TARIKH

99 Kyai Kharismatik NU

Lanjutan .

KH. A. WAHID HASYIM
TEBUIRENG JOMBANG JAWA TIMUR
Wafat: 1373 H / 1953

 

POKOK PEMIKIRANNYA

Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dan sini dapat dipahami, kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika beraktifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah yang kemudian diimplentasikan dalam kehidupan nyata. Di samping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda, ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dan menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhan ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia dikenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

 

PEMIKIRANNYA TENTANG PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

Umat Islam yang mulai menyadari akan kelemahan dan keterbelakangannya pada abad ke-20, mulai berusaha mengadakan pembaharuan dalam segala bidang kehidupan. Pembaharuan tersebut dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Hal ini mempengaruhi pemikiran Wahid Hasyim dalam memperbaharui sistem pendidikan pada pesantren. Penting juga dikemukakan, bahwa beberapa aspek pembaharuan pendidikan yang digagas oleh KH. Wahid Hasyim, di Pesantren Tebuireng, adalah satu paker dengan pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari. Adapun pembaharuan pendidikan KH. Wahid Hasyim meliputi beberapa aspek berikut ini:

 

1.ASPEK TUJUAN

Pada 1934, Abdul Wahid kembali ke Indonesia, ia mulai terjun dalam dunia pendidikan, yaitu di Pesantren Tebuireng. Secara berhati-hati ia menyusun dan mengembangkan ide-ide tentang pembaharuan pendidikan Islam. Di samping itu, ia juga mengadakan perjalanan untuk mengadakan Study Comparative tentang berbagai model pendidikan yang sedang berkembang di lingkungan pesantren maupun sekolah-sekolah umum yang dikelolah oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Stady Comparative tidak hanya dilakukan KH. Wahid Hasyìm di dalam negeri, akan tetapi juga di luar negeri, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah. Di samping itu, ia juga mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi. Dengan demikian ia banyak menggunakan waktunya untuk membaca buku-buku, majalah, dan surat kabar yang mendukung perjuangannya.

Majalah dan surat kabar yang ia baca, antara lain Penyebar Semangat, Daulat Ra’jat, Panji Putaka, Umul Qura,Sautul Hijaz, al-Lata’if al-usyawarah, Kullu Syaiin wa al Dunya, dan al-Itsnain. Ketiga majalah Indonesia, yakni Penyebar Semangat, Daulat Rayat, dan Panji Pustaka tersebut diterbitan oleh kalangan nasionalis, sedangkan kelima majalah Arab Umul Qurra, Sautul Hijaz, al-Lataf al-Musyawarah, Kullu Syaiin wa al-Du nya, dan al-Itsnain di atas diterbitkan di Timur Tengah.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. la tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, la mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

– Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya

– Menggambarkan cara mencapai tujuan itu,

– Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dan urusan duniawiyah (dunia). Karena tujuannya yang demikian, warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh warna-warna Fiqh, Tasawuf, ritual sakral dan sebagainya. Orientasinya ke masa lampau dan terpaku ke “dunia sana”,  sedangkan “dunia kini” dianggap sebagai dunia mainan. Orientasi demikian disebabkan oleh sumber teologi yang fatalistik.

Orientasi pendidikan yang hanya berkonsentrasi pada urusan akhirat, demikian menurut al-Amir Syakib Arsalan, merupakan salah satu penyebab tertinggalnya kaum muslimin dengan negara-negara lain, Penolakan terhadap pembaharuan tersebut menurutnya tidak rasional dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bukankah manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi dan memakmurkan bumi jika tanpa dibekali ilmu pengetahuan yang cukup.

Dari latar belakang kondisi di atas, kemudian tujuan pesantren dirumuskan secara sederhana hanya sebagai institusi yang berfungsi “mencetak” para ulama atau ahli agama belaka, sehingga mengakibatkan pesantren tidak menerima untuk tidak dikatakan menolak pelajaran non agama masuk dalam kurikulum pesantren. Alasan yang utama adalah karena bidang pelajaran tersebut tidak sesuai dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren. Terhadap kecerderungan tujuan belajar di pesantren yang demikian, akhirnya Wahid Hasyim memberikan alternatif lain kepada para santri. Ia menyarankan hendaknya sebagian besar santri tidak menjadi ulama. Hal tersebut cukup beralasan, karena dalam kenyataannya bahwa sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat “dicetak” menjadi ulama. Di samping itu, pengertian ulama dalam kalangan pesantren telah mengalami penyempitan makna, sehingga ulama hanya digunakan untuk orang-orang yang menekuni bidang-bidang ilmu agama dan merendahkan ilmu-ilmu umum.

Ada beberapa alasan mengapa Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian, yakni antara lain:

Pertama; Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pangetahuan dan para kiai berbagai pesantren.

Kedua; Para santri dapat mempelajari agama Islam dan buku-buku yang ditulis dengan non-Arab

Ketiga; Para santri dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.

Walau demikian, ia tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dengan mempelajari bahasa Arab dari pengetahuan agama secara mendalam.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan pesantren menurut Wahid Hasyim adalah mencetak santri yang berkepribadian muslim dan bertaqwa kepada Allah serta memiliki keterampilan, sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah pada masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan rumusan tujuan pendidikan demikian, ia tidak ingin lagi melihat santri yang lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dari kaum pelajar.

2. ASPEK KURIKULUM

Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk KH. Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Kemiripan sistem belajar mengajar model madrasah dengan sistem belajar model sekolah yang dikembangkan pemerintah Kolonial Belanda saat itu, membuat banyak orang-orang berpendapat bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan corak keislaman.

Madrasah Nizamiyah didirikan dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang hanya memfokuskan kepada ilmu-ilmu agama mengakibatkan santri mengalami kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat. Kelemahan santri menurut Wahìd Hasyim, disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan umum (sekuler), bahasa asing, dan keterampilan teknis professional dalam berorganisasi. Dengan pengusaan ketiga komponen tersebut, santri akan mampu bersaing dengan mereka yang mendapatkan pendidikan barat dalam menempati posisi dimasyarakat. Untuk itu, ia mendesain kurikulum madrasah tersebut dengan kurikulum yang tidak hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga dengan ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda, Inggris dan keterampilan.

Apa yang dilakukan KH. Wahid Hasyim jelas merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu di kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Usaha pembaharuan yang dilakukannya bukan pekerjaan tanpa resiko, banyak kritikan yang datang dari masyarakat bahkan ulama pesantren. Ia dianggap telah mencampuradukkan perkara agama dan dunia. Ia pun dianggap sudah merusak sistem pendidikan pesantren, dan lain sebagainya. Kritikan itu disambut olehnya dengan tenang dan ia tetap berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang ulama idealis.

Yang menonjol dalam kurikulum ini adalah pemahaman Wahid Hasyim terhadap konsep ilmu. Ia menganggap bahwa Islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Rujukan argumennya adalah ratusan ayat al-Qur’an, di mana kara ilmu dalam berbagai bentuknya  terulang 854 kali. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap mahluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Selain ini, ia pun ingin menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum yang saat itu melanda dunia pendidikan Islam pada umumnya dan khususnya pondok pesantren. Tidak ada yang menyangkai dikotomi pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama di pihak lain, adalah warisan kolonial Belanda. Dikotomi tersebut, menurut Wahid Hasyim, sangat berbahaya bagi umat Islam Indonesia. Sistem pendidikan semacam ini akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan/ulama yang tidak kenal zamannya.

3.ASPEK METODE PENGAJARAN

Ketika Wahid Hasyim berumur 18 tahun, ia sempat belajar 2 tahun di Mekkah. Sekembalinya ke Tebuireng ia mengusulkan kepada ayahnya suatu perubahan metode pengajaran di pesantren. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti  tutorial sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata palajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk memajukan pertannyaan atau berdiskusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Wahid Hasyim belum merasa puas dengan perubahan yang ia lakukan, ia pun menganjurkan para santri untuk belajar organisasi dan membaca. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Selain itu, ia juga mendirikan perpustakaan dengan koleksi 1000 buku yang kebanyakan buku-buku keagamaan. Perpustakaan tersebut juga berlangganan majalah dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, al-Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Sebelas jurnal di atas mewakili pandangan umum kaum tradisionalis, mondernis, dan nasionalis.

Perubahan metode pengajaran dan pendirian perpustakaan merupakan kamajuan yang luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar-mengajar yang dialogis. Di mana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran, murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan, akan tetapi murid menjadi subyek pendidikan itu sendiri. Sedangkan guru hanya memposisikan diri sebagai motivator dan fasilitator dalam proses pembelajaran.

 

PENDIDIKAN SALAF DALAM PERBANDINGAN

Institusi pondok pesantren yang didirikan KH. Wahid Hasyim beraliran Salafiyah. Ciri Salafiyah adalah salah satu ciri mayoritas pesantren yang ada di Indonesia. Pada awalnya perkembangan pesantren Salafiyah menjadi ciri khas umum pesantren Jawa, seperti di beberapa pesantren lama, antara lain: Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo; Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan Madura, Pesantren Tremas Pacitan; Pesantren Krapyak Yogyakarta; dan lain-lain. Namun pada perkembangan selanjutnya, ciri khas pesantren Salafiyah tidak hanya terbatas di Jawa, tetapi meluas di berbagai wilayah Nusantara. Perluasan ini, antara lain disebabkan oleh tingginya mobilitas horizontal para alumni pesantren tersebut.

Seperti halnya pesantren-pesantren awal di Jawa, pesantren-pesantren yang berdiri pada awal dan akhir abad ke-20 ini, masih tetap mempertahankan ciri-ciri Salafiyahnya. Baik pada sistem dan metode pengajarannya yang tetap mempertahankan sistem sorogan, bandongan, wetonan, dan halaqah, tetapi juga pada pola relasi para santri dengan para kiainya. Pada Pesantren Raudlatul Hasanah Medan dan Pesantren Darul Ihsan, Samarinda misalnya, metode pembelajaran rnasih menggunakan sistem tradisional pesantren tersebut. Sistem atau metode ini tetap dipertahankan terutama sekali untuk membahas dan mengkaji kitab-kitab kunìng.

Akan tetapi, harus segera ditegaskan di sini, bahwa pada pesantren-pesantren yang berdiri pada abad 20 telah mengakomodasi sistem klasikal. Ini merupakan hal yang tidak terhindarkan karena pesantren-pesantren tersebut telah membuka pendidikan formal. Akan tetapi meskipun sekolah formal mulai diterapkan pada pesantren seperti Subulussalam Palembang, namun pesantren ini tetap kokoh mempertahankan sistem Salafiyah sebagai ciri sekaligus keunggulan pesantren tersebut. Adopsi dan inovasi terhadap hal-hal baru tetap dilakukan pesantren, tetapi ciri-ciri Salafiyah tidak mereka tinggalkan.

Di pihak yang lain, era penjajahan (baik masa penjajahan Belanda maupun Jepang), juga cukup kuat dalam membentuk semangat nasionalis Wahid Hasyim. Pengaruh yang paling berharga adalah munculnya rasa nasionalisme yang tinggi dikalangan generasi muda, termasuk Wahid Hasyim, karena penjajah apapun bentuknya melanggar kemanusiaan. Belanda yang kebijakannya banyak merugikan kepentingan umat Islam, menimbulkan semangat para pemuda untuk melakukan perjuangan demi terlepasnya wilayah dan Negara Indonesia dari cengkraman Belanda. Imperialisme Belanda sangat berpengaruh terhadap pemikiran Wahid Hasyim, khususnya dalam kaitannya dengan rasa nasionalisme (Hubbul-Wathan), sehingga tidak aneh ketika menjelang akhir kekuasaan Belanda Wahid Hasyim bersama rekan-rekannya terus melakukan perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme.

Penjajahan Jepang juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Wahid Hasyim. Sebagaimana diketahui, Jepang menduduki wilayah Indonesia pada tahun 1942. Ketika itu Jepang mampu mengusir Belanda dari Indonesia. Namun demikian, bukan pembebasan yang diperoleh, akan tetapi juga penjajahan bahkan penyiksaan yang cukup dramatis yang diterima bangsa Indonesia. Dalam masa penjajahan Jepang ini banyak pemuda yang dibekali dan dilatih dalam bidang militer. Kemampuan militer para pemuda gemblengan Jepang inilah yang kemudian menjadi tulang punggung tentara Indonesia, yang pada akhirnya juga berhasil mengusir tentara Jepang tersebut.

 

Bersambung !

Dikutip dari : Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia Jilid 2 (Pustaka Anda Jombang, 2010)