TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ALI MA’SUM
KRAPYAK YOGYAKARTA
WAFAT 1409 H / 1989 M

BABAK SEJARAH DALAM NU

Kepemimpinan KH. Ali Ma’sum beserta terjadinya proses menuju Muktamar ke-27 merupakan babak sejarah yang menarik dalam tubuh NU. Pertama, dalam pemilu 1982 dan disingkirkannya sebagian tokoh NU dalam PPP, maka muncullah keinginan meninggalkan PPP dalam Pemilu. Kiai Ali bertindak sigap melarang keinginan keluar dari PPP yang dianggap sangat emosional, sehingga NU tetap membela panji PPP.

Kedua, Kiai Ali bersama ulama lain seperti KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Ali dan KH. Maskur pada tanggal 2 Mei 1982 mendatangi Dr. KH. Idham Chalid selaku ketua umum PBNU dan meminta kesediaannya untuk mengundurkan diri. Dr. KH Idham Chalid saat itu bersedia menyatakan pengunduran dirinya. Dan kemudian  menarik ulang pernyataannya. Maka dari sejak itulah terjadi perpecahan dalam kepengurusan NU. Ada kelompok Idham (sayap politik) yang disebut kelompok Cipete, dan kelompok ulama (sayap Khittah) yang disebut kelompok Situbondo. Bagi Kiai Ali, pencabutan pengunduran diri Dr. KH. Idham Chalid dianggap tidak sah.

Meski dalam kondisi penuh ketegangan, roda organisasì NU tetap terus berjalan menuju perubahan yang lebih pasti. Pada tahun 1983, dilaksanakan Munas Alim Ulama di Situbondo yang menghasilkan konsep kembali ke Khittah 1926. Melalui proses yang matang dan pembahasan yang seru akhirnya ditetapkanlah konsepsi kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, secara konsepsional NU menyatakan independen, tidak ada hubungan secara formal maupun informal dengan kekuatan politik tertentu. Ini adalah perubahan besar mengingat NU merupakan partai politik terbesar yang berfungsi dalam PPP sehingga hal itu berdampak langsung pada perimbangan organisasi politik yang ada. Sedangkan penerimaan asas tunggal Pancasila merupakan langkah politik yang cukup bermakna dan segi pemantapan kehidupan politik nasional yang kemudian di ikuti oleh ormas-ormas Islam yang lain.

Muktamar Situbondo memang merupakan sejarah momentum perubahan bagi NU dan itu tak lepas dari peran Kiai Ali Ma’sum sebagai Rais ‘Aam. Meski demikian ia selalu berpesan bahwa yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah tindak lanjut dari hasil pemikiran dan perjuangan para pendahulu. Kita harus menghormati mereka karena al Fadhli al-Muhtadi wa in al-Ahsanah al-muqtadhi (keutamaan di tangan pendahulu meskipun pengikut berbuat baik). Saat itu pula jabatan Rais’Aam berpindah dan Kiai Ali Ma’sum ke KH. Ahmad Shiddiq bersama KH. R. As’ad Syamsul Arifin  dan beberapa tokoh ulama lain yang menduduki Mustasyar. Sedangkan ketua umum PBNU diduduki KH. Abdurrahman Wahid.

Dengan peran tersebut, tampak bahwa bukan kharisma Kiai Ali Ma’sum, melainkan juga sikap berpikirnya yang sangat terbuka dan maju untuk melakukan perubahan. Suatu ketika, saat kontroversi terjadi atas pribadi Abdurrahman Wahid karena pernyataan dan tindakannya yang mana membuat KH. R. As’ad Syamsul Arifin menyatakan Mufaraqah (memisahkan diri) dari  kepemimpinannya, Kiai Ali Ma’sum tetap memahami dan melindungi. Malah Kiai Ali lebih bersikap layaknya seorang bapak, yaitu dengan menanyakan duduk persoalan dan menegur seperlunya. Dan mungkin atas kharisma Kiai Ali, Muktamar NU ke-28 pun dilaksanakan di pesantrennya pada bulan November 1989 yang mana dalam Muktamar tersebut memilih kembali KH Ahmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam, dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum.

KH. Ali Ma’sum adalah salah satu tokoh kharismatik yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan jam’iyah NU. KH Ali Ma’sum juga sangat intens kiprahnya dalam pengembangan dunia pesantren. Bahkan dapat dikatakan di mana ada Ali Ma’sum maka di situ tercermin dunia pesantren atau dengan kata lain bagaimana perilaku KH. Ali Ma’sum begitu pulalah seharusnya perilaku para penghuni dan alumni pesantren. Oleh karena itu antara KH. Ali Ma’sum dan pesantren tidak dapat dipisahkan atau diceraikan Pesantren dan KH. Ali Ma’sum secara substansial dan formal merupakan representasi dari seseorang yang hidup dan mati di dunia pesantren. KH. Ali Ma’sum sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu dari sekian banyak tokoh kharismatik di dunia NU. Misalnya KH. R. As’ad Syamsul Arifìn, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Abdullah Abbas dan lain-lain. Mereka menjadi tokoh karismatik NU bukan karena berada pada posisi puncak organisasi, akan tetapi lebih karena keunggulan dan keistimewaan ilmiah dan amaliah spiritualnya. Tidak sedikit tokoh yang secara organisasi sangat tinggi kedudukannya, akan tetapi dilihat dan segi keilmuan dan amaliah spritualnya rendah sehingga tidak mampu menyamai kedudukan para tokoh sebagaimana diatas.

 

KARYA TULIS

Untuk melengkapi pembelajaran yang dilakukannya di Pesantren Krapyak, KH. Ali Ma’sum telah menghasilkan beberapa karya. 1) Hujjah Ahli Sunnah wal Jamaah, berisi “pembelaan atas praktik-praktik ritual kaum sunni. 2) Al-tashrfijyah, yakní kitab shorrof yang berisi cara mentashrif lebih mudah (dibanding amtsilah tashrifiyyah karya kiai Maksum bin Ali Jombang). 3) Ajakan suci. 4) Kumpulan tulisan dan pidato KH. Ali Ma’sum yang diterbitkan Lajnah Takhlif wa Nasyal (LTN NU DIY).

 

LIMA BEKAL BAGI PENGURUS NU, KH. ALI MA’SUM DAN NU

Selain aktif dalam pengembangan pendidikan di dunia pesantren KH. Ali Ma’sum juga Aktif di Jam’iyah NU. Hal ini mulai terlihat ketika KH. Ali Ma’sum mengabdi di pesantren Krapyak. Atas keaktifannya itu telah menghantarkan dirinya sebagai salah satu anggota konstituante untuk pemilu 1955 bagi wilayah Yogyakarta. Mulai tahun 1960, ia dipercaya menjadi Rais Syuriyah NU DIY. Ketokohan KH. Ali Ma’sum dikalangan NU untuk wilayah DIY khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya setara dengan ketokohan KH. As’ad Syamsul Arifin di Jawa Timur, KH. Bishri Musthafa untuk Jawa Tengah bagian utara, KH. Idham Chalid  dan KH. Masykur untuk wilayah Jakarta. Santri-santri KH. Ali Ma’sum hingga sekarang telah menjadi tokoh Nasíonal. Antara lain KH. Abdurrahman Wahid, KH. Said Aqil Siraj, Prof Dr. Mukti Ali, dr. Fahmi Saifudin, KH. Syukron Makmun dll.

Demikianlah realitasnya, KH. Ali Ma’sum sebagai tokoh lokal akan tetapi ide-ide cemerlangnya mampu memberikan pengaruh besar secara nasional, khususnya di kalangan NU. Pengalaman politik dimulai sejak tahun 1955. Naluri politiknya tidak didapatkan dari bangku sekolah atau bangku kuliah, akan tetapi banyak ditemukan lewat bisikan halus dan bisikan hati nuraninya. Banyak kasus politik yang dihadapi dengan hati nurani termasuk pada saat ketika menolak aspirasi NU untuk meninggalkan PPP pada awal tahun 1980. Penolakan tersebut karena menurutnya, pada waktu itu belum tepat. Sikapnya itu ternyata mendapat sambutan simpatik dari berbagai kalangan. Setelah kondisi untuk meninggalkan politik praktis telah memungkinkan. maka sikap Kiai Ali pun berubah. Yaitu pada tahun 1984, ketika Muktamar NU ke-27 di Situbondo dan NU kemudian memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926, dan KH. Ali Ma’sum digantikan oleh KH. Ahmad Shiddiq sebagai Rais ‘Aam PBNU.

Adapun pesan KH. Ali Ma’sum bagi pengurus NU agar sukses dalam menjalankan amanahnya dapat dirangkum ke dalam lima bekal utama.

  1. Al-Tsiqah bi NU. Artinya setiap warga NU khususnya para pengurusnya harus yakin dan percaya penuh terhadap NU sebagai satu-satunya tuntutan hidup yang benar. Sebagai suatu keyakinan yang timbul dari sikap batin maka sekaligus menuntut adanya realisasi yang bersifat lahiriyah. Hal ini harus dibuktikan dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.
  2. Al-Ma’rifah wa al-Tsiqah bi NU Artinya setiap warga NU khususnya para pengurusnya harus mengetahui tentang NU dengan sungguh-sungguh. Hal ini penting karena keyakinan yang didasarkan pada proses amaliah tanpa adanya ilmu akan mudah digoyahkan dan dikaburkan oleh beberapa faktor yang semakin lama semakin canggih.
  3. Al-.Amal bi Ta’lim NU Artinya setiap warga NU khususnya para pengurusnya harus mempraktekkan ajaran dan tuntutan NU. NU tidak boleh merasa malu atau tabu melakukan shalawatan, tahlil talqin dan ajaran NU laìnnya. Karena semua itu ada alasan dasar yang kuat.
  4. Al-Jihad fi Sabili NU. Artinya setiap warga NU khususnya para pengurusnya harus senantiasa memperjuangkan NU agar tetap lestari berkembang. Dalam Jam’iyah NU hanya dikenal istilah pengabdian dan perjuangan. NU tidak mengenal itu sukses atau gagal. Karena Allah menilai manusia bukan pada hasilnya, akan tetapi pada kualitas usaha manusia. Oleh karena itu sangat tidak relevan bila perjuangan dinilai dengan kesuksesan atau dengan kegagalan.
  5. As-Shabru fi Sabili NU Artinya setiap warga NU khususnya para pengurusnya harus senantiasa bersabar baik dalam melaksanakan tugas maupun yang menghadapi rintangan dalam menghadapi kegagalan. Atau sabar ketika berhadapan dengan rayuan serta kenikrnatan duniawi yang mernbuat rnanusia lupa.

Kelima bekal ini pada intinya dimulai dan pembenahan hati yang didalamnya berisi keyakinan atau akidah yang sangat kokoh. Setelah ada akidah perlu ada pendalaman dengan mengetahui secara detail sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh orang lain. Kemudian memasuki wilayah kesadaran yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengarungi kehidupan ini. Terakhir adalah tingkatan pelaksanaan atau praktik. Yaitu melaksanakan ajaran sesuai dengan jalan dan tatacara NU. Disini sudah terakumulasi keyakinan pengetahuan dan kesadaran yang dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan atau perilaku sehari-hari.

KH. Ali Ma’sum dalam kehidupannya tidak pernah lepas atau jauh dari dunia pesantren. Dan sejak lahir sampai wafatnya selalu berada dalam lingkungan pesantren. KH Ali Ma’sum juga aktif dalam dunia politik. Aktifitas politiknya tidak didasarkan pada teori-teori politik sebagaimana orang akademis. Dengan demikian, KH. Ali Ma’sum secara personal tidak mau mengikuti arus yang sedang terjadi dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh orang atau pihak lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila muncul aura kharisma yang luar biasa dari diri KH. Ali Ma’sum.

 

WAFATNYA

Muk’tamar yang dilaksanakan di kediamannya hanya bisa ia ikuti dan pembaringan. Dan rupanya, ini merupakan khidmah terakhirnya kepada jam’iyah yang ia cintai. Hanya dua mínggu setelah perhelatan besar di pesantren al- Munawwir Krapyak itu, KH. Ali Ma’sum yang ada pada saat terakhir sakitnya senantiasa hanya ditunggui oleh Fahmi Saifuddin, seorang santrinya yang menjadi dokter. Usai  adzan Maghrib, Kamis 7 Desember 1987, di RSU Sardjito Yogyakarta, KH. Ali Ma’sum dipanggil ke hadirat-Nya dalam usia 74 tahun. Esoknya, umat Islam yang merasa ditinggalkan memberi penghormatan terakhir dengan mengantarkan ke peristirahatan yang terakhir di pemakaman Dongkelan Bantul Yogyakarta.

 

Di kutip dari:  Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)