiden Soekarno untuk membentuk kabinetnya. Padahal kasus pembentukan Kabinet Natsir itu hanya letupan terakhir dan rasa tidak puas NU yang mengendap selama 6 tahun terkait dengan tata organisasi dan kebijakan-kebijakan Masyumi yang berulangkali diusulkan Nahdltul Ulama untuk segera dilakukan perbaikan-perbaikan serta koreksi-koreksi, namun tidak ditangapi sebagimana mestinya.

Kemudian atas penolakan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka partai NU kemudian menonaktifkan KH. Masykur selaku Ketua Umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

 

 

Bersambung !

Dikutip dari : Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)