TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

KH. ALI MA’SUM
KRAPYAK YOGYAKARTA
WAFAT 1409 H/1989 M

DIMINTA KEMBALI KE KRAPYAK

Ketiga, tahapan ketika mengabdi dan mengembangkan pesantren Krapyak Yogyakarta. Seperti diungkap di atas bahwa sepeninggal KH. M Munawwir, pesantren Krapyak sangat membutuhkan kehadiran Ali Ma’sum karena memang secara kekeluargaan Ali Ma’sum adalah menantu KH. Munawwir. Dengan melalui musyawarah keluarga, akhirnya diputuskan untuk memboyong Ali Ma’sum ke Yogyakarta. Kemudian diutuslah seorang santri senior yang bernama Dasuki untuk menyampaikan keputusan keluarga KH. M Munawwir kepada Ali Ma’sum.

Akan tetapi, Ali Ma’sum belum bisa menerima dengan alasan sedang membenahi pesantren di Lasem. Selang beberapa waktu karena memang sangat membutuhkan, rombongan keluarga Krapyak mendatanginya kembali dengan maksud yang sama dan langsung dipimpin oleh Nyai Sukis sendiri yang didampingi oleh Abdullah Afandi (putra KH. Munawwir dari istri pertama Nyai RA Mursidah).

Kedatangan ibu mertuanya menjadikan istri Ali Ma’sum mendorong suaminya untuk menerima permohonan keluarga Krapyak. Akhirnya keluarga Lasem bisa menerima dan Ali Ma’sum diboyong ke Yogyakarta dengan satu tujuan mengelola pesantren Krapyak. Langkah Awal yang dilakukan oleh Ali Ma’sum adalah mencetak kader yang handal. Untuk itu madrasah yang tidak jelas nasibnya karena kehabisan murid dibubarkan dan konsentrasi ke pengkaderan.

Kader pertama yang langsung ditangani oleh Ali Ma’sum adalah beberapa orang, yaitu keluarga KH. Munawwir dan beberapa tetangga. Kader-kader ini mengikuti pengajian nonstop dari subuh sampai jam sembilan malam (kecuali waktu shalat dan makan) selama dua tahun berturut-turut (1943-1944). Tidak ada satupun dari kader pertama ini yang merosot. Semangat dalam mengikuti pengajian tersebut luar biasa.

Menejemen pesantren al-Munawwir tidak sepenuhnya dipegang oleh Ali Ma’sum. Akan tetapi dikelola oleh tiga orang, yaitu Abdul Qadir dan Abdullah Afandi yang keduanya adalah putra KH. Munawwir. Di bawah pengelolaan tiga tokoh ini pesantren al-Munawwir mengalami kemajuan yang sangat pesat baik sccara kuantitas maupun kualitas santrinya. Deversifikasi kurikulum, jenjang pendidikan, dan jenis pendidikan mengalami perkembangan yang luar biasa dan itu merupakan ciri khas persantren yang bertugas mencetak orang alim dan orang shaleh. Mulai tahun 1968 praktis KH. Ali Ma’sum menjadi kiai senior sendiri. Karena Abdul Qadir telah wafat pada 2 Februari 1962 sedangkan Abdullah  Afandi meninggal 1 Januari 1968.

Pesantren Krapyak yang didirikan KH. Munawwir tahun 1910 ini terletak di Kabupaten Bantul 1,5 km sebelah selatan Pelengkung Gading (pintu gerbang Keraton Yogyakarta). Pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren al-Qur’an, karena mengkhususkan menghafal al-Qur’an, seperti KH. Arwani Amin (Kudus), KH. Umar Abdul Manan (Surakarta), KH. Muntaha (Wonosobo), KH. Murtadha (Cirebon), Yusuf Agus (Idramayu), Aminuddin (Bumiayu), KH. Abu Amar Kroya (Purwokerto), KH. Basan Thalabi (Kulon Progo), dan KH. Fatoni (Brebes) adalah murid-murid KH. Munawwir.

Setelah KH. Abdul Qadir wafat dan disusul KH. Abdullah Afandi, ia didampingi oleh putri KH. Munawwir yang lain telah berhasìl mengkader beberapa orang antara lain: KH. Zaini, KH. Zainal Abidin, KH. Warson, KH. Dalhar, dan KH. Ahmad. Sedangkan KH. Nawawi Abdul Aziz kemudian memimpin pesantren sendiri di Ngrukem, sedangkan KH. Mufid Mas’ud di Ngaglik Sleman.

 

MENYEIMBANGKAN PENGAJIAN AL-QUR’AN DAN KITAB KUNING

Sejak kepemimpinan KH. Ali Ma’sum di Pesantren al- Munawwir telah terwujud keseimbangan antara pengajian al- Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning. Untuk pengajian kitab kuning ditangani langsung oleh Kiai Ahmad, KH. Zaini dan Kiai Najib Abdul Qadir. Dalam kepemimpinan KH. Ali Ma’sum, banyak kemajuan yang dihasilkan. Bukan hanya dalam bidang pengkaderan, namun juga dalam warna, penambahan lembaga baru, serta bangunan fisik dan perluasan tanah pesantren bahkan telah merambah pada penerimaan santri putri. Jadilah Pesantren al-Munawwir sebagai komplek perguruan Islam yang hampir sempurna. Dikatakan hampir sempurna karena di pesantren ini telah tersedia lembaga pendidikan dan TK, Madrasah Diniyah Awaliyah, Wustha, Ulya, dan Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, Program Tahassus dan Tahfidz al-Qur’an. Yang belum ada adalah perguruan tinggi atau Universitas.

KH. Ali Ma’sum telah mencurahkan semua waktunya untuk semua santrinya, sore hari sampai waktu isya’ mengajar santrinya dengan sistem bandongan (membaca satu kitab di depan santrinya yang membawa kitab yang sama untuk memberikan catatan yang sama sebagaimana yang telah diberikan oleh kiai). Pagi hari setelah jamaah subuh mengajar dengan sistem sorogan (santri secara perorangan membaca kitab di depan kiai). Kitab yang dibaca Ali Ma’sum dengan sistem bandongan biasanya adalah kitab Tafsir, Hadits dan fiqh.

Sedangkan pada pengajian sorogan kitab yang ditentukan sangat beragam. Sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektualitas santri. Khusus pada bulan Ramadhan banyak mengajarkan kitab nahwu. Biasanya kitab Alfiyah Ibn Malik. Untuk masyarakat ibu-ibu maupun bapak-bapak ada pengajian selapanan yang berisi pengajian tentang fiqh, aqidah dan akhlaq dengan disertai membaca surat Yasin bersama.

Biasanya bila seorang guru atau seorang kiai mengajar putra kiai lain, ia memperlakukan istimewa karena hormat kepada orang tuanya. Akan tetapi berbeda dengan seorang kiai yang mengasuh di pondok pesantren Krapyak. Beberapa putra kiai di pesantren ini ternyata diperlakukan sangat keras oleh sang kiai. Waktu belajar yang diterapkan begitu  ketat, sejak subuh sampai jam sembilan malam. Mereka tak bisa seenaknya karena ada kewajiban-kewajihan yang harus dipenuhi. Pelajaran satu kitab yang sudah lewat harus benar-benar dipahami. Kapan saja ia harus bisa menjawab pertanyaan guru atau menerapkan kembali maksud pertanyaan itu ketika diminta. Setiap hari ia harus menghafal bait-bait kitab-kitab tertentu, dan kalau tidak bisa maka sang guru akan menghukumnya, berdiri terus sampai bisa. Bahkan jika belum bisa sang guru tidak segan-segan mengikat mereka di meja atau di kursi.

Mereka itu adalah putra dari cucu menantu Kiai Munawwir, diantaranya adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abdul Aziz, Daihar, Zainal Abidin, Ahmad dan Warson. Di kemudian hari mereka itu menjadi kiai yang cukup terkenal. Sedangkan gurunya tidak lain adalah Kiai Ma’sum menantu Kiai Munawwir yang dipercaya memimpin pesantren Krapyak.

Dalam mengajar, Kiai Ali Ma’sum lebih menanamkan pemahaman pada aspek isi suatu kitab, bukan pada banyaknya materi atau cepat hatam. la mengupas secara mendalam setiap ibarah dan segi nahwu shorof dan balaghahnya. Kemudian ia mengupas kandungan ibarah tersebut serta diperkaya dengan pandangannya yang didasarkan pada rujukan yang luas. Sekali dalam seminggu kiai mengajar tafsir, sebagai dosen tetap fakultas syari’ah IAIN Sunan Kalijaga. Untuk masyarakat umum, Kiai Ali menyelenggarakan pengajian selapan (35 hari) 2 hari.

Sebagaimana diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran di Krapyak, Kiai Ali Ma’sum sering menyatakan kepada para santri bahwa pada prinsipnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar karena itu sistem kegiatan belajar mengajar di pesantrennya mendapatkan perhatian Kiai Ali Ma’sum tidak sepakat dengan konsep ilmu yang bisa diperoleh oleh seseorang dengan cara olah jiwa (riyadhah) seperti puasa mutih, menghindari nasi (ngerowot menghindari makanan bernyawa dan sejenisnya para santri. Kiai Ali menekankan kepada santrinya kalau ingin pandai harus rajin belajar termasuk mencukupi kebutuhan fisik dengan makanan bergizi.

Meski demikian, bukan berarti Kiai menganjurkan pola hidup mewah, bebas dan bertoya foya. Justru dalam kehidupan sehari-hari ia sangat tidak menonjolkan kemewahan materi. Namun kesaksian Ali As’ad santri dan pembantu terdekatnya, Kiai Ali Ma’sum hanya memiliki dua helai sarung yang dipakai bergantian setiap hari. Tempat tidurnya juga hanya terbuat dari dipan kayu dengan dilapisi karpet tanpa kasur. Ketika dipan tersebut hendak diganti oleh putri-putrinya dengan yang lebih bagus, ia marah. Memang dalam kamar pribadinya terdapat benda-benda elektronik seperti radio, tape recorder, kaset dan pengeras suara. Tapi itu semua adalah alat untuk mendapatkan informasi yang lebih luas serta alat komunikasi untuk menyampaikan pengajian. Berita bahasa Arab dan Timur Tengah sering diperdengarkan melalui pengeras suara yang disamping untuk melatih pendengaran para santri dalam memaharni bahasa Arab modern juga sebagai hiburan. Sedangkan kegemaran kiai Ali adalah membaca kitab, dan bercerita dengan tamu serta mendengarkan lagu-lagu dari Timur Tengah.

Sehari-hari Ali Ma’sum menghabiskan waktunya untuk mengajar santrinya sejak subuh hingga malam. Di samping mengajar dengan sistem Sorogan dan Bandongan, pada waktu-waktu tertentu Kiai Ali Ma’sum memberikan pengajian dan kamar pribadinya. Pengajian tersebut dipancarkan melalui pengeras suara ke seluruh pesantren.

 

PANDANGANNYA TENTANG UKHUWAH

Di dalam pertemuan forum Ukhuwah, 11 Desember 1980, di gedung PDHI Sasono Woro Alun-alun Utara Yogyakarta, yang mana dalam acara tersebut telah dihadiri oleh beberapa kiai antara lain KH. EZ Mustaqin (MUI), KH. AR Fakruddin, Djasmin al-Kindi (PP Muhammadiyah), Dr. KH. Thaha Mansur serta beberapa tokoh generasi muda Islam, Kiai Ali Maksum menjelaskan pandangannya tentang Ukhuwah Islamiyah. Untuk menciptakan Ukhuwah, Kiai Ali Ma’sum menekankan pentingnya berpegang pada syariat Islam dan tidak memperuncing masalah khilafiyah.

Untuk itu umat Islam perlu mempunyai pandangan luas serta sikap ilmiah dengan mempelajari dan membandingkan berbagai madzhab yang ada sehingga tidak saling menyalahkan. “Prinsip dan cara itu hendaknya menjadi perhatian khusus oleh para tokoh dan mubaligh. Kami sendiri dan teman-teman kiai juga telah memperbincangkan kitab-kitab semacam al-Manar, fiqh Assunnah dan lain-lain” lanjut Ali pada saat itu. Sikap demikian itulah yang menurut Kiai Ali sebenarnya memegang peranan penting dalam mencegah perpecahan dan perselisihan umat (al-Muslimin fii al-Khair; wa al-Dhufu fii al-Qiyadhah).

 

Bersambung!

Dikutip dari: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)